Oleh : Siti Murlina SAg
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan melakukan pembicaraan dengan Penasihat Keamanan Nasional Israel Meir Ben Shabbat, Sabtu (23/1). Pada kesempatan itu, Sullivan menegaskan komitmen pemerintahan Presiden Joe Biden terhadap keamanan Israel.
“Mereka membahas peluang meningkatkan kemitraan selama beberapa bulan mendatang, termasuk dengan membangun keberhasilan pengaturan normalisasi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko,” kata Gedung Putih dalam keterangannya yang dirilis, Ahad (24/1).
Sullivan mengatakan AS akan berkonsultasi erat dengan Israel tentang semua masalah keamanan regional. “Dia (Sullivan) juga menyampaikan undangan memulai dialog strategis dalam waktu dekat untuk melanjutkan diskusi substantif,” kata Gedung Putih.
Pekan lalu, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit berharap pemerintahan Joe Biden bakal mengubah kebijakan Timur Tengahnya. Ia secara khusus menyinggung tentang penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Sejak pergantian presiden AS kemarin dari Trump ke Biden, banyak dunia Islam berharap ada angin segar atas hubungan Israel-Palestina. Seperti pernyataan Sekjen Liga Arab agar AS menjadi mediator utama dari solusi konflik Israel-Palestina.
Pernyataan ini mengacu kepada kebijakan AS dibawah pemerintahan Trump, yang telah mengubah kebijakan Amerika Serikat terhadap konflik Israel dan Palestina. Sebab, Trump cenderung mendukung Israel. Ia juga menutup kantor utusan Palestina di Washington. Kemudian, Trump juga memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, bahkan menghentikan bantuan kemanusiaan kepada Palestina.
Memang terjadi sedikit perubahan dalam konflik Israel-Palestina, antara lain kebijakan Biden, dia berjanji mengembalikan bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Selain itu, Biden juga menentang aktivitas pemukiman Israel di Tepi Barat yang mereka duduki.
Namun menurut beberapa pengamat bahwa kebijakan Biden tersebut tidak akan menjadi penyelamat bagi Palestina. Dalam artian tidak mengarah kearah yang lebih baik dalam konflik Israel-Palestina. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Biden yang mengatakan mereka tidak akan memindahkan kedutaan Israel keluar dari Yerusalem.
Kebijakan yang parsial tersebut tidak akan memberi harapan perdamaian dari konflik Israel-Palestina dan tak mengubah apapun. Hal ini tidak menjadi prioritas dalam politik luar negeri AS. Yang menjadi prioritas mereka adalah akan terus berkonsultasi erat dengan Israel tentang semua masalah regional. Jadi Israel akan tetap menjadi anak emas bagi pemerintah AS.
Meski Presiden AS berganti–ganti, tidak akan ada perubahan yang benar-benar nyata. Menurut tradisi politik di Amerika, presiden terpilih biasanya melupakan sebagian janjinya.
Dalam status sebagai kepala negara, Biden tetap setia menjalankan politik luar negeri (polugri) AS yang berbasis ideologi kapitalisme sekuler yang mengidap Islamofobia. Politik luar negeri AS berdampak terbunuhnya jutaan kaum muslimin.
Dalam kebijakan politik, di bawah kepemimpinan Biden, Pemerintah AS juga tidak akan keluar dari khittah [khiththah] polugri. Mereka akan tetap menjaga dominasinya atas berbagai wilayah di dunia ini untuk kepentingan politik dan ekonomi AS.
Jadi, Biden tidak akan berbeda dengan presiden sebelumnya. Pemerintah AS selalu berupaya melebarkan sayap mereka ke negara-negara lain. Dengan cara itulah, negara AS selalu mencari cara untuk mempertahankan dominasi di dunia dan terus melanjutkan agenda eksploitasi kapitalisnya.
Demikian pula kaitannya hubungan dengan konflik Israel-Palestina tidak akan menjadi prioritas bagi kebijakan politik luar negeri AS. Secara umum kebijakan Biden, keamanan nasional Israel tetap menjadi perhatian utama. Tidak untuk Palestina.
Amerika Serikat (AS) adalah negara yang tak henti hentinya memusuhi Islam dan kaum muslimin. Di antaranya di Timur Tengah melalui anak emasnya yaitu Israel. Membunuh, membantai dan merampas harta dan tanah kaum muslim Palestina. Juga dengan cara terus menerus dan setiap ada kesempatan dan insiden. AS senantiasa menegaskan janjinya pada para perampas tersebut untuk mendukung, mempertahankan dan mempersenjatainya.
Oleh karena itu Islam telah menjelaskan bahwa haram hukumnya kaum muslimin berharap pada negara seperti AS, dalam urusan kaum muslimin. Karena AS termasuk negara kafir harbi muhariban fi’lan negara kafir yang wajib diperangi. Jadi kita tidak boleh memohon/berharap kepada mereka, ini tergolong pada tindakan muwalah atau sikap setia kepada orang kafir. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi:
﴾ ۞ يٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظّٰلِمِينَ
Artinya: (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka. (Al Maidah 5:51).
Maka jawaban atas permasalahan ini tak lain dan tak bukan kepada AS dan Israel hanyalah bahasa jihad fisabilillah. Bukan perundingan apalagi berharap kepada negara penjajah ini.
Jihad fisabilillah hanya ada ketika kaum muslimin dibawah komando seorang Khalifah. Maka sudah seharusnya kaum muslimin menyatukan pandangan berwala’ kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Wajib berjuang untuk menegakkan Khilafah ‘ala minhajinnubuwah. Sebab hanya dengan Khilafah inilah seluruh persoalan kaum muslimin bisa diselesaikan. Dan yang akan melawan dominasi AS dan Israel atas Palestina serta negeri-negeri kaum muslimin lainnya. ***
Wallahu’alam bishshawab