Dilema Sekolah Tatap Muka

0
317

Oleh : Ismawati (Aktivis Muslimah)

Sejak beberapa bulan terakhir pemerintah menerapkan kebijakan sekolah daring (dalam jaringan) lantaran munculnya Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Hingga kini, Kemendikbud Nadiem Makarim mengumumkan seluruh SMK dan Perguruan Tinggi di seluruh zona sudah boleh lakukan pembelajaran secara tatap muka.

Hal itu ia ungkapkan dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (7/8/2020). Penerapan kebijakan sekolah tatap muka ini diminta untuk tetap mematuhi protokol kesehatan keamanan Covid-19 seperti wajib menggunakan masker, mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer, menjaga jarak 1,5 meter dan tidak melakukan kontak.

Dilansir dari situs Hitsgrid.id pada 7/8/2020, untuk jenjang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka dapat juga dilakukan dengan menerapkan shifting atau sistem rotasi dengan ketetntuan maksimal perserta didik yang hadir sebanyak 18 anak. Kebijakan ini ternyata mendapat tanggapan tak setuju dari KPAI. Dilansir situs tribunnews.com tanggal 8/8/2020, Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait menilai bahwa keputusan dari Kemendikbud tersebut belum tepat waktunya, mengingat risiko untuk tertular masih ada, terlebh untuk zona kuning.

Kebijakan ini hadir lantaran banyak wali siswa yang mengeluhkan proses pembelajaran daring karena terkesan menyulitkan. Mulai dari tidak adanya penjelasan guru terhadap soal yang diberikan, keluhan tak memiliki handphone android, kuota internet hingga sinyal yang memadai di beberapa wilayah. Untuk itu sekolah tatap muka menjadi tuntutan dan harapan banyak pihak untuk menghilangkan segala kendala akibat penerapan belajar online dari rumah.

Hanya saja, risiko bahaya tertularnya Virus Covid-19 bisa saja terjadi. Mengingat, virus ini sangat mudah menular dan tidak cepat mengetahui siapa saja yang terinfeksi. Untuk itu, sangat disayangkan pemerintah merespon segala kendala yang ada dengan kebijakan sporadis (kebijakan yang belum matang dan terkesan terburu-buru).

Misalnya dalam pemecahan masalah kendala jaringan internet, pemerintah mengizinkan menggunakan dana BOS untuk keperluan kuota internet siswi sedangkan disisi lain masalah tidak adanya jaringan internet yang memadai tidak dicarikan solusi. Banyak pelajar yang harus berjuang ekstra untk mendapatkan sinyal bagus demi mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), karena di Indonesia masih banyak wilayah yang terkendala sinyal internet.

Kemudian pemerintah berubah-ubah tentang kebolehan belajar tatap muka di zona kuning dan hijau bahkan di seluruh zona saat ini, serta mewacanakan kurikulum darurat selama BDR. Kurikulum darurat merupakan penyederhanaan kompetensi dasar yang mengacu pada kurikulum 2013. Dimana pada kurikulum darurat ini ada pengurangan kompetensi dasar untuk setia mata pelajaran sehingga berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya. Alhasil, guru berkurang beban mengajar dan siswa tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum dan dapat berfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang esensial dan kontekstual.

Semua fakta ini terjadi lantaran negara menerapkan sistem sekulerisme dalam mengatasi masalah pendidikan. Pendidikan tersandera oleh kepentingan ekonomi, bahwa sistem pendidikan akan membentuk pribadi dengan orientasi dunia. Selanjutnya, tidak adanya pandangan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan publik yang seharusnya terjamin oleh negara untuk setiap individu masyarakat. Pendidikan sekuler kapitalistik gagal membentuk manusia saleh yang bertaqwa.

Berbanding terbalik dalam kacamata sistem pemerintahan Islam. Pendidikan dipandang sebagai kebutuhan utama, dimana negara memiliki peran penting untuk membangun paradigma pendidikan yang terbaik bagi seluruh warga negara. Tujuan utama dalam pendidikan adalah membangun kepribadian islami dengan Aqliyah dan Nafsiyah yang kuat. Kurikulum yang dikembangkan seraya menambah ketakwaan kepada sang pencipta.
Sehingga, kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pendidikan akan ditanggung oleh negara. Seperti misalnya gedung sekolah, laboratorium, buku-buku pelajaran dan semisalnya. Darimana dananya? Yakni dari baitul mal dari pos fa’i, kharaj, dan pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang di kelola untuk kemaslahatan rakyat.

Oleh karena itu, pendidikan di dalam sistem islam akan mencetak generasi unggul. Karena setiap sarana dan prasarana akan dibiayai negara secara gratis. Maka, siswa akan fokus belajar dan mengembangkan diri menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta menguasai prestasi akademik dalam bidang sains, teknologi atau bidang lainnya. ***

Wallahu a’lam bishowab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here