Oleh : Nurdalena, SPd (Pemerhati Pendidikan)
Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Ceremonial tahunan ini dijadikan sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap perjuangan perempuan Indonesia di negeri ini dari masa ke masa. Semarak peringatannya selalu menghiasi setiap tahunnya di seluruh penjuru negeri tak terkecuali di Sumsel.
Dalam rangka hari ibu ke-93 Istri Wakil Gubernur Sumsel, Ibu Fauziah Mawardi Yahya saat menghadiri peringatan hari ibu ke 93 di Ogan Ilir meminta dan mengingatkan semua pihak agar peran perempuan terus ditingkatkan. Menurut Fauziah, sudah banyak kemajuan yang dialami para perempuan, namun belum mencapai kesetaraan yang ideal.
Ia menambahkan, jika perempuan harus semakin sadar akan permasalahan yang mengancam kelangsungan hidupnya, terutama isu kekerasan pada perempuan dan anak yang semakin marak. Selain itu ia juga menekankan agar para perempuan terus memberdayakan diri dalam aspek ekonomi demi menopang ekonomi keluarga hingga ekonomi negara (tribunsumsel.com, 15/12/21).
Menyoal Isu Kesetaraan
Setelah 93 tahun peringatan hari ibu diselenggarakan, para ibu dan perempuan masih menghadapi bermacam persoalan. Mulai dari kemiskinan, hilangnya hak-hak publik hingga menjadi korban kekerasan.
Menurut deputi bidang pembangunan manusia masyarakat dan kebudayaan kementerian PPN/Bappenas Subandi, terjadi ketimpangan kesenjangan antara laki- laki dan perempuan dari sisi ekonomi. Perempuan mengalami kemiskinan hampir di semua wilayah dna semua umur. Semakin tinggi harapan hidup semakin lama mengalami periode kemiskinan.
Ia menambahkan karena sulitnya akses sumberdaya perempuan sangat sulit keluar dari zona kemiskinan. Minimnya dukungan menjadikan perempuan banyak yang tidak tercatat dalam akses jaminan sosial. Hingga perempuan rentan menjadi pekerja migran hingga menjadi korban kekerasan (Bisnis.com,24/9/20).
Tak terkecuali di Sumsel, meski jumlah secara statistik kemiskinan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, namun jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi dan tentu saja sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Selain kemiskinan, kekerasan juga menimpa perempuan. Menurut data Dinas PPPA Palembang sampai juni 2021 terdapat 133 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Sumsel (LBHpalembang.or.id, 7/6/21).
Dalam menghadapi permasalahan perempuan hari ini, kaum feminis menganggap bahwa isu kesetaraan adalah penyebab utama permasalahan perempuan. Berdasarkan catatan Global Gender Gap Report, posisi Indonesia di 83 dari 153 negara sebagai negara yang mengalami ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan sulit mendapatkan haknya baik dari ranah sosial maupun ekonomi.
Maka wajar jika program-program pemberdayaan perempuan hanya berkutat pada isu kesetaraan dan pembedahan ekonomi. Para ibu dan perempuan didorong untuk berperan aktif dalam mendongkrak ekonomi keluarga. Pelatihan-pelatihan pemberdayaan ekonomi perempuan terus diselenggarakan. Bahkan para perempuan didorong untuk menjadi penopang ekonomi negara.
Apalagi sejak dicanangkannya moderasi agama, isu kesetaraan semakin dipermanis dan digencarkan. Bahkan para pengusungnya dengan berani mengkontekstualisasi ayat-ayat Alquran tentang kepemimpinan pria dalam rumah tangga. Mereka menafsirkan bahwa kata Ar Rijal tidak bermakna gender namun bermakna substansi. Siapa pun baik laki-laki maupun perempuan jika memiliki jiwa maskulin maka ia bisa menjadi pemimpin. Kesetaraan gender berbalut moderasi agama didengung-dengungkan seolah bisa menjadi solusi bagi semua persoalan termasuk masalah perempuan
Doktrin bahwa Seolah semua persoalan yang melanda perempuan karena mereka tidak setara dengan laki- laki adalah doktrin berbahaya bagi ketahanan keluarga. Saat para ibu mulai hilang rasa bangganya menjadi ibu dan mendidik generasi, maka kehancuran sebuah peradaban sudah di depan mata. Peran perempuan baik domestik maupun publik menjadi semakin kabur dan tidak jelas mau dibawa kemana arahnya. Perempuan malah semakin terjebak dalam masalah tak berkesudahan.
Padahal jika kita mau jujur, menilik lebih dalam ternyata persoalan yang dihadapi perempuan hari ini juga dialami oleh laki- laki. Mereka juga mengalami kemiskinan, menjadi korban kekerasan, dan kehilangan hak- hak mereka. Artinya hampir semua manusia baik laki- laki maupun perempuan mengalami permasalahan yang sama. permasalahan yang dihadapi masyarakat hari ini bukan semata akibat ketimpangan gender namun lebih dari itu.
Permasalahan yang melanda dunia hari ini adalah perkara sistemik, akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Dalam ranah ekonomi, sistem kapitalisme membatasi peran negara dalam mengurusi ekonomi rakyatnya. Pengelolaan kekayaan dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Karena itulah maka perekonomian dikendalikan oleh para pemilik modal. Berdasarkan Laporan organisasi nirlaba dunia Oxfam yang berjudul Working for the Few bahwa separuh kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 1% populasi. Sementara separuhnya diperebutkan oleh 99% populasi (sindonews, 3/3/15). Dari sini bisa dibayangkan mengapa ketimpangan ekonomi terjadi.
