BPJS Kesehatan Dalam Dilema dan Sorotan

0
642

Kiriman Fri (Wartawan Jakarta)

TERKAIT rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan yang dianggap akan memberatkan masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, sistem penggajian yang fantastis yang diberikan kepada segenap direksi dan anggota dewan pengawas BPJS. Direksi BPJS bahkan bisa mendapatkan gaji sebesar Rp. 200 juta/orang per bulan. Belum lagi beberapa bulan yang lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyetujui penambahan tunjangan cuti tahunan untuk mereka.

Kedua,  terkait pembengkakan defisit BPJS Kesehatan dimana akhirnya yang harus menanggung adalah seluruh rakyat dengan disetujuinya kenaikan iuran sebesar 100% oleh Presiden Jokowi.

Ketiga, atau yang terakhir, masih banyaknya keluhan peserta terkait layanan BPJS yang masih jauh di bawah asuransi swasta.

“Tiga hal di atas membuat saya benar-benar tidak habis pikir melihat cara kerja dari orang-orang yang diamanahkan untuk mengelola dana dan institusi publik. Kinerja-nya tidak jelas tidak ada pula “sense of crisis,” ungkap Farouk Abdullah Alwyni pada awak media di Jakarta Rabu, (06/11/2019).

“Melihat kondisi BPJS Kesehatan yang seperti diatas, bagaimana mungkin Presiden bisa menyetujui rencana kenaikan iuran sebesar 100% yang pada akhirnya akan dibebankan kepada rakyat. Seharusnya yang pertama-tama perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi kritis atas cara kerja dan kinerja Direksi dan Badan Pengawas BPJS Kesehatan, belum lagi banyaknya catatan BPK terkait audit BPJS, dimana masih banyak hal diluar iuran yang masih bisa dilakukan. Melihat layanan BPJS Kesehatan yang dianggap masih perlu banyak perbaikan disatu sisi, dan disisi lain para direksi mendapatkan remunerasi yang sangat besar sekali, apalagi kalau mengingat mereka semua ini bekerja di institusi layanan publik. Belum lagi jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Indonesia yang nota bene-nya adalah para konsumen mereka,” imbuh Chairman Center For Islamic Studies in Finance, Economics & Development (CISFED) ini.

Sebenarnya kondisi BPJS Kesehatan yang seperti sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas direksi yang meragukan. Ketika defisit terjadi hanya bisa berfikir menaikkan iuran. Lalu mencari “kambing hitam” bahwa para peserta tidak membayar iuran dengan baik. Seharusnya dengan gaji yang begitu besar mereka bisa lebih cerdas berfikir, bagaimana membuat sebuah mekanisme yang bisa memastikan para peserta melakukan kewajiban pembayaran iurannya dengan baik tanpa harus juga menggunakan tangan-tangan kekuasaan.

Banyak pula “komplain” terkait kinerja BPJS Kesehatan di lapangan mulai dari “secondary second class status” dari BPJS Kesehatan di mata para penyedia sarana kesehatan di sejumlah rumah sakit  hingga persoalan tunggakan pembayaran BPJS Kesehatan di rumah sakit-rumah sakit. “Secondary/second class status” ini tidak bisa lepas dari persoalan lamanya pembayaran tunggakan BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit yang berakibat masyarakat pengguna fasilitas BPJS Kesehatan menjadi pihak yang harus menanggung akibatnya, dengan mendapatkan layanan yang kurang baik.

“Saya rasa  persoalan BPJS Kesehatan ini perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak. Pihak BPJS Kesehatan dan segenap pihak yang terlibat didalamnya, tidak bisa hanya dibiarkan menjalankan institusi penting ini semaunya, dengan kinerja yang buruk tetapi ingin gaji sangat tinggi. Ini adalah bentuk “mismanagement” yg sangat kasat mata,” tegas Farouk.

“Salah satu ukuran kinerja yang harus dituntut dari direksi dan pengawas BPJS adalah bagaimana institusi ini bisa dihargai di rumah sakit-rumah sakit, tidak kalah dari asuransi swasta, dan para peserta tidak dinomorduakan dalam mendapatkan layanan kesehatan.

Secara konsep BPJS Kesehatan dituntut untuk bisa memberikan ‘excellent quality health care (kualitas layanan kesehatan yang baik)’ kepada segenap anggotanya yaitu mayoritas rakyat Indonesia. Jika para direksi dan pengawas BPJS Kesehatan ini tidak bisa memberikan itu buat apa mereka tetap duduk dengan menikmati gaji yang besar? Kenapa negara mewajibkan masyarakat harus mensubsidi “inkompetensi” mereka?,” tutup Farouk Abdullah Alwyni, MA, MBA, yang juga Dosen Perbanas Institute ini. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here