Kasus Kekerasan & Eksploitasi ART Makin Marak, Kemana Hukum Memihak?

0
72

Oleh : Amy Sarahza

Sebanyak lima asisten rumah tangga (ART) di Jatinegara, Jakarta Timur, menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh majikan.
Kasus penganiayaan terungkap setelah korban melarikan diri dari rumah majikan pada Senin (12/2/2024) sekitar pukul 02.30 WIB. Korban kemudian ditemukan oleh tetangga dalam kondisi penuh luka-luka di tubuhnya.

Para ART kabur dengan cara memanjat pagar karena sering disiksa dan dipaksa kerja hingga dini hari. Korban kerja dari pagi kadang sampai pukul 22.00 WIB, kadang sampai pukul 02.00 WIB, bahkan sampai pukul 04.00 WIB

Para ART perempuan diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan yang juga seorang perempuan. Mereka sering telat diberi makan dan belum mendapat bayaran Rp 1,8 juta seperti yang dijanjikan. Ada yang sudah kerja dua bulan, satu bulan. Para ART merasa dijebak lantaran nomor para penyalur sudah tidak dapat dihubungi.

Selama bekerja, kondisi rumah selalu terkunci dan terdapat kamera CCTV. Di rumah tersebut juga terdapat anjing yang selalu menggonggong ketika para ART hendak kabur. Mereka sebenarnya ada enam orang (PRT) yang bekerja di sana. Tapi, satu bulan lalu teman mereka kabur.

Dua ART dilarikan ke rumah sakit lantaran terluka saat kabur. Mereka harus melewati kawat berduri, pagar dengan pecahan kaca dan tembok dua meter. Korban ada yang masih berusia 17 tahun dan 23 tahun mengalami penyiksaan ketika bekerja.

Berdasarkan keterangan korban, majikan melakukan penyiksaan ketika melihat ada pekerjaan yang salah sekecil apapun.

Kasus Ekspolitasi ART kembali mencuat kepermukaan, kasus seperti ini sudah sering terjadi. Hanya saja kasusnya masih terulang. Menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) mungkin bukan menjadi cita-cita mereka, tapi profesi ini menjadi pilihan karena dilatarbelakangi pendidikan mereka yang rendah dan himpitan ekonomi yang memaksa mereka untuk bekerja menjadi ART. Kalau pun mereka mempunyai keahlian, mungkin profesi lain akan menjadi pilihan apalagi kalau mereka mempunyai modal mungkin mereka bisa membuka usaha sendiri.

Mirisnya sudah tidak berpendidikan tinggi, kondisi ekonomi merekapun sulit, mereka yg menjadi ART sering menjadi objek eksploitasi tenaga oleh para majikan yang memperkerjakan mereka di rumahnya. Bukan cuma tenaga, kekerasan fisik bahkan kekerasan seksual pun tak luput mereka rasakan saat bekerja menjadi ART.

Dengan kasus-kasus ini seharusnya membuat kita membuka mata lebar lebar bahwa masih ada sistem kerja yang tidak manusiawi dinegara kita ini. Sudah mendapat gaji rendah, mendapat kekerasan fisik dan seksual bahkan ada yang tidak diberikan gaji berbulan bulan. Membuat keberadaan ART menjadi tumbal ekonomi semata dalam sistem pemerintahan yang kapitalis sekuler ini. Belum lagi tindakan eksploitasi ini turut dirasakan tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Indonesia sudah selayaknya memiliki payung khusus untuk melindungi PRT, termasuk pekerja migran Indonesia (PMI) di sektor pekerja domestik yang juga sering mengalami kekerasan di tempatnya bekerja. pembahasan RUU PPRT harus dilakukan melalui mekanisme yang sesuai dengan pelibatan publik secara layak agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Seharusnya RUU PPRT dirancang dengan komprehensif sehingga menghindari tumpang tindih dengan undang-undang lainnya.

Mirisnya, peran negara dalam melindungi nasib ART pun lemah. Ini tampak dari keberadaan RUU PPRT, yang meski telah resmi menjadi inisiatif DPR RI dan segera akan dibahas di tingkat Badan Legislatif DPR RI, tetapi tidak menjamin nasib perempuan, khususnya pekerja rumah tangga, akan berubah menjadi lebih baik.

Nyatanya, masalah perlindungan perempuan demi kemuliaan perempuan tidak menjadi dorongan awal RUU ini digagas. Klaim bahwa RUU PPRT melengkapi peraturan yang ada untuk melindungi perempuan justru menegaskan bahwa perlindungan yang ada selama ini gagal. Peraturan tersebut nyata bersifat parsial sehingga kekuatan hukumnya pun rendah.

Pemerintah memang boleh saja mengeklaim bahwa RUU PPRT adalah upaya negara untuk menjamin rasa aman dan perlindungan sehingga RUU PPRT dikebut untuk disahkan. Namun jika didalami faktanya, RUU PPRT yang sudah diusulkan pada 2004 ini, selama ini hanya teronggok di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Proses legislasi RUU PPRT yang sudah hampir dua dekade dan sampai saat ini masih belum disahkan adalah bukti adanya tarik ulur RUU ini. Jika benar niat pemerintah adalah untuk melindungi dan memuliakan perempuan, tentunya tidak perlu tarik ulur.

Untuk kita ketahui, RUU PPRT saat ini dikebut semata karena menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan pada perempuan. Tujuannya, agar perempuan memiliki daya saing demi mendukung visi pembangunan 2045 dalam rangka Indonesia menjadi negara maju, yakni dengan target PDB di atas US$23.000. Dengan ini jelas, negara memosisikan perempuan sebagai sumber daya manusia untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Peran Negara Islam

Negara yang menerapkan syariat Islam kafah (Khilafah) punya andil besar dalam menjamin berlangsungnya kontrak kerja (ijarah) yang sahih menurut Islam. Begitu pula untuk relasi yang sehat antara ajir dan musta’jir. Hal ini agar eksploitasi dan kezaliman bisa dihindari.

Pasalnya, ART bukanlah hamba sahaya. Seorang hamba sahaya sekali pun tetap berhak mendapatkan perlakuan layak dari majikannya, karena dirinya seorang manusia. Pembeda sejati antarmanusia semata bukanlah karena kedudukannya, melainkan semata karena ketakwaannya di hadapan Allah Taala.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Perlakuan tidak layak dari seorang majikan kepada hamba sahaya mencerminkan gambaran hidup di masa jahiliyah. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada Bilal ra. Saat masih menjadi budak dari salah satu pembesar kafir Quraisy, Umayyah bin Khalaf. Bilal mendapat siksaan berat dari majikannya saat dirinya diketahui masuk Islam. Ini jelas perilaku yang jauh dari takwa. Selanjutnya Bilal pun dimerdekakan oleh Abu Bakar RA. Dengan harga mahal sejumlah permintaan majikannya.

Untuk tindakan semacam ini, Khilafah berperan mewujudkan perlindungan hakiki bagi warga negaranya dari berbagai tindak kejahatan. Khilafah akan memberikan sanksi yang tegas. Sistem sanksi Islam yang diterapkan Khilafah akan berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya. Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here