Madu dan Racun Neo Liberalisme

0
257

Oleh : Dr. Siti Rohima, SE MSi (Staf Pengajar FE Universitas Sriwijaya)

Dampak Globalisasi Neo Liberalisme ditinjau dari Paradigma Kebijakan Ekonomi Politik
Era globalisasi ekonomi politik berdasarkan gagasan neo liberalisme ini, telah menimbulkan dampak serius terhadap efektivitas kebijakan pemerintah dan wewenang politik nasional. Dampak serius yang terjadi saat ini dapat dikelompokkan menjadi 2 pandangan, yaitu:

(1) Madu Neo Liberalisme

Transformasi akibat globalisasi. Globalisasi tidak sekedar menimbulkan kendala, lebih dari itu telah mendorong terjadinya transformasi ekonomi politik atau perombakan orde ekonomi politik di berbagai negara. Pertama, globalisasi mendorong terjadinya perubahan fungsionalitas, kekuasaan atau kompetensi negara (kemerosotan kemampuan negara). Kedua, proses itu juga mendorong terjadinya perubahan identitas ekonomi politik (kepentingan nasional) suatu bangsa. Ketiga, globalisasi mendorong penyebaran kekuasaan dari negara ke aktor-aktor non negara dan Keempat, proses itu juga menghasilkan reorganisasi wewenang negara.

(2) Racun Neo Liberalisme

Dampak globalisasi sebagai kendala adalah peningkatan transaksi barang, jasa dan kapital secara internasional, telah membuat pemerintah Indonesia terkendala dalam menentukan preferensi dan menjalankan kebijakan. Umpamanya, internasionalisasi memaksa pemerintah untuk tidak melakukan intervensi ke dalam kegiatan ekonomi pasar. Akibatnya komitmen pemerintah Indonesia terhadap konsep Welfare State harus dibatalkan. Minimalnya, pengendoran penggunaan wewenang dan tanggungjawab negara dengan tujuan melindungi warga negara dari dampak buruk ekonomi pasar dan menjamin standar tertentu bagi kemakmuran warga negara (Phaller dalam Rudra, 2002). Kalau pemerintah membatalkan komitmen terhadap cita-cita negara kesejahteraan maka pemerintah tidak lagi bisa berfungsi efektif sebagai pelindung rakyatnya, terutama kepada kaum buruh dan petani dalam menghadapi globalisasi yang semakin gawat.

Internasionalisasi juga menimbulkan kendala berupa ketimpangan di kalangan penduduk. Sebagian penduduk diuntungkan, sedangkan sebagian lain dirugikan. Globalisasi kapital menekankan efisiensi, profitability dan competitiveness dalam prakteknya mendorong pelaku untuk menggunakan strategi memotong biaya seminimal mungkin, sehingga hanya aktor besar yang mampu beroperasi. Hal ini akan memperburuk jurang antar kelas (si kaya dan si miskin). Mereka yang mengendalikan kapital, memperoleh keuntungan dan keleluasaan luar biasa. Kalau tidak setuju dengan pemerintah, mereka biasa memindahkan kapital ke negara lain, sedangkan yang memiliki kemudahan exit itu (Hamilton Hart, 1990).

Akhirnya, menimbulkan fenomena yang disebut Martin dan Schumann (1997) dengan pola “20:80 Society” dimana 20% penduduk dunia akan menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh proses transformasi global, sedangkan 80% sisanya tidak terlibat sama sekali. Globalisasi berarti meningkatkan potensi konflik akibat ketimpangan pembagian rezeki dan merusak ketentraman dalam masyarakat.

Gambaran Neo Liberalisme

Gagasan ini begitu marak sejak 1980-an, sehingga kini menjadi semacam keyakinan. Kumpulan ide dan kebijakan seperti yang dinyatakan George (2000) adalah neo liberalisme. Pada intinya, pemerintah menerapkan Neo Liberalisme sebagai kebijakan dalam negeri. Adapun kebijakannya sebagai berikut:
Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting;
Negara harus secara sukarela mengurangi peranannya dalam ekonomi; Perusahaan harus diberi kebebasan total; Serikat buruh harus dihapus; Proteksi sosial bagi warga negara harus dikurangi.

Pada tingkat internasional, neo liberalisme mengutamakan 3 (tiga) pendekatan pokok yaitu: (1) perdagangan bebas untuk barang dan jasa, (2) kebebasan sirkulasi kapital dan (3) kebebasan investasi.

Gagasan neo liberalisme ini sejak tahun 1979 mulai mendapat dukungan kuat dari 3 (tiga) negara besar yang sangat berpengaruh yaitu Inggris dipimpin Margaret Thatcher, Amerika Serikat dipimpin Ronald Reagen dan Jerman dipimpin Kanselir Helmut Kohl. Berkat dukungan negara-negara besar dan berpengaruh ini, neo liberalisme menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai lembaga internasional. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti IMF dan World Bank. Neo liberalisme telah menjadi COWDOG (Common Wisdom of The Dominant Group).

