Kembalinya Hagia Sophia Jadi Masjid, What the Next?

0
490

Oleh: Novita Mayasari, S.Si

Resmi, Jumat (10/7/2020) Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menandatangani dekrit yang menjadi dasar hukum perubahan status Hagia Sophia (Aya Sofya) sebagai masjid setelah pengadilan tinggi Turki mencabut statusnya sebagai museum.

Siapa yang tidak mengenal Hagia Sophia, bangunan termegah di dunia pada waktu itu. Hagia Sophia terkenal memiliki interior yang indah. Bahkan karena indahnya, salah satu Perwira Rusia Prince Vladimir of Kiev mengungkapkan, “Kami tidak tahu apakah kami berada di Surga atau di Bumi”. Oleh karena itu, Hagia Sophia pun ditetapkan pula sebagai Warisan Dunia UNESCO.

Dengan berubahnya status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Tentu saja berbagai kecaman pun bermunculan. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, memperingatkan perubahan status Hagia Sophia akan mengurangi kemampuan inklusivitasnya. (bbc.com, 10/7/2020).

Begitu pula hal senada yang disampaikan oleh Dewan Gereja Dunia yang mewakili 350 gereja Kristen menyesalkan perubahan status itu dan secara berlebihan menganggap keputusan Erdogan akan menimbulkan kecurigaan dan perpecahan antarmasyarakat beragama (voaindonesia. com, 11/7/2020).

Awalnya di tahun 537 M pada masa Kekaisaran Byzantium, Hagia Sophia merupakan sebuah gereja terbesar (katedral). Dan itu berlangsung berabad-abad lamanya. Kemudian sempat berpindah kekuasaan di bawah kendali Romawi (Romawi Barat) pada tahun 1204 oleh pasukan Salib. Konstantinopel berikut Hagia Sophia dijarah, dirampok bahkan banyak penduduk yang mati terbunuh. Tetapi itu tidak berlangsung lama.

Pada tahun 1261, kembali lagi Hagia Shopia di bawah kendali Byzantium. Kemudian tepatnya hari selasa tanggal 29 Mei 1453 Sultan Muhammad al Fatih (Mehmed II) berhasil menaklukkan kota Konstantinopel dan mengganti namanya dengan Istanbul. Kemudian beliau mengubah bangunan tersebut menjadi masjid. Namanya pun diperindah menjadi Masjid Aya Sofya.

Dan tempat ini jugalah yang pertama kali di datangi oleh Muhammad al Fatih. Beliau memandang Aya Sofya yang megah, turun dari kudanya, melepas helm perangnya, lalu bersujud ke arah kiblat, mengambil segenggam tanah Konstantinopel lalu menaburkan ke atas kepalanya. Simbol kerendahan hati, bahwa dia hanya tanah.

Ketika penaklukan Konstatinopel dari Kekaisaran Byzantium tahun 1453 M,
Muhammad al-Fatih, saat itu beliau bukanlah Khalifah, tetapi Sultan dari sebuah Kesultanan Utsmani di wilayah Turki. Saat itu, Khalifah masih dijabat oleh Bani Abbasiyah, setelah ibukotanya dipindahkan dari Baghdad ke Mesir.

Tentu, bukanlah suatu kebetulan semata, Muhammad al Fatih mampu menaklukkan Konstantinopel. Semua itu bisa terjadi karena termotivasi dari bisyarah (kabar gembira) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mana kita tahu bahwa Rasul itu bukan tukang tipu dan bukan tukang bohong.

Salah satu bisyarah yang menginspirasi Muhammad al Fatih adalah dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,
“bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, tiba-tiba beliau ditanya tentang kota manakah yang akan difutuh (dibebaskan) terlebih dahulu, apakah kota Konstantinopel atau kota Roma”. Rasulullah SAW menjawab, “Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel)” (HR Ahmad).

Rasulullah bersabda, “Konstantinopel pasti akan dibebaskan melalui tangan seorang kesatria. Maka, sebaik-baik pemimpin adalah dia, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu” (Hr Ahmad).