Perempuan Benteng Terakhir Keluarga
Perempuan adalah tonggak peradaban. Dari merekalah lahir generasi penerus peradaban. Jika rusak perempuan maka rusak pula kualitas generasi ke depan. Maka apakah mungkin peran utama perempuan sebagai ibu generasi akan berjalan maksimal jika perempuan didorong untuk berperan ganda yaitu sebagai ibu sekaligus sebagai penopang ekonomi keluarga?
Di tengah derasnya arus liberalisasi sudah seharusnya peran perempuan sebagai ibu semakin dikuatkan. Bukan malah dipaksa harus sejajar dengan laki- laki. Karena secara kodrat laki dan perempuan memiliki peran masing- masing yang saling menguatkan. Laki- laki berperan sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib menafkahi dan melindungi keluarga sementara ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya sekaligus sebagai pengatur urusan rumah tangga. Jika baik kepemimpinan seorang ayah dan baik pendidikan seorang ibu maka akan lahir generasi yang tangguh dan unggul.
Alam sekuler hari ini telah merampas hak-hak perempuan untuk disejahterakan. Para ibu dan perempuan dituntut menanggung semua beban hidup di punggungnya yang lemah. Ia harus berperan sebagai ibu yang mengawasi perkembangan anak- anaknya, di sisi lain ia juga harus bekerja keras menopang ekonomi keluarga. Sementara fungsi kepemimpinan seorang laki-laki semakin diperlemah akibat persaingan ekonomi yang tidak sehat, para ayah banyak kesulitan mendapatkan pekerjaan demi menafkahi keluarganya, sementara bantuan modal dan pelatihan-pelatihan pemberdayaan ekonomi sangat minim bagi laki- laki justru diarus deraskan untuk para perempuan. Laki- laki yang tidak bekerja, lemah dalam kepemimpinan memicu depresi hingga menimbulkan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga.
Permasalahan yang dihadapi perempuan maupun laki-laki hari ini adalah persoalan sistemik akibat penerapan sistem sekuler yang sangat tidak memanusiakan manusia.
Sungguh ide kesetaraan bukanlah solusi bagi permasalahan perempuan hari ini. Ide- ide kesetaraan justru menimbulkan masalah baru, yaitu hancurnya nilai- nilai keluarga dan hancurnya kualitas generasi. Harga yang sangat mahal yang harus kita bayar.
Kembalikan Peran Strategis Perempuan
Sebagai agama wahyu tentu saja Islam memiliki aturan yang sangat jelas terkait seperti apa peran perempuan bagi bangsanya. Sungguh Allah Subhanahu Wata’ala tidak membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki, kecuali berdasarkan tingkat ketakwaan masing-masing. Islam menempatkan Laki-laki dan perempuan sesuai pada porsinya masing-masing. Adil tidak harus setara, namun dibagi peran sesuai perannya. Keduanya sama- sama memiliki peran penting yang saling membutuh satu sama lain. Mereka diciptakan bukan untuk saling bersaing namun seharusnya menjadi partner dalam kebaikan. Allah SWT Berfirman:
“Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.” (QS at-Taubah [9]: 71).
Terkait peran perempuan dalam perubahan, maka Islam memberikan peluang yang sangat besar bagi perempuan untuk berkontribusi aktif di tengah masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi kemuliaan mereka.
Peran perempuan dalam Islam dibagi dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik. Pada ranah domestik, peran utama perempuan untuk mengubah kondisi umat ialah sebagai ummu wa rabbatul ‘bait (ibu manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi). Sesungguhnya, peran sebagai ibu rumah tangga tidak dapat dipandang sebelah mata, bahkan dijadikan stereotip bagi kaum hawa. Mengapa demikian? Sebab, hakikatnya yang menentukan kualitas generasi penerus bangsa tidak lain adalah seorang ibu yang menjalankan perannya sebagai madrasatul ‘ula (sekolah pertama dan utama).
Di ranah publik, seorang muslimah bukan berarti tidak dapat beraktivitas secara optimal dan produktif. Islam pun mewajibkan bagi kaum muslimin, laki-laki dan perempuan untuk menjadi seseorang yang berpikir politis dan melakukan berbagai aktivitas politis. Tentu, politik di sini bukan dari sudut pandang kacamata demokrasi, dimana politik identik dengan kekuasaan dan jalan meraih kekuasaan untuk meraup keuntungan materi semata. Akan tetapi yang perlu dipahami bahwa politik dalam Islam adalah ri’ayah su’unil ‘ummah (mengurusi urusan masyarakat). Oleh sebab itu, aktivitas yang dapat dilakukan seorang muslimah untuk berperan dalam mengubah kondisi masyarakatnya bukan dengan jalan demokrasi sebagai anggota dewan legislatif. Melakukan, aktivitasnya tidak lain dan tidak bukan adalah senantiasa melakukan dakwah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) di tengah masyarakat. Dakwah pun tidak sembarang dakwah, akan tetapi dakwah dalam rangka mencerdaskan masyarakat untuk berjuang bersama mengubah sistem demokrasi yang bathil saat ini, dengan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem yang diridhoi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Islam yang kaffah (menyeluruh) dengan metode perjuangan untuk perubahan yang meneladani seutuhnya perjuangan dakwah Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bishawab.