Blunder Pernyataan Hadapi Corona Bukti Kegagalan Kepemimpinan Demokrasi

0
567

Oleh : Miliani Ahmad

Menkopolhukam Mahfud MD menyebut bahwa Corona itu seperti istri. Hal ini disampaikan Mahfud pada saat memberi sambutan dalam acara halal bihalal IKA UNS yang disiarkan youtube Universitas Negeri Sebelas Maret, Selasa 26 Mei 2020.

Sontak saja pernyataan Mahfud MD ini mendapat kritikan pedas dari berbagai kalangan. Sebut saja kritik pedas dari guru besar Sosiologi Universitas Indonesia Tamrin Tomagola. Beliau menyebut pendapat Mahfud MD tersebut sebagai pernyataan yang sangat sesat. “Sesat sekali penyamaan Virus Corona dengan istri yang tak bisa ditaklukkan:
1) sesat pertama ; relasi istri dan suami itu sebagai mitra-sejajar. Bukan relasi penakluk dengan yang ditaklukkan;
2) sesat kedua, istri itu warga habitat manusia sedangkan Virus Corona itu warga habitat liar, non-human,” tegasnya di akun twitter @tamrintomagola.

Kritik lain pun datang dari ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nisa Yura yang menilai pernyataan tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menangani pandemi Covid-19. Bahkan politisi Demokrat Soeyoto mempertanyakan maksud Mahfud MD mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut. “Apa yang dimaksud pak menteri @Mahfudmd ini… apa ingin Indonesia seperti Amerika, Itali atau Brazil yang dalam sehari ribuan orang meninggal akibat corona??, tanya Soeyoto di akun @soeyoto1

Pernyataan-pernyataan kontroversial pejabat negara dalam menghadapi pandemi Covid-19 saat ini bukan sekali ini saja. Ketika beberapa bulan lalu saat Covid-19 belum begitu ganas menyerang muncul pernyataan-pernyataan yang dianggap menyepelekan wabah ini. Seperti cukup minum jamu untuk tangkal Corona. Begitupun pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan, Virus Corona baru SARS-Cov-2 tak kuat bertahan di cuaca Indonesia yang cenderung panas. Hal ini ia sampaikan seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo melalui sambungan konferensi video, Kamis (2/4/2020).

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis hasil penelitian tentang komunikasi politik kabinet Jokowi dalam menghadapi pandemi Corona atau Covid-19. Penelitian yang diberi judul “Petaka Karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi” ini, dilakukan dengan menganalisis isi media massa baik media mainstream, seperti berita daring dan TV maupun media sosial seperti facebook, twitter dan youtube dari periode 1 Januari hingga 5 April 2020. Ada 13 statemen blunder pemerintah dalam wujud penolakan kemungkinan Corona yang dinyatakan oleh 10 pejabat mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menkomaritim, Menko Polkam, Menko Perekonomian, Menhub, Kepala BNPB, Menteri Pariwisata hingga Dirjen Perhubungan.

Begitulah realitas kegagapan para pejabat pemerintah ketika menghadapi pandemi ini. Alih-alih mereka sibuk memikirkan solusi penanganan yang cepat dan efektif, justru sikap dan pernyataan mereka menimbulkan kegalauan di tengah-tengah masyarakat. Dalam situasi yang demikian, setidaknya masyarakat mengharapkan para elit penguasa saat ini mampu bersikap sebagaimana negarawan sejati dalam memecahkan persoalan. Apalagi persoalan sekarang yang berkaitan dengan wabah bukanlah persoalan yang cukup diselesaikan dengan pencitraan atau guyonan semata. Masalah ini telah melibatkan seluruh energi anak bangsa banyak terkuras. Kehidupan ekonomi masyarakat begitu kacau. Tindakan kriminalitas begitu tinggi akibat penghidupan yang begitu payah dimasa pandemi ini. Belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada masayarakat seperti menaikkan iuran BPJS disaat situasi sulit saat ini. Apalagi nyawa, seperti tak ada harga ketika negara mulai melakukan pelonggaran demi pelonggaran aktivitas untuk menopang kemerosotan keuangan para kapitalis dengan ungkapan penyelamatan ekonomi negara.
Kemerosotan berpikir yang demikian jelas-jelas menunjukkan realitas bagaimana kualitas dan kapasitas pemimpin negeri ini dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini wajar terjadi karena kapasitas mereka memimpin hanya berdasarkan aspek pemikiran yang berlandaskan manfaat. Rakyat hanya dijadikan pion-pion yang siap dimainkan jika dibutuhkan dan siap dijadikan tumbal jika kepentingan mereka terancam. Padahal kepemimpinan bukanlah sekedar kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan suatu hal yang pokok yang berkaitan dengan pengaturan hajat hidup dalam masyarakat. Kepemimpinan adalah wujud dari pelaksanaan amanah yang dibebankan umat kepada pihak yang memimpin. Bahkan kepemimpinan memiliki nilai yang begitu menakutkan ketika kepemimpinan tersebut justru mendatangkan kemudharatan dan kedzholiman.