Maka terbukti 825 tahun kemudian yaitu pada tahun 1453 bisyarah itu menjadi kenyataan. Oleh karena itu, bagi kaum Muslim, Hagia Sophia bukan sekedar masjid, ia adalah simbol kebenaran sabda Rasulullah, pengingat sekaligus penyemangat, “Kızıl Elma” dalam keyakinan Utsmani, pencapaian dan penghargaan tertinggi secara kolektif.

Sejak saat itu selama 481 tahun Masjid Ayasofya tak henti melaksanakan tugasnya. Sampai kemudian di tahun 1934 Mustafa Kamal Attaturk mengubah Masjid Aya Sofya menjadi Museum. Miris!

Setelah 86 tahun lamanya menjadi museum akhirnya pada tahun 2020 Erdogan dan pemerintahannya membatalkan keputusan itu, membuka jalan untuk Ayasofya kembali lagi menjadi Masjid. Alhamdulillah.

Mungkin betul bahwa keputusan ini sarat dengan kepentingan politik. Tetapi, keputusan ini setidaknya mampu menyatukan mata dan hati kaum Muslim di seluruh dunia. Mereka bangga dengan simbol kekuatan dan kemuliaan serta abad kejayaan mereka, saat dipimpin Islam.

Sangatlah wajar kebijakan yang diambil itu menuai banyak protes dan ujaran kebencian. Karena Barat khawatir kaum muslim dengan potensi kebangkitan yang besar akan mengalahkan hegemoni mereka di dunia.
Sebagaimana
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:

“… Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (TQS Ali Imran [03] : 118).

Dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana setelah ini? Apakah cukup hanya sekedar pergantian status menjadi masjid saja? Sekadar kepentingan politik Erdogan belaka? Atau ada awal dari sesuatu yang lebih besar dari ini?

Tentu tidaklah cukup hanya sekedar perubahan status saja dari Museum menjadi masjid. Yang kita inginkan juga adalah ada awal dari sesuatu yang lebih dari ini. Dulu Aya Sofya dirubah oleh Mustafa Kemal menjadi museum akibat telah terjadinya sekulerisasi (pemisahan agama dari kehidupan) pada Turki. Maka, agenda selanjutnya adalah mengembalikan Turki ke asalnya. Yaitu tidak lain dan bukan adalah Khilafah Islamiyah.

Saat ini umat Islam telah terpecah-belah menjadi lebih dari 40 negara dengan berbagai bentuk pemerintahan yang beraneka ragam, seperti kerajaan dan Republik. Serta dihimpit masalah hidup yang kompleks. Sehingga, kaum muslimin mejadi lemah ketika berhadapan dengan negara-negara kafir penjajah.

Dengan menegakkan Khilafah, inilah satu-satunya metode untuk mengubah negara kufur mejadi negara islam, dan menyatukan mereka kedalam pemerintahan Islam yang satu, menerapkan Islam di dalam negeri serta mengemban dakwah keluar negeri.

Maka, dari itu sudah saatnya kita menentukan dimana posisi kita. Mau ikut ambil bagian dari sejarah atau jadi penonton saja?

Di dalam Alquran telah memberikan banyak pelajaran bahwa sejarah akan terus berubah, adanya kejatuhan, adanya kebangkitan adalah sesuatu yang pasti terjadi.

Tentu kuncinya adalah akan sangat beruntung ketika kita mengambil bagian dalam kebangkitan Islam dan tentunya dengan menjadi pejuang kebangkitan Islam, semoga ini akan menjadi hujjah di hadapan Allah kelak.
Dan mudah-mudahan nama kita kelak akan tercatat dengan tinta emas bahwa kita adalah Pejuang itu.

Maka jangan ragu, berani, dan lantanglah dalam menyuarakan kebenaran. Insya Allah, tidak akan lama lagi. Maka, bisyarah Nabi kedua akan terwujud dengan izin Allah.

“… Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”. (HR. Ahmad)

Wallahu a’alam….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here