Kegagalan Sistem Kapitalis Melahirkan Good Government

0
206

Oleh : Yusseva (Penggagas Politik Islam)

Sebanyak enam bupati dan wakil bupati terpilih pada hari Jumat (26/2/2021) siang sekitar pukul 15.00 WIB lalu, dilantik Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan surat keputusan hasil Pilkada Serentak 2020 kemarin. Pelantikan digelar di Istana Griya Agung Palembang, di Jalan Demang Lebar Daun Palembang, dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan instansi. Adapun enam bupati dan wakilnya yang dilantik tersebut yakni Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) pasangan Kuryana Aziz-Johan Anuar, OKU Timur Lanosin- HM Adi Nugra Purna Yudha, OKU Selatan Popo Ali Martopo- Solihien Abuasir, Ogan Ilir (OI) Panca Wijaya Akbar – Ardani, Musi Rawas (Mura) Ratna Machmud- Suwarti dan Muratara Devi Suhartoni – Innayatullah.

Dari 12 orang yang dilantik tersebut, ada fakta-fakta menarik yang diperoleh. Seperti, Bupati Ogan Ilir terpilih yaitu Panca Wijaya Akbar. Panca merupakan adik dari Ahmad Wazir Noviadi, yang pernah menjabat sebagai Bupati Ogan Ilir di tahun 2016. Namun, Ovi, sapaan akrabnya, hanya menjabat selama 28 hari dan langsung dinonaktifkan sebagai Bupati Ogan Ilir, karena tersandung kasus penyalahgunaan narkoba. Bupati Ogan Ilir terpilih Panca Wijaya Akbar ini juga, merupakan anak dari Wakil Gubernur (Wagub) Sumsel Mawardi Yahya.
Yang lebih menyorot perhatian adalah, pelantikan Bupati-Wabup OKU Sumsel. Kuryana Azis yang dilantik sebagai Bupati OKU, harus mengikuti pelantikan secara virtual karena saat ini sedang diisolasi di Rumah sakit disebabkan masih terpapar Covid-19 (dan sekarang telah meninggal, red). Sedangkan Johan Anuar yang dilantik sebagai Wabup OKU Sumsel, hadir dalam pelantikan tersebut dengan menyandang status terdakwa.

Johan Anuar sendiri, merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi lahan kuburan di Kabupaten OKU Sumsel. Polda Sumsel menetapkan Johan Anuar sebagai terdakwa dan penanganan kasusnya diambil alih oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada tanggal 24 Juli 2020 lalu. Dugaan kasus korupsi tersebut, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp5,7 miliar. Johan sendiri didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelum sampai di Istana Griya Agung, Johan Anuar mendekam di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Negara Klas I Palembang. Pada Jumat siang sekitar pukul 14.04 WIB, Wabup OKU keluar tahanan menggunakan rompi orange dan borgol di tangannya. Titis Rachmawati, Kuasa Hukum terdakwa mengatakan, kliennya akan menjalani proses pelantikan sama seperti Kepala Daerah terpilih lainnya. Saat disinggung terkait status kliennya sebagai terdakwa pasca pelantikan, Titis menyebutkan akan segera dinonaktifkan. Karena masih menjalani proses persidangan atas kasus yang menjeratnya.

Good Government Dalam Sistem Kapitalisme

Pelantikan kepala daerah dan wakilnya di Sumsel, dari Anak wagub hingga terdakwa kasus korupsi merupakan kegagalan system Kapitalis melahirkan good government. Hal ini dikarenakan konsep mendasar dari Kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme), yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antar agama dengan negara.

Berdasarkan ide ini, mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang). Maka dari Rahim sekulerisme lahirlah demokrasi yang diadopsi oleh Kapitalisme sebagai system pemerintahannya. Politik yang dimaknainya sebagai perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Sehingga kekuasaan yang didapat bukan untuk mengurusi dan melayani urusan rakyat melainkan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya karena tidak didapat dengan percuma bahkan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkannya. Hal ini menjadikan para calon penguasa baik daerah ataupun pusat berusaha mencari dukungan dari investor atau kapital guna tercapainya tujuan mereka yakni kekuasaan.

