Dukungan Terhadap Pemerintahan Sekuler Liberal Kesalahan Mendasar

0
312

Oleh: Hj.Padliyati Siregar ST

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD kembali menegaskan bahwa mendirikan negara seperti sistem yang dibangun Nabi Muhammad itu haram dan dilarang.

Hal itu sekaligus menjawab Imam Masjid Islamic Center New York Syamsi Ali atau Imam Shamsi Ali yang mengkritik pernyataan Mahfud MD itu dalam sebuah ceramah tarawih. Kali ini, Mahfud MD menjelaskan panjang lebar alasan, kenapa mendirikan negara seperti sistem nabi itu disebutnya haram dan dilarang.

Dalam akun Facebook miliknya, Mahfud MD setidaknya menjelaskan empat poin alasan. Mengawali penjelasannya, Mahfud MD membenarkan, bahwa dirinya mengatakan mendirikan negara seperti “sistem” yang dibangun oleh Nabi Muhammad itu haram dan dilarang.

Tentiu saja apa yang dikatakan oleh Mahfud MD menuai kritik dari sejumlah pihak dan mempertanyakan pernyataan Mahfud MD tersebut. “Haram menurut pengertian apa? Secara syar’i atau politik? Kalau pengertian syar’i itu dasarnya apa? Kalau pengertian syar’i haram itu kan harus ada dalil yang menyatakan bahwa memang itu haram.

Jika dikatakan haram secara politik, mereka yang melarang justru salah karena telah mengebiri kebebasan melaksanakan agama yang dianut yang sudah dijamin oleh konstitusi. Upaya persekusi terhadap ajaran khilafah disebabkan karena memang mereka melihat tumbuh secara masalah kesadaran keberislaman di tengah-tengah masyarakat.

Di antara kesadaran keberislaman itu adalah kesadaran politik Islam. “Ke mana lagi orang merujuk mengenai politik Islam itu bila tidak kepada kitab-kitab politik Islam? Dan ketika umat mengkaji kitab politik Islam cepat atau lambat pasti sampai kepada bab khilafah ini.

Termasuk Pakar Fikih Kontemporer dan Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi mempertanyakan dalil ayat Al-Qur’an atau hadits terkait ceramah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW (khilafah). “Nah ketika Pak Mahfud MD itu bilang khilafah itu haram, apa dalilnya itu tidak menyebut ayat atau hadits,” ujarnya dalam Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara ala Nabi, Haramkah? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (10/4/2022).

Kiai Shiddiq mengatakan, Islam mengajarkan benar tidaknya sebuah pendapat itu berdasarkan argumen. Jadi walaupun yang berpendapat itu bergelar profesor, doktor dan seterusnya, tetapi argumentasinya tidak mempunyai dalil atau dasar, berarti pendapatnya adalah salah.

Ia menilai, Mahfud MD tidak menyebut dalil keharaman dalam ceramahnya itu. Sebab haram dalam pengertian syar’i adalah ada larangan dari Al-Qur’an atau hadits. Sehingga ketika mengatakan haram mendirikan khilafah seharusnya Mahfud MD menyebutkan dalilnya di Al-Quran atau hadits.

Ia mencontohkan, ketika ada orang mengatakan minum khamer atau minuman keras haram. Maka ketika ditanya apa dalilnya akan bisa menunjukan, yaitu dalam surat Al-Maidah ayat 90. “Mestinya sebutkan dong, masak menyebut haram enggak bisa menyebut dalilnya,” tuturnya.

Ia berpendapat, bahwa berakhirnya wahyu dan tiadanya nabi lagi, tidaklah berarti haram bagi umat Islam mendirikan negara ala Nabi. Sebab Nabi SAW pada saat di Madinah, mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai nabi (manshib al-nubuwwah), dan sebagai pemimpin umat (manshib ar-ri`asah) atau sebagai kepala negara. Maka ketika Nabi wafat, kedudukan kenabian (manshib al-nubuwwah) berhenti, sebab wahyu dan nabi tak ada lagi. Sedang kedudukan kepemimpinan (manshib ar-ri`asah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut, dan ini disabdakan sendiri oleh Nabi SAW.

Mengutip Hadits Riwayat Muslim yang berbunyi “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak,” Kiai Shiddiq menyatakan, para khalifah tersebut hakikatnya telah meneruskan negara ala Nabi Muhammad SAW.

Dan negara ala Nabi Muhammad SAW inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. “Jadi saya kira dalam hadits ini ada pelajaran yang sangat penting yang bisa membantah pendapat Pak Mahfud MD tadi,” pungkasnya.

Dan jika sistem pemerintahan Islam dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa yang majemuk, pluralistik, dan sebagainya. Sebaliknya apakah masyarakat di bawah sistem khilafah itu homogen. Sebagaimana di zaman kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasalam.

Faktanya pada saat itu masyarakat Madinah juga beragam, ada Muslim, musyrik, kafir, bahkan tidak beragama pun ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan, masyarakat Madinah juga plural, majemuk, dan beragam bukan semuanya Islam.

Penolakan ide khilafah sebenarnya bukan karena pluralitas masyarakatnya,bisa jadi karena kita tidak mau dan banyak yang merasa terancam dengan ditegakkannya hukum-hukum Allah.

Sungguh apa yang diserukan orang-orang seperti Mahfud MD ini hanyalah akan mengukuhkan sistem sekuler yang jelas telah memberi kemudaratan besar atas umat dari masa ke masa. Dan di saat sama, akan mengukuhkan kelemahan umat di hadapan hegemoni sistem kapitalisme liberal yang nyata-nyata telah mengeksploitasi umat dan seluruh apa yang dimilikinya hingga tak mampu lagi tampil sebagai khairu umat yang semestinya memimpin peradaban.

Padahal Allah SWT telah mengingatkan,

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS Ali ‘Imran:  19)

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembalikan?” (Ali ‘Imran: 83)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran: 85)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َاْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى.

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Daruquthni dan al-Baihaqy)

Lantas, jika ajaran Nabi saw. diabaikan, kepada siapa umat ini mengambil suri teladan? Apakah kepada filosof Yunani bernama Montesquieu dan profesor yang begitu mengagungkan akal?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here