Oleh: Riyulianasari
Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$ 250 juta atau setara Rp 3,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14 ribu per dolar AS) untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah.
Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 8 juta anak atau 15 persen dari total siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dalam praktiknya, sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum nasional, dan banyak diikuti anak-anak dari keluarga termiskin di daerah pedesaan.
Pinjaman ini nantinya akan digunakan untuk melaksanakan program Realizing Education’s Promise. Melalui proyek tersebut pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien oleh sumberdaya di bawah naungan Kemenag.
Program tersebut juga akan digunakan untuk membangun sistem hibah sekolah demi meningkatkan kinerja siswa dalam hal standar pendidikan nasional, terutama untuk sekolah dengan sumber daya terbatas.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A Chaves mengungkapkan proyek ini merupakan komponen penting dari upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat modal manusia, serta meningkatkan mutu sistem pendidikannya.
“Mencari cara bagi sekolah untuk membelanjakan anggaran dengan lebih baik sangat penting untuk membantu anak-anak Indonesia memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik, sehingga mereka akan semakin sukses di pasar tenaga kerja,” ujar Chavez dalam keterangan resmi bersama, dikutip Jumat (28/6) lalu.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Komaruddin menyatakan pengembangan modal manusia merupakan salah satu prioritas utama pemerintah. Karenanya, penting untuk memastikan seluruh anak Indonesia menerima pendidikan yang bermutu.
“Melalui proyek ini, sekitar delapan juta siswa sekolah dasar dan menengah akan mendapat manfaat dari peningkatan manajemen sekolah, sistem data pendidikan, dan proses belajar-mengajar,” terang Komaruddin. Untuk mengukur pencapaian, proyek ini akan mendukung pelaksanaan penilaian siswa kelas 4 secara nasional di sekolah-sekolah di bawah Kemenag.
Proyek ini juga akan membiayai pelatihan bagi tenaga pendidik agar mendukung peningkatan mutu pengajaran dan pembelajaran. Selain itu, proyek juga akan berinvestasi dalam pengumpulan dan analisis data untuk meningkatkan manajemen sekolah-sekolah. Sebelumnya, Menteri Agama Lukman mengungkapkan Indonesia memiliki setidaknya 48 ribu madrasah, yang terdiri dari madrasah negeri dan swasta.
Menurut Lukman, pengembangan madrasah tidak akan optimal jika hanya mengandalkan anggaran negara. Pasalnya, keterbatasan dana mengakibatkan pengembangan madrasah lebih terpusat pada pengembangan bangunan fisik, belum ke arah kualitas pendidikan.
“Untuk menyiapkan sarana fisiknya saja, APBN kita tidak cukup. Apalagi, bicara kualitas guru, sistem rekrutmen siswa, standardisasi siswa, dan membangun sistem informasi dan teknologi yang lebih baik,” kata saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (24/6) lalu.
Perbaikan hanya slogan
Perbaikan sistem pendidikan selalu dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya. Mulai dari perbaikan kurikulum pendidikan, cara belajar mengajar, syarat penerimaan siswa baru, jam pulang sekolah, selalu menjadi pembahasan yang tak kunjung usai.
Program peningkatan mutu pendidikan madrasah dan menengah di Indonesia saat ini menjadi alasan pemerintah untuk berhutang kepada bank dunia. Jika kita melihat madrasah dasar (M.I) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang sudah ada baik negeri ataupun swasta semuanya telah melakukan perbaikan sesuai dengan program-program pemerintah sebelumnya, tetapi hasilnya belum memuaskan. Sekolah sekolah yang berbasis agama milik pemerintah hampir sama dengan sekolah sekolah swasta dari segi mutunya. Perbedaan yang ada hanya lebih mahal biaya masuknya atau sedikit lebih murah. Bagi anak yang orang tua nya tidak mampu maka memilih sekolah yang murah, bagi yang mampu bayar akan memilih sekolah yang mahal yang mempunyai fasilitas gedung bertingkat, pendinginan ruangan, ekstra kurikuler yang banyak misalnya.
Baru baru ini ada wacana untuk menghapuskan pendidikan agama di sekolah. Kita bisa melihat bahwa antara program Kemenag dan program pemerintah tidak sama justru bertentangan.
Maka, hasil dari pendidikan islam di bawah Kemenag saat ini adalah menghasilkan individu individu yang sekuler yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya 20 persen saja. Mereka hanya memahami dan mengamalkan islam pada masalah sholat, puasa, zakat, haji, makan, minum dan pakaian saja. Sedangkan masalah akhlak jauh dari islam bahkan mereka menjadi orang pertama yang menentang hukum hukum syariah islam yang lainnya. Inilah yang disebut dengan aqidah sekuler yang sudah diterapkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Orang orang kafir penjajah telah merancang dan menyiapkan Kurikulum pendidikan berdasarkan aqidah sekuler bukan aqidah islam.
Maka mereka membuat 2 istilah, yaitu:
1. Sekolah umum
2. Sekolah agama/madrasah
Orang-orang kafir penjajah menggunakan kaki tangan orang orang Islam untuk menjadi pegiat aqidah sekuler sampai mereka memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan sekolah demi menjaga eksistensi mereka. Maka tidaklah mengherankan jika sejak zaman penjajahan Belanda, telah terjadi adu domba antara ulama yang mendukung syariah islam dengan ulama yang mendukung sekulerisme, dan sampai saat ini masih berlangsung. Kalau pun ada peningkatan mutu sekolah, tidak lebih dari hafalan Al-Quran 30 juz tetapi untuk penerapan isi Al-Quran secara menyeluruh tidak pernah diajarkan di sekolah.
Itu baru persoalan aqidah, bagaimana dengan masalah akhlak yang tak kunjung baik?
Islam sangat memperhatikan masalah aqidah, karena aqidah adalah persoalan mendasar bagi setiap pribadi pribadi muslim, aqidah adalah ibarat pondasi dari sebuah bangunan yang akan menentukan cara berpikir seseorang. Persoalan akhlak sangat dipengaruhi oleh sistem apa yang dipakai oleh suatu negara untuk mengatur individunya, masyarakatnya dan negaranya. Jika sistem yang dipakai adalah kapitalisme dengan aqidah sekulernya seperti yang diterapkan di Indonesia saat ini dan diterapkan oleh dunia secara umum, maka wajar individu individu saat ini menjadi orang yang menentang syariah, mengkriminalisasi ulama, menolak ajaran Islam, korupsi, zina dan lain sebagainya sebagai buah yang dihasilkan oleh Kurikulum pendidikan saat ini. Di satu sisi mereka terlihat Sholeh dan islami, di sisi lain mereka terlihat bermaksiat dan menentang ajaran Islam dan tidak takut kepada Allah. Maka harapan menjadi orang-orang yang beriman dan bertaqwa tidak akan pernah tercapai dalam pendidikan berbasis sekulerisme.
Oleh karena itu, jika kita menginginkan pendidikan yang bermutu, kita harus kembali kepada Kurikulum pendidikan berbasis aqidah islam yang dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. ***