Wajar saja bila penguasa terpilih akan dipertahankan investor meskipun berstatus terdakwa korupsi karena kontrak sudah disepakati dan harus direalisasikan sebagai tanda “balas budi”.

Alih-alih rakyat yang diuntungkan dengan terpilihnya penguasa baru, justru loyalitas mereka didedikasikan kepada investor atau kapital. Karena itu slogan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat hanyalah ilusi belaka. Janji-janji manis penguasa dalam demokrasi untuk menghantarkan pada tatanan masyarakat yang egalitarian, adil, dan sejahtera pada faktanya tidak pernah terjadi dan menjadi ajang tipu-tipu. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban baik secara materi maupun secara fisik. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kejadian, yang pada akhirnya rakyat harus mengalah pada pemilik kekuasaan dan para pemodal. Semakin tebal kantong maka semakin tebal pula suaranya. Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap kepentingannya. Rakyat? Semakin tak terdengar suaranya.

Islam Solusi Bagi Seluruh Umat

Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki konsep kekuasaan di tangan rakyat, namun kedaulatan di tangan hukum syara’. Artinya yang berhak membuat hukum hanyalah Allah, Tuhan Pencipta dan Pengatur manusia. Manusia hanya menjalankannya. Khalifah sebagai pemimpin negara memilki kewajiban untuk meriayah (mengurus) dan melindungi rakyatnya. Negara yang dipimpinnya menerapkan hukum Allah dalam segala aspek termasuk periayahan negara kepada rakyatnya. Sesuai sabda Rosulullah,) “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari). Bahkan Khalifah wajib pula mengurus nonmuslim yang berada dalam negara. Mengapa? Karena Islam hadir untuk semua manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Allah berfirman, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.Al Anbiya: 107).

Sesungguhnya Khalifah itu diangkat oleh kaum muslim. Karena itu, realitasnya Khalifah adalah wakil umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hokum-hukum Islam. Jadi seseorang itu tidak sah menjadi khalifah kecuali umat membaiatnya dan tidak akan terlaksana baiat kecuali dalam diri Khalifah terpenuhi syarat in’iqad. Jika kurang satu saja maka aqad kekhilafahannya tidak sah.

Adapun syarat in’iqad ada tujuh, yaitu : muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil maksudnya menempatkan hukum syara pada tempatnya sehingga khalifah tidak boleh dalam status terdakwa, merdeka maksudnya tidak ada intervensi dari investor atau pemilik modal dalam mengatur urusan dirinya dan rakyatnya, dan mampu maksudnya khalifah haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah kekhilafahan. Sebab kemampuan ini merupakan keharusan yang dituntut dalam baiat. Orang yang lemah atau dalam kondisi sakit atau masih diisolasi tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.

Mahkamah Mazhalimlah yang memiliki hak untuk menetapkan jenis-jenis kelemahan yang tidak boleh ada pada diri khalifah sehingga ia bisa dinilai sebagai orang yang mampu dan termasuk ke dalam orang-orang yang memiliki kemampuan.

Selain ketujuh syarat in’iqad tersebut, ada syarat-syarat keutamaan yang dengannya khalifah akan lebih baiknya lagi dalam mengatur urusan rakyatnya, diantaranya : politikus ulung, mujtahid, dan dari kalangan Quraisy. Syarat-syarat keutamaan ini hanyalah bersifat sunnah yang ada dalam diri khalifah dan tidaklah menjadikannya batal menjadi khalifah disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut berbeda dengan syarat in’iqad yang menjadi syarat sah/legal yang wajib dimiliki oleh khalifah. Prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah tidak membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak membutuhkan dana dari para pemilik modal yang sangat memungkinkan untuk mempengaruhi dalam membuat kebijakan publik. Dengan demikian Islamlah satu-satunya system yang akan melahirkan clean governance dan good government. ***
Wallahu’alam bis showab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here