Keluhan Emak-Emak di Setiap Akhir Tahun

0
287

Oleh: Hj Padliyati Siregar ST

Menjelang Natal dan Tahun Baru 2020, harga sejumlah komoditas bahan kebutuhan pokok di pasar tradisional mulai mengalami kenaikan. Trend kenaikan harga bahan kebutuhan pokok ini terjadi setiap tahun.

Komoditas tersebut antara lain adalah telur, daging, bawang, cabai, dan beras. Hal ini disebabkan karena tingginya permintaan yang ada di pasar dan keterbatasannya stok barang. Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sudah terlihat sejak bulan November. Terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tingginya inflasi pada bulan November sebesar 0,14 persen. Selisih 0,12 persen dari bulan Oktober yang hanya 0,2 persen tingkat inflasinya (Suara.com).

Trend kenaikan ini bisa dinilai tidak wajar karena menyebabkan ketidakstabilan harga. Masyarakat membenarkan kenaikan ini dan memandangnya sebagai sesuatu yang biasa terjadi di akhir tahun. Namun tetap saja berbagai keluhan keluar dari mulut emak-emak yang harus mengerem pengeluaran dan memutar otak agar belanja harian bisa tercukupi namun dapur tetap bisa mengepul.

Ada beberapa alasan yang selalu menjadi alasan atas kenaikan harga tersebut. Selain meningkatnya permintaan, adanya kartel bahan pokok juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kenaikan harga. Kartel adalah kerja sama para produsen independen untuk menguasai pasar dan menekan distribusi. Tujuan dari kartel yaitu agar produsen memperoleh kekuatan pasar sehingga dapat mengatur harga dengan melakukan pembatasan ketersediaan produk di pasar.

Ketersediaan produk yang terbatas dapat menyebabkan kelangkaan, sehingga produsen dapat menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Mereka biasanya meraup hasil petani dalam jumlah besar kemudian ditimbun dan disimpan sampai persediaan di pasar menipis. Setelah itu mereka akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Perbuatan ini mengganggu kestabilan harga di pasaran.

Faktor lainnya adalah rantai distribusi yang panjang. Pada saat natal dan tahun baru, permintaan akan bahan kebutuhan pokok meningkat sehingga persediaan pun akan menipis. Untuk memenuhi kebutuhan di beberapa daerah, maka perlu dilakukan kerja sama antardaerah.

Distribusi ini melibatkan daerah-daerah yang berbeda pulau. Biaya angkut antar pulau bukanlah hal yang murah. Maka dari itu biasanya produsen akan menaikkan harga untuk menutupi beban distribusi.

Tentu saja Pemerintah atau para pengambil kebijakan tidak dapat terus berlindung dengan alasan tersebut. Pemerintah harus menekan serta menstabilisasikan harga pangan guna menjaga inflasi agar tetap terkendali.

Cara Islam Dalam Mengatur Agar Harga Pangan Tetap Stabil

Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan dengan menjaga harga pangan tetap stabil. Menjaga harga pangan tetap stabil itu dengan dua cara:

Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata,

عن القاسم بن يزيد عن أبي أمامة قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يحتكر الطعام

Dari Al-Qasim bin Yazid dari Abu Umamah; beliau mengatakan, “Rasulullah melarang penimbunan bahan makanan.” (HR Hakim).

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang penimbunan makanan,” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.

Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak,” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).

Adanya importir, pedagang, dan lainya, jika menghasilkan kesepakatan harga, maka, itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi ketidakseimbangan (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.

Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Gubernur Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada Gubernur Amru bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir.

Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian diangkut ke Makkah. (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).

Jika pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ

“Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS Al-Baqarah: 275).

Ayat di atas bersifat umum, menyangkut perdagangan dalam dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara).

Terlihat sangatlah rinci hukum Islam mengatur bagaimana urusan manusia ini tersolusikan dan dapat membawa kemaslahatan umat. Ini hanya dalam satu aspek saja ketika diterapkan bisa membawa kemaslahatan. Apalagi hukum hukum yang lain bisa diterapkan, maka akan membawa keberkahan di langit dan bumi. ***

Wallahu a’lam bish-shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here