ALMISBAT : Keberpihakan dan Keadilan Perhutanan Sosial Kian Jelas di Era Jokowi

0
324
Salah satu momen istimewa kebersamaan Ketua Umum BPN ALMISBAT Hendrik Dikson Sirait bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta Pusat. (foto: Setpres RI)

Kliksumatera.com, JAKARTA – Ketua Umum Badan Pengurus Nasional (BPN) Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) Hendrik Dikson Sirait berpandangan bahwa program reforma agraria yang paling baik di saat ini, sesungguhnya adalah Perhutanan Sosial.

Mantan aktivis prodemokrasi era senjakala rezim Orde Baru itu menyebut hal esensial dari program terobosan progresif peretas efektif sengkarut sengketa agraria tersebut.

“Esensi Perhutanan Sosial bahwa negara tidak kehilangan aset dan masyarakat juga tidak kehilangan hak,” cetus pimpinan salah satu organ relawan mesin politik petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.

Mantan Sekjen ALMISBAT yang terpilih per aklamasi jadi ketum periode 2018-2023 pada forum Temu Raya Nasional ke-2 ALMISBAT di Wisma Kinasih, Depok, Jawa Barat, 30 Agustus 2018 ini menggarisbawahi poin itu dalam dialog terbatas ALMISBAT bersama Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Erna Rosdiana, Jumat (11/10/2019).

Sebagai rekomendasi korektif atas proses penatalaksanaan kebijakannya kurun periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019-2024, Hendrik otentik mengharapkan agar ada mapping yang jelas soal distribusi kewenangan ke depannya.

“Kami berharap ke depannya perlu ada pemetaan atau mapping agar terlihat peran kementerian atau lembaga lainnya selain Kementerian LHK,” pinta mantan Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Jakarta ini.

Harapan diungkapkan pria kelahiran Jakarta, 5 Januari 1972 yang ulah sikap politik vokal menentang kediktatoran Orde Baru berujung penculikan dirinya pada 1 Agustus 1996 lalu hingga ia dibebaskan 25 hari kemudian itu, semata-mata demi menemukenali bentang kendala sekaligus bersegera melihat progres hasil penerapan cepat di lapangan nantinya.

“Jadi bisa terlihat intervensi kementerian atau lembaga dari sisi mana, sehingga dua tahun setelah kabinet yang baru ini (Jokowi-Ma’ruf Amin, red) terbentuk sudah kelihatan wujud nyatanya,” lugas dia.

Seturut, dalam dialog tersebut Direktur PKPS Ditjen PSKL KLHK Erna Rosdiana menyebut, pihak kementerian telah membentuk Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial.

Bekerja secara rule-based, tim ini dibentuk guna mendorong percepatan pencapaian serapan target luasan 12,7 hektar areal pengelolaan hutan oleh masyarakat yang digeber melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Mencoba mengulik fakta rendahnya political will pemerintahan terdahulu, yang sebangun dengan lambannya perkembangan capaian program Perhutanan Sosial, hingga di KLHK sendiri muncul pro-kontra selain di tataran implementasi masih banyak hambatan dan butuh perbaikan, Erna pun jujur mengakui hasil efektif aksi korektif Presiden Jokowi.

Erna merujuk terbitnya Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan –dasar penetapan Program Perhutanan Sosial sebagai bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) Kabinet Kerja, wujud nyata pemajuan programatik sekaligus penyempurna beleid PP 6/2007.

Adapun, PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan jadi basis mula instrumen yuridis Perhutanan Sosial. “Terutama terkait dengan pemberian akses legal kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan,” terang Erna, menegaskan PP tersebut selaras dengan amanat UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Dialog yang dihelat di sekretariat nasional BPN ALMISBAT di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, juga dihadiri Sekjen BPN ALMISBAT Piryadi Kartodihardjo, Kabid Pengembangan Organisasi dan Jaringan Ch Ambong, serta pengurus lainnya yang rerata berlatar aktivis pergerakan rakyat awal dekade 1990-an itu.

Hendrik, mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta, saat ia bersama 20 rekannya berbendera Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) pernah merasakan dinginnya tembok penjara Orde Baru, usai menuntut Soeharto diseret ke Sidang Istimewa MPR.

Bukannya jera usai dipenjara, Hendrik justru kian progresif memobilisasi diri bersama jejaring perlawanan massa rakyat petani dan rakyat pedesaan, buruh, kaum miskin kota, menentang kesewenangan rezim Soeharto.

Melalui bendera perlawanan Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (PIJAR) dan Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA), tak ayal kiprah Hendrik pun kian diperhitungkan.

Represi politik, penculikan atas dirinya sesaat usai menghadiri sidang pembacaan tuntutan kepada Ketum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Megawati Soekarnoputri di PN Jakarta Pusat, 1 Agustus 1996 itulah, puncak serangan balik penguasa baginya.

Kini, Hendrik yang menurut sebuah sumber tergolong salah satu ‘mata dan telinga’ Presiden Jokowi dalam mengawal tuntas progresivitas percepatan pencapaian program Perhutanan Sosial ini, menyebut program populis itu sebagai program yang sama sekali jelas dan nyata dari sisi keberpihakan dan keadilan redistribusinya.

“Perhutanan Sosial adalah program terobosan Presiden Jokowi yang output-nya sangat jelas, yaitu keberpihakan dan keadilan,” pungkas Hendrik, dalam dialog terbatas Jum’at kemarin yang bak mengiringi akhir periode jabatan duet kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, sejak dilantik 20 Oktober 2014 silam.

Laporan : Muzzamil
Posting : Imam Ghazali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here