Islam Memandang Kepemimpinan

Kepemimpinan—dalam konteks bernegara—adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah SAW bersabda:

…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Berkaitan dengan pengurusan rakyat, Rasulullah SAW bersabda: “Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan ada nabi setelahku, tetapi akan ada banyak khalifah.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Beri mereka hak mereka karena Allah nanti akan meminta pertanggungjawaban mereka atas urusan saja yang telah diserahkan kepada mereka.”  (HR Muslim).

Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ…

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)…” (TQS al-Nisa’ [4]: 59).

Mengomentari ayat di atas, Imam al-Qurthubi berkata, “Setelah ayat sebelumnya (QS an-Nisa’ [4]: 58) memerintahkan para penguasa untuk menunaikan amanah dan mengatur urusan masyarakat dengan adil, ayat ini diawali dengan perintah kepada rakyat agar: Pertama, menaati Allah SWT dengan cara melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, menaati Rasul-Nya, yakni dalam semua hal yang beliau perintahkan maupun yang beliau larang. Ketiga, menaati para pemimpin.”

Dengan demikian amanah untuk mengurus semua kemaslahatan rakyat tidak boleh didasarkan pada aturan-aturan kapitalis sekular—sebagaimana yang terjadi saat ini—yang dasarnya adalah hawa nafsu dan kepentingan sesaat.

Tentu saja semua komponen masyarakat sangat mengharapkan kepemimpinan sebagaimana kepemimpinan yang digambarkan di dalam Islam ini. Kepemimpinan di dalam Islam adalah kepemimpinan yang selalu menyandarkan diri kepada ketaqwaan. Kepemimpinan yang disertai dengan rasa takut yang amat sangat jika lalai dalam menjalankan amanah. Kepemimpinan yang begitu menjaga lisan mereka agar tidak melukai hati rakyatnya apalagi sampai menimbulkan polemik. Kepemimpinan yang demikian hanya dapat dilahirkan dalam sebuah mekanisme sistem yang shohih. Sistem ini (sistem kepemimpinan Islam-khilafah) mampu mencetak generasi-generasi cemerlang. Generasi yang mampu membangkitkan peradaban, memuliakan kehormatan manusia, memimpin dengan penuh ketaqwaan, serta mampu membangun sebuah adidaya yang ditakuti oleh para musuh. Bahkan para pemimpin yang lahir dalam sistem ini dikala siang mereka seperti singa yang menjaga kehormatan, darah dan nyawa warganya tapi jikalau malam mereka adalah hamba yang begitu masyghul berdekatan dengan Rabbnya.

Rasanya amat sulit mendapatkan kepemimpinan yang demikian ditengah alam demokrasi sekuler saat ini. Sistem ini begitu gagal dan akut dalam menciptakan manusia menjadi pemimpin. Penyandaran mereka kepada akal dan menafikan agama dalam memimpin telah menciptakan sebuah gelombang kehancuran peradaban. Manusia hanya diukur sebatas materi. Aktivitas hanya disandarkan kepada kemanfaatan semata. Kebebasan berperilaku menjadi sesuatu yang sangat diagung-agungkan. Bahkan mereka tidak peduli jika nyawa rakyat melayang akibat kebijakan yang mereka timpakan.

Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa lisan dan perbuatan mereka akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di yaumil akhir.

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)

وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

“Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya.” (HR Muslim).

أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
“Siapapun yang diangkat memegang tampuk kepimpinan atas rakyat, lalu dia menipu mereka, maka dia masuk neraka.” (HR Ahmad). ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here