Impor Beras Makin Deras di Sistem Kapitalisme

0
77

Oleh : Eci, Pendidik Palembang

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. “Yang kita harapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya gak mencapai karena setiap tahun. Kita bertambah yang harus diberikan makan,” kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, di Banyumas, Selasa (2/1/2024).

Menurut Jokowi setidaknya ada 4 juta – 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya. Namun dalam kesempatan itu ia mengapresiasi produksi jagung yang produksinya yang terus meningkat hingga mengurangi ketergantungan dari impor. Dari 3,7 juta ton di tahun 2015 hingga saat ini berkurang menjadi 800 ribu ton. “Ini saya harus acungkan jempol petani yang tanam jagung, lalu padinya ini harus dikejar agar tidak impor,” ucap Jokowi.

Eks Gubernur DKI Jakarta ini berharap produksi beras dari para petani untuk terus ditambah. Ia pun menargetkan Provinsi Jawa Timur untuk menjadi kedua terbesar di Indonesia dalam hal produksi beras, (CNBC Indonesia, Selasa, 02/01/2024).

Tidak adanya azam pemerintah untuk meningkatkan produksi beras, menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada petani dan rakyat. Dengan kurangnya produksi lokal, stok beras akan selalu kurang dan otomatis memicu kenaikan harga beras hingga masyarakat pun “menjerit”.

Barulah pada kondisi yang sudah sulit tersebut, pemerintah mempunyai alasan untuk impor. Seolah-olah, “Pemerintah terpaksa harus impor agar harga beras turun.” Siklusnya selalu demikian, baik tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah sendiri memang tidak pernah menargetkan untuk meningkatkan produksi lokal, jadi impor tersebut memang sudah didesain untuk dilakukan.

Kebijakan pemerintah yang lebih suka impor daripada memajukan pertanian dalam negeri ini hanya menguntungkan para oligarki, yaitu para pengusaha importir yang punya hubungan dekat dengan penguasa sehingga mendapatkan tender impor. Wewenang membuka atau menutup pintu impor memang ada di tangan pemerintah, tetapi pelaku impornya adalah pengusaha importir.

Dari keputusan impor oleh pemerintah inilah para importir tersebut mendapatkan cuan dalam jumlah besar, karena jumlah yang diimpor mencapai satu juta ton. Alhasil, mereka berpesta pora di atas penderitaan rakyat. Cuan tersebut merupakan kompensasi atas dukungan finansial para oligarki terhadap pejabat yang berkuasa. Atas jasa para oligarki itulah, para pemimpin tersebut bisa menduduki kursi kekuasaan.

Jika pemerintah terus saja membuat kebijakan yang pro pada oligarki, bisa dipastikan kemelut seputar beras akan terus terjadi setiap tahun. Ini adalah kebijakan yang zalim. Demi mengamankan dukungan oligarki baginya, oknum penguasa tertentu mengorbankan rakyatnya.

Di sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi bagi pangan. Sistem negara Islam, yaitu Khilafah, memiliki sejumlah mekanisme bagaimana mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain. Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya. Itulah beberapa langkah strategis negara Khilafah dalam mengatasi persoalan pangan. Dengan kebijakan yang tersistematis, sangat kecil kemungkinan bagi Khilafah menggantungkan diri pada impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat.

Dikutip dari Republika, masa kekhalifahan merupakan masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan. Umar bin Khaththab menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sunga Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Dinasti Umayyah. Swasembada pangan dengan sistem khilafah itu sangat logis, riil, dan aplikatif. Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here