Anggaran Besar Pemilu Berkorelasikah dengan Kesejahteraan Rakyat?

0
249

Oleh :Hj.Padliyati Siregar ST

Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), telah menjadi “bumerang” bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia.

Bahkan, hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. “Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi ‘isi tas’ atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah  dalam keterangannya, Ahad (5/9).

Dia menilai, tidak mengherankan apabila ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar “balik modal”. Menurut dia, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru adalah seorang anggota DPR dengan istrinya yang merupakan seorang bupati ditangkap KPK.

Begitu juga dengan Pemilu yang akan datang,bisa ditebak, penyelenggaraan pesta demokrasi ini akan terbelit juga dengan hal yang sama yaitu dengan anggaran jumbo.

Anggaran Pemilu dan Pilkada 2024 diprediksi mencapai Rp 110,4 triliun. Anggaran ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Anggaran jumbo ini meliputi Rp76,6 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Rp33,8 triliun untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), (Katadata, 13/4/2022).

Jumlah ini meroket dibandingkan Pemilu sebelumnya yakni naik 25 kali lipat dibandingkan anggaran Pemilu 2004, juga naik empat kali lipat dibandingkan anggaran Pemilu 2019. Anggaran ini bahkan dua kali lipat total anggaran Pemilu selama rentang 2004–2019.

Sejumlah pihak mengeluhkan besarnya anggaran ini dan meminta KPU untuk melakukan efisiensi. Bengkaknya anggaran tentu akan membebani keuangan negara. Padahal, APBN saat ini sedang berat karena upaya penyelesaian pandemi dan pemulihan ekonomi yang membutuhkan anggaran besar.

Anggaran jumbo untuk Pemilu ini mengonfirmasi bahwa pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi amat mahal biayanya. Penyelenggaraan Pemilu butuh waktu yang lama untuk persiapan sehingga biayanya besar. Padahal, salah satu alasan Pemilu dan Pilkada diselenggarakan serentak adalah untuk menghemat anggaran, tetapi realitasnya tidak demikian. Anggaran Pemilu tetap saja besar.

Sementara pilkada hanyalah seremonial penghamburan uang rakyat ambisi korporasi-oligarki di tengah kesempitan perekonomian masyarakat. Kenyataan pahit ini tidak akan terjadi bila pesta demokrasi tak dipaksakan untuk dirayakan setiap lima tahun.

Inilah wajah bopeng demokrasi, di mana kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang berkehendak bukan rakyat biasa, tapi rakyat pemegang kuasa modal yang telah membiayai para kontestan pesta demokrasi.

Ketidakmampuan penguasa melihat kesengsaraan masyarakat dengan naiknya BBM,pajak naik mahalnya migor seperti yang terpisah dari rakyatnya padahal pesta untuk memilih mereka berbiaya mahal.

Untuk memilih seorang pemimpin negara, Islam memiliki metode baku yaitu melalui baiat. Pemilihan umum secara langsung termasuk salah satu teknis pemilihan kholifah sebelum pembaiatan. Majlis umat (wakil yang telah dipilih oleh rakyat) akan mewakili rakyat dalam memilih Kholifah. Inilah pemilihan pemimpin dalam sistem Islam. Berbiaya murah dan efektif serta menghasilkan pemimpin yang berkualitas

Beginilah konsep Islam mewujudkan kepemimpinan:
Pertama, Islam memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah yang berat di dunia dan akhirat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sehingga seorang pemimpin tidak akan berbuat dzalim.

Kedua, batas maksimal kekosongan kepemimpinan hanya tiga hari saja. Hal ini berdasarkan ijma’ sahabat saat pembaiatan Abu Bakar ra yang tepat di hari ketiga wafatnya Rasulullah SAW. Sehingga pemilu hanya dalam waktu tiga hari saja.

Ketiga, tak ada batasan masa jabatan Kholifah (bisa jadi Kholifah akan menjabat hingga akhir hayatnya) kecuali memenuhi syarat pemberhentian Kholifah yang sesuai dengan syariat atau khilafah wafat. Maka pemilihan kholifah akan dilakukan kembali.

Adapun Wali atau struktur negara khilafah yang berkuasa di suatu wilayah, langsung ditunjuk oleh Kholifah. Wali adalah pembantu Kholifah yang mengurus pemerintahan suatu wilayah atau daerah. Kholifah akan memberhentikan wali jika memang Kholifah melihat perlu diberhentikan. Atau jika terdapat sejumlah penduduk atau majlis umat di wilayah tersebut menampakkan ketidakridhoan terhadap wali mereka. Misalanya pada masa Mu’adz Bin Jabal menjabat sebagai Wali di Yaman, Rasulullah Saw memberhentikan Mu’adz bin Jabal sebagai wali karena adanya laporan  bahwa bacaan sholat Mu’adz bin Jabal terlalu panjang.

Demikianlah konsep Islam mewujudkan kepemimpinan dengan cara yang praktis, murah meriah dan penuh berkah karena sesuai dengan syariah. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here