Oleh : Ummu Aziz
Kelas rawat inap BPJS Kesehatan akan dihapus dan hanya ada kelas standar. BPJS menyatakan bahwa penghapusan kelas ini bertujuan menjalankan prinsip asuransi sosial dan ekuitas di program JKN, yakni kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis tanpa terikat besaran iuran, (kompas.com, 12/12/21).
Penghapusan kelas BPJS Kesehatan rencananya akan dimulai pada Juli 2022. Adapun kebijakan tersebut saat ini masih dimatangkan. Nantinya, layanan yang akan didapat peserta akan menjadi satu standar begitu pun dengan iuran yang wajib dibayarkan.
Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan melebihi kelas standar bisa memilih salah satu di antara dua opsi, yakni mengikuti asuransi kesehatan tambahan (swasta) atau membayar sendiri selisih biaya antara yang BPJS Kesehatan jamin dan biaya yang seharusnya peserta bayar. Ada dugaan, penghapusan kelas rawat inap BPJS ini akan menguntungkan asuransi swasta, serta akan membuka peluang bisnis terkait pelayanan bagi peserta yang ingin mendapat layanan lebih dari yang BPJS sediakan.
Penghapusan kelas ini juga berkonsekuensi peserta BPJS kelas 3 harus membayar lebih mahal daripada iuran saat ini. Jika biasanya membayar Rp 35 ribu, ke depan harus membayar lebih. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tentu akan memberatkan masyarakat, utamanya yang selama ini menjadi peserta kelas 3.
Salah satu alasan penghapusan kelas BPJS adalah untuk menutup defisit yang selama ini selalu terjadi. Namun, sebenarnya langkah ini kurang efektif karena biang keladi defisit di BPJS Kesehatan adalah adanya fraud (kecurangan) oleh oknum-oknum tertentu, misalnya dengan memasukkan suatu tindakan yang sebenarnya tidak dilakukan ke dalam rekapitulasi penanganan pasien. Akibatnya, biaya yang harus BPJS tanggung pun membengkak. Faktor lain penyebab defisit adalah buruknya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sehingga pasien rujukan ke rumah sakit menjadi banyak. Akibatnya, biaya yang harus BPJS Kesehatan bayar juga makin mahal. Dengan demikian, kebijakan penghapusan kelas mungkin bisa menambah jumlah kas masuk ke BPJS Kesehatan, tetapi tidak otomatis menyelesaikan persoalan kesehatan ini.
Sengkarut persoalan yang BPJS hadapi, baik defisit, biaya meningkat, layanan yang banyak mendapatkan kritikan, dan lain-lain, bermuara pada satu persoalan dasar, yaitu paradigma kapitalisme dalam pengelolaan sektor kesehatan.
Terlihat jelas bahwa penguasa menggunakan paradigma kapitalisme dalam urusan kesehatan, yaitu mencari untung, bukan untuk memberi layanan terbaik. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam Islam, kesehatan adalah hak rakyat dan merupakan kewajiban negara untuk memfasilitasinya tanda membeda bedakan serta tidak ada kelas,semuanya mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Di dalam Islam, negara menyediakan layanan kesehatan untuk mewujudkan jaminan terhadap urusan rakyat, bukan untuk mencari untung. Visinya adalah mewujudkan layanan terbaik untuk rakyat, bukan besaran dana yang masuk ke kas negara. Bahkan, dalam Islam tidak ada kas satu dinar pun yang dipungut dari sektor kesehatan, karena penyelenggaraannya gratis.
Karena Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana pelayanan kesehatan di dalam Islam. Rasulullah SAW selaku kepala negara pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis dan menjadikannya dokter umum bagi seluruh masyarakat secara gratis. Khulafa penerus Rasulullah pun meneladani beliau dengan menyediakan layanan kesehatan gratis nan berkualitas. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam (pembantu beliau) secara gratis. Khalifah Umar bin Khaththab ra juga mengalokasikan anggaran dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit di Syam.Begitulah indahnya kesehatan jika diatur oleh Islam. Wallahua’lam bi shawab