Kliksumatera.com, PALEMBANG- Pansus IV DPRD Kota Palembang membahas revisi Raperda tentang Pajak bertempat di ruang Banmus Gedung DPRD Kota Palembang, Senin (27/1).
Menurut Ketua Pansus IV DPRD Kota Palembang Ilyas Hasbullah melalui Anggota Pansus IV DPRD Kota Palembang Sutami Ismail, mereka melakukan rapat bersama antara DPRD, BPBD, dan Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu tentang Pajak Daerah yang rencananya akan ada perubahan beberapa pasal. ”Karena berdasarkan pertimbangan BPBD ini terkait bahwa PAD ini agak menurun di tahun 2019. Pemerintah Kota Palembang melalui BPBD akan mengajukan revisi perda nomor 2 tahun 2018 yang menyangkut paling pokok adalah pajak restoran,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, setelah Bapemperda membahas lalu direkomendasikan, perda ini sangat penting dan untuk ditindaklanjuti. Makanya, lembaga DPRD Kota Palembang melalui rapat paripurna membentuk Pansus dalam hal ini Pansus IV yang membidangi pembahasan tentang Raperda nomor 2 tahun 2018.
Secara akademik BPBD sudah mengajukan. ”Lalu kita tindaklanjuti dengan cek lapangan dengan Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang yang tadi kami undang tentang aspirasi di lapangan terkait perubahan Perda ini sebelum disahkan. Setelah kita mendengar aspirasi beberapa pedagang ternyata ada kekhawatiran,” cetus Ilyas.
Berdasarkan pengajuan revisi perda nomor 2 tahun 2018 yang ditolak sebagian besar pedagang adalah dengan dipasangnya alat tapping box di beberapa rumah makan, restoran, dan pecel lele.
”Ke depan akan kita bahas dengan BPBD terkait usulan dari beberapa pedagang tersebut,” tandasnya.
Sementara itu, Febri Al-Lintani Sekretaris Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang ketika diwawancarai usai rapat bersama DPRD Kota Palembang mengatakan ada beberapa hal yang perlu kita cermati. ”Yang pertama kita memang pokok pangkal masalah pajak itu ada di Perda kemudian kita apresiasi Pemerintah dan Anggota DPRD Kota Palembang sudah merevisi Perda ini nanti ada berapa pasal yang kita minta agar pasal tersebut berkeadilan proporsional. Pemerintah mendapatkan income tetapi pedagang tidak merasa ditindas, tetap ada pemaksaan yang namanya undang-undang tapi tidak keberatan asal dapat berkeadilan,” ujarnya.
Makanya kita protes 10 persen dari omzet dengan omzet yang 100 ribu sudah kena malah ini justru tidak adil atau omzet nya 3 juta perbulan tidak kena. ”Kemudian kita juga meminta kepada DPRD agar tidak memukul rata tentang klasifikasi restoran ada rumah makan, outlet kemudian ada warung kaki lima. Seperti misalnya perda kemarin itu menyamakan antara restoran dan rumah makan disebut restoran hal tersebut yang kita minta untuk direvisi. Kemudian yang kedua besaran ada perbedaan sedikit, memang undang undang mengatakan pajak memang diambil dari omzet. Sementara kita mengusulkan bukan dari omzet akan tetapi dari laba bersih, sedangkan amanat undang undang memang mengatakan paling besar 10 persen. Bisa dari 0 sampai 10 persen jika kita usulkan dari laba bersih boleh 5 persen,” paparnya.
Menurut Febri, setiap usaha tentunya memiliki usaha berbeda-beda ada yang ramai konsumennya tapi keuntungannya cuma 5 persen. ”Seperti halnya yang kita usulkan hari ini adalah pelaku usaha menengah ke bawah. Kita juga menolak adanya tapping box kemarin karena usulannya terlalu tinggi jadi kita minta ada klasifikasi. Disitu memang perlu adanya pajak mall dan restoran,” ujarna lagi.
Febri bersama Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang berharap kepada Pemerintah Kota Palembang ingin Pajak Kuliner diterapkan kepada pelaku kuliner secara berkeadilan.
Laporan : Andrean
Editor/Posting : Imam Ghazali