Minimnya Perhatian Perawat di Masa Pandemi Covid-19

0
260

Oleh : Widiawati Ummu Naura

Ratusan perawat harian lepas melaporkan belum menerima THR dan bahkan mengalami pemotongan gaji. Di saat merayakan Idul Fitri sejumlah pekerja lepas, termasuk tenaga kesehatan, ada yang belum mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) bahkan mengalami pemotongan gaji.

Sejumlah perawat yang bekerja dengan status Tenaga Harian Lepas (THL), misalnya harus merayakan lebaran tahun ini tanpa mendapat THR. Salah satunya diakui Mohamad Fadly Mahardika, akrab disapa Fadly, yang sejak tahun 2017 berstatus sebagai THL perawat di sebuah puskesmas di Tangerang, Banten.

Beliau mengaku mendapat gaji sebesar Rp 3,9 juta per bulannya dan tidak pernah menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dari Pemerintah Provinsi. Dia sudah bekerja dengan status tenaga harian lepas sebagai perawat selama hampir tiga tahun. Tapi ia mengaku mendapat THR dari sumbangan rekan kerja pegawai negeri sipil (PNS) lainnya atau pihak puskesmas. “Saya hanya menerima THR dari puskesmas saja di tahun 2017 dan 2018 sebesar Rp 150 ribu, 2019 sebesar 200 ribu, dan 2020 sebesar Rp 400 ribu,” katanya yang juga mewakili beberapa perawat lainnya di Kota Tangerang. Tidak ada [THR] dari Pemda ataupun instansi Dinas Kesehatan. “Taruhan kami nyawa, tapi upah ala kadarnya,” ujarnya.

Dia, bukan nama sebenarnya, seorang perawat di sebuah puskesmas di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga belum pernah menerima THR. Padahal, ia mengaku jika beban pekerjaannya meningkat di tengah pandemi Covid-19. Apakah Kebijakan Covid-19 Berdasarkan Sains?

Selain bertugas di puskesmas, para pekerja juga dan 20 perawat lainnya, bergantian menjaga posko Covid-19 untuk bersiap menangani pasien yang tertular virus Corona. Sebagai perawat THL di Jawa Tengah, gaji per bulan adalah Rp 1,3 juta, atau Rp 47.500 per hari.

Jumlahnya ini masih di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun ini, yaitu Rp 1,7 juta. “Bisa dihitung sendiri berapa besaran gaji kami dengan tanggung jawab seperti itu. Taruhan kami terus terang kan nyawa, tapi upah para pekerja ala kadarnya,” katanya.

Tapi tidak punya pilihan lain selain harus menjalani tugasnya meski dengan gaji rendah. Ia juga harus mengusahakan sendiri alat pelindung diri (APD) yang harus dikenakan, karena tiap tenaga kesehatan di puskesmas tempat bekerja hanya dijatah satu APD per minggu.

Jadi pertama kali, mereka menggunakan jas hujan yang harganya Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu, yang plastik tipis. Sementara masker dijatah empat buah per minggu, itu pun menurutnya tidak memenuhi standar kesehatan. “Tidak ada kacamata. Mau pakai uangnya siapa? Gaji Rp 1,3 juta saja masih beli perlengkapan sendiri,” tambahnya.

Kondisi APD yang tidak maksimal membuatnya khawatir untuk berinteraksi dengan anggota keluarganya selepas kerja karena takut menulari mereka.

Gaji Karyawan Rumah Sakit Dipotong

Sebagai THL, besaran gaji yang diterima tidak sebanding dengan jam kerja yang melebihi batas jam kerja PNS, yaitu 7,5 jam per hari atau 150 jam per bulan, merujuk pada PP Nomor 53 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah.

“Kalau saya, di puskesmas, waktu piket saya sekitar 17 sampai 20 jam. Kalau dihitung jam kerjanya, ya lebih dari batas jam kerja PNS, sekitar 180 jam,” katanya yang juga mengatakan di luar piket tetap bekerja.

Namun, pemotongan gaji perawat atau THR yang tidak dibayarkan bukan hanya dirasakan oleh perawat dengan status pegawai tidak tetap.

Lalu bagai mana dengan Islam memberi penghargaan dan oerhatian pada tenaga medis yang berada di garda terdepan menghadapi wabah?

Kekosongan perspektif Islam dalam strategi penanggulangan Covid-19 oleh rezim-rezim dunia Islam sungguh mencerminkan perlunya satu kesatuan tubuh dunia Islam untuk menanggapi krisis transnasional ini dengan cara ideologi Islam, di mana satu kesatuan tubuh ini akan menjelma menjadi satu institusi politik global yang memiliki otoritas dalam menjamin kepentingan umat Islam atas dasar kepatuhan terhadap Dienul Islam serta perlindungan kemanusiaan.

Institusi ini adalah Khilafah, yang akan mengemban visi dan paradigma bernegara dalam Islam. Di mana visi Islam menggariskan ada dua peran negara atau penguasa yang sangat mendasar.

