
Oleh : Hj. Padliyati Siregar ST (Mubalighoh Palembang)
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Arya Sinulingga, menduga ada praktik mafia alat kesehatan di Tanah Air. Dugaan ini muncul lantaran tingginya impor Indonesia untuk produk-produk tersebut, salah satunya ventilator.
Padahal, kata Arya, ternyata dalam satu bulan saja sudah ada beberapa pihak di dalam negeri yang bisa merancang dan mengembangkan ventilator lokal, antara lain Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, hingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Kenapa selama ini mesti impor? Berarti ada trader. Pak Erick berpikir pasti ada yang memaksa ingin trading terus. Ini terbukti, ternyata kita bisa bikin ventilator,” ujar Arya dalam sebuah diskusi daring, Ahad, 19 April 2020.
Pada saat ini, sebagian besar negara-negara di dunia berada pada pusaran globalisasi, demokratisasi atau ekonomi global kapaitalisme (economic global capitalism). Hampir dapat dipastikan bahwa negara-negara di dunia saat ini tidak berada pada ruang hampa ekonomi kapitalis, demikian pula halnya beberapa negara yang masih bertahan dengan ideologi sosialis komunis, sebut saja seperti negara Cina.
Negara Cina yang mengklaim diri sebagai negara berideologi sosialis komunis, namun praktek ekonominya secara jelas mempraktekan ekononi pasar bebas atau ekonomi kapitalis.
Sejak dominasi sistem kapitalis, seluruh dunia telah hidup dalam kegelapan sistem ini, setelah gagal menciptakan kehidupan ekonomi yang bebas dari krisis yang mengakibatkan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, gelandangan, dan kemelaratan pada tingkat yang tinggi dan berbahaya, karena beberapa faktor, terutama globalisasi ekonomi.
Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa Indonesia sendiri mampu merancang dan mengembangkan ventilator lokal tidak perlu impor, kenapa harus impor? Tentu saja ada kapitalisme global yang menekan negeri ini, dalam kebijakan ekonominya.
Indonesia membutuhkan pemerintahan yang mandiri bukan didikte oleh para kapitalis. Bangsa ini harus bisa berdiri diatas kaki sendiri. Indonesia bisa jadi tuan rumah di negara sendiri. Miris ketika harus melihat barang-barang impor. Seolah-olah kita belum merdeka di negara sendiri.
Indonesia sangat ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan (alkes). Porsi impor barang tersebut mencapai 90 % dibandingkan yang bisa dipenuhi dalam negeri. Bisa jadi kondisi tersebut memang sengaja diciptakan dengan tidak membangun industrinya di dalam negeri.
Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan oleh negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya sistem yang shohih yakni sistem Islam yang menjamin kesejahteraan hakiki bagi seluruh rakyat dan mewujudkan keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Negara Khilafah yang akan menerapkan ideologi yang haq. Itulah ideologi Islam yang agung, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil ‘alamin. Pada saat itu, keadilan Islam akan dapat menyingkapkan ketamakan Kapitalisme-Liberal yang bersifat materialistik dan metode imperialisme mereka.
Oleh karena itu, telah jelas musuh yang nyata bagi umat Islam saat ini. Itulah Kapitalisme-Liberal. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi Kapitalisme-Liberal ini secara fundamental, kecuali dengan melawan dan menghilangkan ideologi ini dari muka bumi dengan mengerahkan segala daya upaya sehingga menjadi Negara yang mandiri.
Kepemimpinan Dalam Islam
Prinsip keadilan dan kepmimpinan dalam Islam berlandaskan pesan universal: “Rasulullah SAW diutus ke muka bumi ini adalah untuk membawa berkah bagi alam semesta. Rahmatan Lil ‘alamin.” Kita sebagai muslim akan menjunjung misi ini untuk membawa keberkahaan bagi alam semesta. Pesan ini sangat universal, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi ini ingin melihat kerusakan alam semesta, tidak perduli apakah dia muslim atau tidak, semua ingin melihat alam yang lestari.
Sebagai orang yang beriman kita percaya bahwa segala selalu bersumber dari Allah. Kepemimpinan juga bersumber dari Allah. Tentunya banyak yang menyangka kalau kepemimpinan yang dimaksud adalah untuk urusan agama, padahal prinsip kepemimpinan yang disabdakan Allah kepada manusia melalui Rasulullah SAW sifatnya universal mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada pertentangan antara kepentingan agama Islam dengan kehidupan umum.
Kepemimpinan telah disebutkan sejak sebelum proses penciptaan manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah 30 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Disinilah kata “Khalifah” yang secara harfiah berarti successor atau wakil/penerus kekuasaan (Allah) menjadi sangat penting untuk dipahami. Dalam definisi yang lebih operasional, Khalifah berarti memerintah sesuai dengan Al-Quran dan teladan dari Rasulullah SAW. Dan bila dipelajari lebih teliti kata Khalifah tidak menganjurkan jabatan permanent, suksesi adalah bagian dari konsep Khalifah.
Konsep inilah yang justru dilupakan dan ditanggalkan oleh pemimpin yang mengaku muslim, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mempertahankan yang sudah didapat. Sekali seorang menjadi pemimpin sudah tentu orang ini ingin menjadi pemimpin abadi atau paling tidak anak keturunannya yang menjadi pemimpin. Padahal sudah diperingatkan oleh Rasulullah S.A.W. bahwa tugas menjadi pemimpin harus dipertanggung jawabkan di hari akhir.
Seperti yang diriwayatkan oleh Abu’ Huraira, Rasulullah S.A.W. bersabda bahwa orang yang rakus kekuasaan akan menyesal di hari perhitungan nanti. Saat ini dunia membutuhkan pemimpin yang amanah
Sejak Rasulullah SAW diutus, tidak ada masyarakat yang mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan adil kecuali dalam masyarakat yang menerapkan sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasan mereka dalam membela Islam dan kaum Muslim. Mereka adalah negarawan-negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki akhlak yang agung dan luhur. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, misalnya, adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, misalnya, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka. Demikian pula saat banyak orng yang murtad dan memberontak. Dengan begitu stabilitas dan kewibawaan Negara Islam bisa dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang. Khalifah Umar bin al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat: Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Rasulullah SAW bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW pun bersabda:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu‘aim).
Begitulah pemimpin saat menerapkan syariah Islam. ***


