Oleh: Siti Murlina SAg
KUPI atau Kongres Ulama Perempuan Indonesia merupakan gerakan yang mendasarkan pada visi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, termasuk perempuan. Kongres ini pertama kali diadakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada April 2017 lalu yang menghasilkan musyawarah keagamaan atau disebut fatwa dengan berbasis perspektif perempuan.
Baru-baru ini mereka mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang diselenggarakan oleh Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (KPRK MUI) pada Sabtu (26/3/2022) yang dipimpin oleh Dr. Siti Ma’rufah Ma’ruf Amin, menghasilkan beberapa kesepakatan penting. Di antaranya, pertama, fatwa harus berlandaskan prinsip-prinsip Islam wasathiyah. Kedua, upaya penguatan dan pemberdayaan keluarga dan perempuan dalam kapasitas dan kontribusinya bagi agama, bangsa dan masyarakat. Ketiga, menanggapi permasalahan aktual yang terjadi saat ini segala macam permasalahan yang bersinggungan dengan perempuan, keluarga, remaja dan anak. Selanjutnya, menurut Siti Ma’rufah, rapat koordinasi nasional ini bertujuan untuk membangun kesadaran perempuan akan pentingnya perempuan pada posisi pengambilan keputusan dan juga untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa serta negara. (redaksi@mui.or.id 28/3/2022)
Moderasi beragama yang diaruskan saat ini menjadi biang timbulnya fatwa-fatwa dalam perspektif perempuan. Ide moderasi Islam menyasar pada sudut pandang agama terhadap posisi laki-laki dan perempuan serta hubungan antara keduanya. Ini erat kaitannya dengan profil muslim moderat versi Barat.
Kafir Barat menginginkan profil moderat menerima tsaqofah dan budaya universal mereka. Seperti, mendukung demokrasi, menerima HAM yang termasuk didalamnya persamaan gender dan kebebasan beragama. Menghormati sumber hukum non agama, menentang radikalisme dan sebagainya.
Moderasi beragama merupakan program moderasi mengarah pada penguatan sudut pandang, sikap dan praktek agama jalan tengah (wasathiyah) dalam membangun harmoni dan kerukunan umat beragama. Yang digagas oleh Rand Corporation lembaga thinktank Amerika Serikat. Profil moderat ini digunakan oleh Barat sebagai alat/strategi untuk melawan Islam fundamentalis.
Menurut mereka, kaum perempuan bisa dijadikan agen utama penderasan Islam moderat. Dengan membisikkan isu-isu gender yang bisa mendorong perempuan memperjuangkannya. Lembaga ini telah memberi klaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam.
Posisi perempuan dalam Islam paling tidak diuntungkan. Syariat Islam membedakan laki-laki dan perempuan dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami dan sebagainya. Perbedaan ini dianggap sebagai sebuah diskriminasi. Oleh sebab itu kesetaraan gender harus diwujudkan sebagai salah satu ciri muslim moderat.
Feminisme sebenarnya lahir dari sudut pandang masyarakat Barat yang feodalisme menjadikan perempuan sebagai obyek dan warga negara kelas dua. Terjadi perubahan sosial di Eropa pada abad 18, maka sistem feodalisme digantikan sistem kapitalisme. Yang serta merta tidak bisa mengubah kondisi perempuan kearah yang lebih baik. Bahkan membuat nasib perempuan makin memburuk karena menanggung beban ganda yakni sebagai ibu dan sebagai buruh yang gajinya lebih kecil dibandingkan kaum laki-laki. Dari sisi ini muncul upaya untuk menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan yang disebut dengan feminisme.
Jadi wajar, dalam perspektif masyarakat kapitalis sekuler saat ini bahwasanya perempuan dihargai dengan taraf ekonominya, status sosialnya dan status profesinya. Tak perduli bagaimana cara ia meraihnya. Ia diberi kebebasan seluas-luasnya demi sebuah kesuksesan. Maka dari itu peran mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tidak dihargai, malah dianggap sebagai bentuk diskriminasi perempuan.
Lewat cara pandang seperti inilah Barat terus-menerus memoderasi syariat Islam. Kaum muslim yang teracuni dan terjebak dalam ide ini lalu mengembangkan metode tafsir yang bertentangan dengan kaidah ushul fikih yang sudah baku. Maka keluarlah fatwa-fatwa yang khas moderasi Islam, yang berlawanan dengan ajaran Islam yang sohih. Bahkan syariat dituding sebagai legitimasi kekerasan terhadap perempuan dan sumber intoleransi.