Pertama, peran sebagai “raa’in”, pengurus urusan rakyat, termasuk pengurusan hajat hidup publik sesuai tuntunan syariat. Ditegaskan oleh Rasulullah saw, الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Kedua, adalah peran sebagai “junnah” (perisai) yakni pelindung sekaligus sebagai pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Ditegaskan Rasulullah saw., إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ “Imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, di dalam Islam, harta, darah dan kehormatan setiap warga negara adalah tanggung jawab penuh negara. Rasulullah SAW bersabda:

(( فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ ))

“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, bulan ini, dan negeri ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. (HR Bukhari dan Muslim)

Dengan mengemban fungsi bernegara ini, kelalaian dan pengabaian yang menjadi ciri khas pemerintahan sekuler kapitalis tidak akan terjadi. Penguasa akan menjadi sosok pertama yang patuh pada Dien karena takut pada Rabb-Nya.

Dalam menangani Covid-19 ini, pemimpin negara akan menjalankan kepemimpinan sesuai dengan tujuan-tujuan agung penerapan Syariat Islam (Maqâshid asy-Syarî`ah) yakni:

(1) Hifdzun ad-diin (Menjaga Agama); Menjaga akidah umat serta memastikan seluruh kewajiban tetap ditegakkan, termasuk ibadah fardu kifayah di masjid meski dengan pengaturan pembatasan fisik di masyarakat. Negara harus menerbitkan standar prosedur teknis beribadah di Masjid selama pandemi, bukan malah menutup masjid secara membabi buta.

Khalifah juga langsung memimpintawbat[an] nasûhâ. Bisa jadi bencana/krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh Khalifah dan atau masyarakatnya. Khalifah harus menyerukan tobat. Meminta ampun kepada Allah agar bencana ini segera berlalu.

(2) Hifdzun an-nafs (Menjaga Jiwa);Melindungi nyawa rakyat menjadi prioritas utama daripada melindungi stabilitas ekonomi, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai & Turmudzi).

Pada masa wabah penyakit menular, harus diterapkan kebijakan karantina atau lockdown seperti yang pernah diterapkan oleh Rasulullah Saw.. Metode ini sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah Saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain.

Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul Saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah.

Rasulullah SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.”(HR al-Bukhari).

(3) Hifdzun Aql (Menjaga Akal);Mencukupkan edukasi dan informasi terkait Covid-19 sembari mengampanyekan pentingnya keimanan, ilmu, dan tobat di situasi krisis ini, di sisi lain negara harus melindungi rakyat dari disinformasi serta berita hoax yang berpotensi menimbulkan keresahan, kepanikan, dan kekacauan di masyarakat.

Negara harus punya kemampuan dan kendali terhadap arus informasi yang beredar di masyarakat, dengan melakukan “mobilisasi secara pemikiran dan maknawi” di tengah umat.

Yakni menaikkan peringkat umat secara pemikiran dan kejiwaan dengan Islam, akidah, dan hukum-hukumnya, ke peringkat menjadi kuat untuk bersikap tegar dan menghadapi bencana dan tantangan; Semua ini agar terwujud masyarakat Islam yang kokoh, mulia dan bersih karena ketakwaannya serta memiliki daya tahan terhadap krisis.

(4) Hifdzun Nasl (Menjaga Keturunan); Dalam situasilockdown, kekuatan bangunan keluarga muslim akan diuji karena harus tetap berada di rumah-rumah mereka. Di samping faktor ketakwaan individu dan kontrol masyarakat, negara akan terus mempromosikan nilai kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah sehingga kaum ibu tetap merasa aman dalam mendidik anak-anak mereka di rumah. Di sisi lain Khilafah akan memberi sanksi tegas jika terjadi kezaliman dalam keluarga seperti KDRT.

(5) Hifdzun Maal  (Menjaga Harta); Menjamin kebutuhan pokok rakyat kepala per kepala. Negara juga yang akan memobilisasi bantuan logistik dan pangan dari daerah sekitar, juga memotivasi kaum muslim agar berlomba-lomba saling menanggung untuk meringankan saudaranya.

Di masa Khalifah Umar juga ada kebijakan menunda pungutan zakat pada krisis/bencana. Diriwayatkan dari Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, “Umar bin al-Khathab menunda zakat pada masa krisis/bencana dan tidak mengirim para petugas penarik zakat. Pada tahun berikutnya, Allah mengentaskan paceklik, kemudian Umar memerintahkan mereka agar mengeluarkan zakat dan para petugas zakat menarik zakat dua tahun. Kemudian mereka diperintahkan untuk membagikan zakat satu tahun dan sedekah satu tahunnya diberikan pada Umar.”

Khalifah Umar juga menerapkan kebijakan menghentikan sementara hukuman bagi pencuri, karena saat krisis sangat mungkin orang mencuri dan memakan barang milik orang lain karena sangat Iapar. Itu semata untuk menyambung nyawanya karena memang tidak bisa mendapatkan makanan.

Para Sahabat yang hidup pada masa Khalifah Umar mendiamkan dan menyetujui pendapat Umar. Inilah Ijmak Sahabat tentang hukum pencuri dalam situasi khusus tersebut. Tidak sama hukumnya bagi pencuri di luar kondisi tersebut.

Para penguasa Muslim sudah seharusnya ntungan. Yang dibutuhkan umat ​​manusia saat ini adalah seorang Khalifah yang memperlakukan penyakit ini sebagai masalah kemanusiaan yang paling penting di atas segalanya, terlepas dari agama, mazhab, dan etnis mereka.

Khalifah yang tidak memandangnya sebagai masalah ekonomi utilitarian atau sekadar angka-angka statistik! Rasulullah Saw. bersabda,

مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ

“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). ***

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here