Gagasan dan kebijakan neo-liberalisme ini kemudian dikemas dalam resep oleh Hining Greenwood (1996) disebut dengan Washington Consensus. Resep tipikal lembaga-lembaga multilateral yang menganut gagasan neo liberalisme: (1) Price Decontrol. Hal ini berarti penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor produksi dan mata uang asing. (2) Fiscal Discipline. Artinya, pengurangan defisit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai tanpa memakai inflationary financing. (3) Public Ependiture Priorities. Artinya, pengurangan belanja pemerintah dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi yang tidak terarah dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayaan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat dan pendidikan. (4) Tax Reform. Hal ini berarti perluasan basis pajak, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan pajak dan pengenaan pajak pada aset yang ditaruh di luar negeri. (5) Financial Liberalization, Artinya, tujuan jangka pendek dan menengah adalah menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi. Tujuan jangka panjangnya adalah penciptaan tingkat suku bunga bank berdasarkan pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi capital. (6) Exchange Rates. Artinya, untuk meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar mata uang dan kompetitif. (7) Trade Liberalization. Artinya, pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan kuantitatif) harus diganti dengan tarif bea cukai dan secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%) (8) Domestic Saving. Artinya, penerapan disiplin fiskal/anggaran, pengurangan belanja pemerintah, reformasi perpajakan dan liberalisasi finansial, sehingga sumber daya negara bisa dialihkan ke sektor-sektor private yang produktivitasnya tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neoklasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi secara cepat. (9) Foreign Direct Investment. Artinya, penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara. Tidak boleh ada pilih kasih atau diskriminatif. (10) Privatization. Artinya, perusahaan negara harus diswastakan. (11) Deregulation. Artinya, penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan membatasi persaingan, kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan tersebut. (12) Property Rights, Artinya, sistem hukum yang berlaku harus menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital dan bangunan.

Persoalan besar yang dihadapi oleh semua bangsa di dunia dan terlibat dalam ekonomi internasional pada tahun 1980an adalah global disolder dan global instability. Ketidakpastian merebak dimana-mana. Ada 3 (tiga) kekuatan yang menyebabkan ketidakpastian dan ketidakstabilan pada dasawarsa 1980-an. Pertama, penciptaan dan pengintegrasian ekonomi global di bawah hegemoni kapitalis. Kedua, perubahan teknologi yang sangat cepat. Ketiga, konsentrasi kepemilikan uang dan kapital oleh si kaya dan si kuat. Penciptaan ekonomi global dan kemajuan teknologi, tidak mesti mendorong ketidakstabilan, tetapi ketika kedua kekuatan itu digabung dengan konsentrasi capital, hasilnya adalah instabilitas dan disorder.
Fenomena lain yang perlu diperhatikan adalah fenomena flexible accumulation. Dalam rangka memenangkan persaingan itu, perusahaan transnasional melakukan sourcing, yaitu mengontrakan pekerjaan kepada pengusaha mana saja di dunia yang bisa memasok komponen, sehingga perusahaan raksasa itu bisa mempertahankan fleksibilitas maksimum demi memperoleh komoditi atau sumber produksi yang paling murah. Sebagai bahan bandingan, tandingan dan sandingan, “buat apa membuat komponen sendiri kalau orang lain bisa memasok dengan harga lebih murah”.
Wujud lain dari flexible accumulation adalah corporate downsizing. Pada prinsipnya sama, Dalam hal memperoleh keuntungan besar, tidak perlu secara langsung memiliki sarana produksi sendiri. Banyak perusahaan transnasional mensubkontrakkan pembuatan barang dan jasa sebelumnya mereka buat sendiri, atau perusahaan tersebut memPHK buruhnya di negara asal perusahaan itu dan memperkerjakan buruh lain yang lebih murah di negara tempat investasi asingnya berlangsung. Implikasinya, kalau biaya produksi di suatu negara meningkat cukup banyak, perusahaan bisa mencari mitra kontraktor negara lain.
Proses akumulasi yang luwes ini memungkinkan perusahaan transnasional menghindar dari tanggung jawab atas dampak buruk proses produksi barang dan jasa buruh terhadap perburuhan atau lingkungan hidup di wilayah setempat. Alasannya, sederhana, perusahaan tidak ikut berproduksi di wilayah tersebut. Perusahaan hanya membeli dari produsen lokal.

Di samping itu, salah satu akibat dari produksi yang berlebihan di seluruh dunia adalah kemerosotan minat untuk memperluas usaha memproduksi barang untuk konsumsi massal. Menanam modal untuk sektor produktif tidak lagi banyak menjanjikan keuntungan, Karena itu, banyak keuntungan kaum pemodal yang ditanamkan di sektor finansial, tidak di sektor produktif riil.
Hal ini menjadi alasan mendasar ekspansi pasar finansial seluruh dunia sejak tahun 1970-an. Didukung oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan globalisasi proses ekonomi, finance capital menjadi sektor yang paling menguntungkan, paling kuat dan paling spekulatif di dunia kapitalis. Dalam konteks ini mata uang mengalami komodifikasi luar biasa, pasar uang dan capital, dipisahkan dari sektor produksi. Munculnya spekulasi dan pencarian keuntungan melalui jual beli mata uang dalam skala besar-besaran ini kemudian menimbulkan julukan casino capitalism (Strange, 1986).