Oleh karena itu para feminis berupaya untuk mendapatkan legalitas dalam Islam. Dengan mendobrak penafsiran Al Quran dan As-Sunnah dengan kaidah-kaidah tersendiri untuk mendukung ide kesetaraan yang mereka emban. Mereka menjungkirbalikkan dan menabrak kaidah-kaidah penafsiran yang sudah baku, terutama ushul fikih dan ilmu balaghah. Sebagai contoh seperti Qiraah Mubadalah, yang menjadikan maqashid syariat dalam kaidah ushul fikih mereka rumuskan sesuai dengan kacamata mereka. Nilai-nilai universal seperti keadilan, HAM, kesetaraan gender, toleransi dan sejenisnya sebagai standar nilai. Jika hukum tidak sesuai dengan nilai ini dibatalkan, jika ada di dalam Al Quran dan As Sunnah harus ditafsir ulang.
Padahal ide feminisme ini strategi Barat untuk memalingkan kaum muslimin, terutama muslimah dari pemikiran Islam kaffah ke pemikiran pragmatis, yakni memperjuangkan gender, pemberdayaan perempuan dan kemiskinan melalui program-program ekonomi.
Maka dibuatlah propaganda-propaganda dari tokoh-tokoh feminis yang mengklaim sebagai feminis muslim. Diantaranya proyek KUPI ini adalah untuk memperkuat agenda perjuangan kesetaraan gender dikalangan ulama perempuan. Untuk mengokohkan hegemoni politik Barat untuk menjajah negeri-negeri muslim dan menggerus akidah umat dari pemahaman Islam yang lurus. Serta menjauhkan mereka untuk memahami dan memperjuangkan Islam kaffah.
Allah SWT telah menurunkan Al Quran sebagai aturan yang terbaik bagi manusia. Rasulullah SAW sebagai rule model hidup kaum muslimin setelahnya serta mewariskan pedoman dasar untuk memahami aturan tersebut. Metode baku yang dipraktekkan generasi sahabat, salaf hingga generasi sekarang bahkan sampai kiamat, para mujtahid telah melakukan kaidah-kaidah penafsiran yang sahih.
Penempatan Syariat Islam terhadap perempuan berupa hukum pakaian, waris, wali, mahram dan segala hukum yang berkaitan dengan fungsi ibu serta pengatur rumah tangga seperti jaminan nafkah, pengasuhan anak/hadhanah adalah sebagai bentuk penjagaan yang justru membuat perempuan terhormat dan berharga. Jika dijalankan dengan baik, ikhlas dan ridha berdasarkan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, ia adalah perempuan yang sukses dunia akhirat. Kemuliaan dalam Islam adalah takwa.
Syariat Islam juga tidak mengekang perempuan diranah publik seperti berdagang, bertani, aktifitas ekonomi, industri, pendidikan, politik dan lainnya asal sesuai dengan batasan syariat.
Islam memandang laki-laki dan perempuan dalam tabiatnya adalah sama disisi Allah SWT. Sama-sama mendapatkan pahala dan surga jika beriman dan beramal saleh, akan diancam masuk neraka jika ingkar dan durhaka. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat an Nisa (4) ayat 124.
Namun secara kodrati ada perbedaan, dalam peran dan fungsi ditengah keluarga dan masyarakat tapi bukan betuk diskriminasi. Justru merupakan solusi yang terbaik bagi permasalahan dalam hubungan keduanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nisa (4)ayat 32.
Oleh karena itu, kaum muslim terutama generasi muda juga harus senantiasa waspada akan tipu daya orang kafir lewat ghazwul fikr atau perang pemikiran. Kesadaran untuk memahami dan belajar Islam kaffah adalah solusi terbaik. Sehingga kesadaran politik generasi muda terutama generasi muda muslimah tidak terjebak racun berbalut madu “feminisme” lewat moderasi. Diharapkan generasi muda muslimah memiliki peran besar dalam membangun peradaban Islam. Dan Islam telah menetapkan metode yang sahih untuk menerapkannya dalam kehidupan dunia. Hanya keridhaan Allah SWT saja yang dicari selama keistiqamahan melingkupi diri sekalipun dianggap radikal. Karena musuh-musuh Islam senantiasa berupaya untuk memperdaya kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَـكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”(QS. Al-Baqarah ( 2):20). Wallahu a’lam bishshawab.