Konflik Agraria, Rakyat Jadi Tumbal Para Investor?

0
80

Oleh : Amy Sarahza

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah.
Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.

Ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa

Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.
Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri, (CNN Indonesia 24/09/2023).

Konflik Agraria makin parah, selama 9 tahun terakhir ribuan kasus muncul kepermukaan, dimana peran negara? Mengapa rakyat lagi yang menjadi tumbal?

Negara Abai Meriayah Rakyat

Konflik Agraria yang terus menerus terjadi selama 9 tahun terakhir ini, menjadi bukti bahwa negara sudah abai dalam meriayah rakyatnya. Bahkan negara terang terangan memberi jalan pintas bagi investor dalam perebutan lahan. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Berlindung di balik proyek-proyek negara, oligarki kekuasaan menggarong hak dan tanah rakyat. Mereka bekerja sama dengan investor mendanai proyek-proyek strategis. Siapakah investor yang dimaksud? Tidak lain adalah para pemilik modal (kapitalis) dan korporasi.

Mirisnya Pemerintah terkesan tutup mata membiarkan rakyat menderita & lebih memilih investor. Sungguh ulah kapitalisme sudah membuat pemerintah tidak lagi bisa melindungi rakyat nya. Bahkan nyawa yang melayang pun tidak ada lagi harga nya dibanding cuan. Astagfirullah

Rakyat Jadi Tumbal?

Kapitalis & Liberal merupakan akar dari semua masalah yang terjadi di negeri ini. Salah satunya konflik agraria, pemberi keuntungan tentu menjadi prioritas, dibanding kesejahteraan rakyat sendiri. Paham kafir ini sudah memisahkan agama dalam kehidupan, nilai nilai kemanusiaanpun terabaikan, perampasan paksa yang membuat rakyat jadi tumbal utamanya. Rakyat lemah makin teraniaya oleh para investor yang punya banyak cuan. Ini lah bentuk penjajahan baru, salah satu diantaranya; berkedok bentuk investasi untuk pariwisata, yg pada kenyataannya pembangunan & pengembangan pariwisata saat ini sangat jauh dari ” adabnya”. Dalam teorinya Pembangunan & pengembangan sektor pariwisata di sebuah wilayah harus melibatkan warga sekitar mulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan, dengan harapan sektor ini bisa meningkatkan kesejahtraan rakyat.

Tapi realitanya justru rakyat lah yang menjadi korban perampasan lahan, perampasan dilakukan dengan dalih karena rata rata rakyat tidak memiliki surat kepemilikan tanah atau lahan, padahal jauh sebelumnya nenek moyang mereka sudah tinggal dan bermukim di wilayah tersebut.

Keadaan ini sangat merugikan rakyat. Apalagi ada iming iming mereka akan di relokasi atau tanah mereka yang diambil diganti dengan tanah lain dengan harga tidak sepadan. Mereka berunjuk rasa mempertahankan hak nya, Massa geram dan aksi tersebut pun berakhir ricuh. Warga mengakui mendapat ancaman, intimidasi, penangkapan, penembakan bahkan nyawapun melayang. jika tidak segera pindah dari lahan yang mereka tempati. Ada pula yang mendapat ganti rugi tidak sepadan, bahkan beberapa belum mendapat kompensasi ganti rugi untuk lahannya yang sudah rata menjadi tanah.

Bagaimana prefektif Islam melihat kasus konflik Agraria ini ?

Pada dasarnya, tanah merupakan bagian dari alam semesta milik Allah Taala. Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).

Dari sini, kita bisa mengambil dua hal penting, yaitu pemilik hakiki tanah adalah Allah Swt. dan Dia memberikan keleluasaan bagi manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya. Oleh karenanya, pengaturan dan pengelolaan tanah harus ditetapkan berdasarkan hukum Allah SWT semata.

Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Menghidupkan tanah mati yang dimaksud ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.

Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.

Dalam kapitalisme, kepemilikan tanah bergantung pada selembar sertifikat. Kepemilikan tanah yang dihuni secara turun temurun bisa diklaim milik negara hanya karena tidak bersertifikat. Adapun dalam Islam, kepemilikan tanah yang sudah dihuni dan dikelola berpuluh tahun tidak dapat diambil siapa pun bahkan oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Inilah di antara keadilan Islam dalam mengatur kepemilikan tanah.

Selain itu, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan keridaan pemilik tanah. Jika pemilik tanah tidak rida, negara tidak boleh menggusur paksa, apalagi bertindak sewenang-wenang. Jika pemilik tanah rida, negara dapat memberikan ganti untung yang membuat pemilik tanah tidak mengalami kesusahan.

Keadilan atas status kepemilikan tanah dan pengaturannya hanya bisa dirasakan dalam sistem Islam kafah. Dalam Islam, negara adalah pelindung, pengurus, dan bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.

Sudah terlalu banyak kezaliman yang terpampang dalam penerapan ideologi kapitalisme. Hanya sistem Islam kafah yang dapat menjawab dan mewujudkan apa dan bagaimana seharusnya negara berlaku adil dan amanah kepada rakyatnya. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here