Arena finance capital paling besar tahun 1990-an adalah global equities markets, terutama di Dunia Ketiga dan Negara-negara blok komunis. Didukung IMF dan kebijakan pasar bebas yang disponsori oleh negara-negara besar, di hampir setiap negara besar dan pasar regional di seluruh dunia, didirikanlah bursa saham. Hal ini mengakibatkan maraknya investasi fortofolio. Berbeda dengan investasi langsung di sektor produktif, umpamanya, dalam bentuk pendirian pabrik atau tambang. Investasi fortofolio dalam bentuk saham bersifat sangat tidak pasti, tidak mesti untuk kegiatan produktif dan bisa ditarik sewaktu-waktu. Ekonomi suatu negara bisa bangkrut kalau investasi seperti tiba-tiba ditarik investornya. Investor bisa memperoleh untung besar dari jual beli saham tanpa perlu ada hubungan dengan kenaikan produksi.
Hal ini menarik untuk diperhatikan, kenyataan peningkatan jumlah perusahaan yang ditawarkan di bursa saham, banyak didorong oleh kebijakan IMF yang memaksa pemerintah untuk melakukan privatisasi perusahaan negara dengan harga murah atas nama “restrukturisasi ekonomi”. State divestiture ini merupakan obral murah bagi pemilik kapital asing yang memasuki sektor ekonomi nasional strategis (monopolis) seperti perusahaan telepon, bank, perusahaan minyak dan sebagainya.

Solusi mengatasi arus globalisasi yang sarat berwajah neo liberalisme, sebagai berikut:

Mengendalikan Pasar Global dengan “Nasionalisme Strategis”

Cara lama untuk menekan industrialisasi substitusi impor menjadi berdikari sudah kehilangan pendukung. Nasionalisme depensif ini dianggap malah memperbesar ketergantungan pada aktor asing, sedangkan nasionalisme strategis mencoba memanfaatkan kaitan dengan industri internasional sebagai cara untuk memajukan pengembangan teknologi lokal, mungkin lebih mempunyai peluang. Inti pendekatan ini adalah bukan bagaimana memerangi aktor internasional, tetapi lebih pada bagaimana mengelolanya, melalui negosiasi internasional maupun domestik yang ekstensif.

Mengendalikan Kapitalisme Global dengan “International Governance”

Ada dua jenis pendekatan globalisasi. Pertama, globalisasi dengan internasional governance, seperti dinyatakan Keynes di Bretton Woods: kewibawaan rezim pemerintah di sebuah negara, bangsa dijamin oleh wewenang badan-badan internasional yang beranggotakan pemerintah nasional. Intervensi lembaga publik (pemerintah) diperlukan demi menjamin ekonomi kapitalis yang bertanggungjawab. Kedua, globalisiasi tanpa international governance yang neoliberalisme yang menolak campur tangan (intervensi) wewenang publik (pemerintah). Persoalannya, bagaimana membangkitkan kembali international governance demi mempertahankan kestabilan dan ketertiban dalam arena ekonomi global? Usulan membatasi mobilitas capital yang berlebihan melalui capital control seperti yang dilakukan Malaysia 1997-1998, mekanisme perpajakan seperti Tobin-Tax yang mengusulkan penarikan pajak jual beli devisa, kerjasama regional seperti usulan pembentukan Asian Monetery Fund dan semacam itu, sekarang menjadi bahan pembicaraan penting di berbagai kalangan.

Jaringan Internasional: Advokasi atau Gerakan Massal

Cara lain menghadapi globalisasi neo liberalisme adalah melakukan penyadaran dan pengorganisasian dalam kegiatan fungsional spesifik di kalangan masyarakat, mempertautkan kegiatan tersebut ke dalam suatu jaringan transnasional dan advokasi ke sasaran-sasaran yang dianggap menentukan perkembangan globalisasi tersebut mempertimabngkan perbedaan globalisasi dengan governance dan globalisasi tanpa governance.

Dalam hal ini, globalisasi dengan governance, sasaran dari advokasi adalah badan-badan internasional yang menjamin proses tersebut. Dalam kondisi ini, maka diperlukan suatu kecakapan dalam melakukan lobby-lobby internasional (strategi elitis). Sebaliknya, globalisasi tanpa governance, diperlukan suatu kemampuan pengorganisasian massa, karena sasarannya adalah pasar domestik maupun internasional, bukan badan-badan internasional.

Umpamanya, mobilisasi konsumen untuk memboikot perusahaan dengan menggunakan dana investasi portofolio bisa sangat efektif untuk menggoyang bisnis swasta. Dalam hal ini, keterampilan menggalang dan menjalankan massive compaign lebih perlu diprioritaskan dari lobbying. ***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here