Oleh : Ismawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Setelah buron selama 11 tahun, Koruptor Bank Bali Djoko Tjandra resmi menjadi narapidana (kompas.com, 1/8/2020). Badan Resese Kriminal (Bareskrim) Polri telah secara resmi menyerahkan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali ke Kejaksaan Agung.
Kasus Djoko Tjandra bermula ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat. Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar. Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp. 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp. 546 miliar dirampas untuk negara.
Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia. Sebelum akhirnya ditangkap pada Kamis, (30/7/2020), Djoko sempat membuat KTP elektronik dan paspor untuk mendaftarkan PK (Peninjauan Kembali) ke pengadilan untuk pindah kewarganegaraan.
Sudah bukan rahasia lagi terkait adanya kasus korupsi yang semakin menjalar di negeri ini. Pelakunya bebas melarikan diri, bahkan melancong keluar negeri. Seperti yang terjadi pada kasus mega korupsi Djoko Tjandra ini menuai sejarah panjang untuk menangkap satu orang yang sangat merugikan negara. Perlindungan pelaku korupsi berjalan secara sistematis. Mulai dari pejabat tinggi, petugas imigrasi dan pejabat tinggi lainnya.
Terang saja, selain kasus korupsi Djoko Tjandra, sejarah pernah mencatat riwayat panjang perjalanan penanganan kasus korupsi di Indonesia hingga hukum di Indonesia seolah “ramah” pada koruptor. Sebut saja “penipu ulung” Eddy Tansil pada 1996 yang menghilang dan tidak pulang dari kantor suatu malah setelah secara teratur di izinkan keluar dari penjara untuk mengurus bisnis. Eddy Tansil sedang menjalani hukuman 20 tahun penjara, hingga kini tinggal di China dengan menikmati hasil korupsi 7,9 triliun yang digelapkannya dari Bank Pembangunan Indonesia, (mata-matapolitik.com 31/7).
Sistem sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) telah mengukuhkan orientasi manusia menjadi individu yang cinta dunia dan menyingkirkan keimanan dalam dada. Sehingga, para pejabat negeri dengan mudah melakukan korupsi untuk memperkaya diri. Bahkan begitu sulit menjauhkan praktik korupsi di lingkaran para pejabat dan konglomerat. Karena baik yang dilindungi maupun yang melindungi semuanya mendapatkan keuntungan materi.
Sistem sanksi dalam negara demokrasi pun tak mampu mengurangi jumlah kasus korupsi. Yang ada semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Penangkapan Djoko Tjandra ini misalnya, tidak bisa dianggap prestasi bagi kepolisian justru membuka tabir keburukan sistem demokrasi yang dibuat manusia. Tak mampu memberi solusi tuntas untuk menanggulangi kasus korupsi, faktanya semakin hari semakin fantastis uang rakyat yang dikorupsi.
Oleh karena itu, sudah saatnya menutup celah bagi para pelaku korupsi dengan mengganti sistem yang diterapkan negara. Adalah islam, sebagai agama sekaligus ideologi yang memancarkan peraturan untuk seluruh umat manusia. Aturan yang diterapkan berasal dari Al-Khaliq, Al-Mudabbir yakni Allah swt, sehingga manusia yang menjalankan aturan di bumi Allah, akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab, setiap perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Yang utama adalah ketakwaan individu secara totalitas, maka tatkala seseorang diberi sebuah amanah, ia akan menjalankan sebagaimana mestinya. Ketakwaan inilah yang menghantarkan individu menjadi takut berbuat kecurangan, apalagi berani memakan yang bukan haknya untuk memperkaya diri dan nafkah bagi keluarganya. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (TQS. At-Tahrim : 6)
Sementara dalam penerapan sanksi, negara sangat tegas menghukumi pelaku korupsi. Bisa dalam bentuk publiksi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Sanksi tegas akan membawa efek jera bagi para pelaku korupsi. Tidak akan dibiarkan oleh negara para penikmat harta milik orang lain ini merajalela. ***
Wallahu a’lam bishowab.