Oleh : Alpansyah, Ph.D.
(Penulis adalah Pemerhati Pendidikan di Sumatra Selatan)
Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran 2023/2024 sudah selesai. Pada jejang pendidikan sekolah menegah atas (SMA) misalnya sudah terjaring siswa baru yang akan duduk di kelas 10 yang pada saat PPDB mereka diterima di sekolah pilihan mereka melalui jalur prestasi, afirmasi, zonasi, serta perpindahan orang tua. Namun, setelah PPDB usai masih tertinggal persoalan yang sempat mencuat melalui media sosial (medsos) yaitu pungutan yang dilakukan sekolah dengan mengatasnamakan komite sekolah.
Tentu saja kita semua paham bahwa tanggung jawab terdahap dunia pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung bersama termasuk di dalamnya masyarakat dan orang tua. Dalam mewadahi bentuk tanggung jawab masyarakat dan orang tua (wali murid) inilah pemerintah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2016 tentang komite sekolah.
Namun, sangat disayangkan bentuk peran serta masyarakat dan orang tua yang diejawantahkan dalam sebuah lembaga mandiri yang bernama komite sekolah ini justru menuai kontroversi. Dari sumber media sosial (medsos) yang pada saat ini sangat mudah diakses, didapati informasi berbagai bentuk pungutan yang memberatkan orang tua (wali murid) seperti uang iuran komite pada setiap bulan dan uang pembangunan sekolah yang dipungut melalui komite pada setiap awal tahun, belum lagi uang-uang lainnya seperti sumbangan saat bagi raport, sumbangan penghijauan sekolah, uang kelulusan, uang perpisahan, dan lain-lain. Atas pungutan ini, sekali lagi berdasarkan sumber medsos, masyarakat mempertanyakan: (1) kalau membayar gaji guru honor, pembagian raport, dan penghijauan sekolah ke mana uang bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP); (2) kalau untuk membiayai pembangunan sekolah ke mana uang dana alokasi khusus (DAK); dan (3) apa dampak bagi sekolah khususnya bagi peserta didik dari pemanfaatkan uang pungutan tersebut?
Mengacu pada persoalan tersebut yang belakangan ini sempat mencuat maka tulisan ini akan menguraian subtansi keberadaan komite sekolah di satuan pendidikan, bentuk penggalangan dana yang dilakukan komite sekolah, serta dampaknya bagi kemajuan sekolah dan peserta didik di sebuah satuan pendidikan. Dari uraian tersebut dapat diketahui apakah komite sekolah kita dalam keadaan “sehat” atau sedang “tidak baik-baik saja”.
Keberadaan Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri yang berkedudukan di satuan pendidikan dipayungi oleh landasan hukum berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2016. Maksud dan tujuannya tidak lain adalah mewadahi bentuk tanggung jawaba masyarakat dan orang tua (wali murid) dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam mencerdasakan kehidupan bangsa sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar yang diturunkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah sudah membangun dan menyediakan gedung-gedung sekolah, menyediakan dan mengangkat guru-guru, menyiapkan kurikulum yang akan diajarkan, membuat regulasi yang mengatur penyelenggaraan pendidikan, serta memberikan pembiayaan untuk operasional sekolah yang saat dikenal dengan sebutan BOSP (sebelumnya disingkat BOS). Apakah semua itu sudah cukup? Jawabnya tegas ya! Semua bentuk tanggung jawab pemerintah itu sudah memenuhi standar pelayanan minimal. Tentang ketentuan mengenai bangunan atau gedung, ruang kelas, perpustakaan dapat dilihat dalam regulasi tentang Standar Sarana Prasarana; tentang bagaimana pengelolaan keuangan dapat dilihat dalam regulasi Standar Pembiayaan; tentang kurikulum dan pembelajaran dapat dilihat dalam regulasi Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Kompetensi Lulusan.
Lalu di mana peran komite sekolah? Semua yang dipemenuhi pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan adalah pemenuhan sebatas standar pelayanan minimal, tentu masyarakat dan orang tua dalam hal ini komite sekolah diberi ruang untuk berpartisipasi memajukan pendidikan tertuma pendidikan untuk putra-putri mereka. Penyelenggaraan pendidikan yang belum terpenuhi oleh pemerintah dan itu tidak teranggarkan dalam dana BOSP maka masyarakat dan orang tua dalam hal ini komite dapat memenuhinya. Tentu saja bentuk-bentuk kebutuhan setiap satuan pendidikan berbeda-beda. Sebagai contoh, satuan pendidikan berada di daerah perairan. Peserta didik mengalami kesulitan akses untuk menjangkau sakolah karena setiap hari pergi dan pulang sekolah harus naik perahu atau melalui jalan yang memutar dan jauh. Untuk mengatasi hal ini komite sekolah dapat menggalang dana bantuan kepada masyarakat dan orang tua (murid) untuk pengadaan alat transportasi berupa perahu bermesin (ketek atau jongkong) yang dapat mengangkut siswa dalam jumlah yang banyak sehingga keselamatan peserta didik terjamin dalam menuju sekolah.
Dalam mengatasi masalah akses siswa menuju sekolah tersebut komite tidak harus menggalang dana, bisa juga dengan mengetuk hati para dermawan yang ada di daerah itu untuk membantu penggadaan transportasi berupa perahu bermesin (ketek atau jongkong). Namun, biasanya yang paling sering dilakukan adalah dalam bentuk penggalangan dana. Hanya perlu diingat penggalangan dana tersebut harus bersifat sumbangan. Artinya, tidak ada paksaan, tidak ditentukan jumlah nominalnya, dan waktu pembayarannya menyesuaikan dengan kesanggupan setiap orang tua/wali murid.
Muncul pertanyaan kembali, kalau tidak ditentukan jumlah nominalnya kapan mau cukup untuk memberi sebuah perahu bermesin (ketek)? Perlu diketahui bahwa sebelum melakukan penggalangan dana, komite sekolah harus menyampaikan proposal atau perencanaan terlebih dahulu kepada masyarakat dan orang tua tentang: alasan penggadaannya, spesifikasi jenis dan bentuk alat transportasi yang akan diadakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk pengadaan itu sehingga estimasi harga perahu ketek itu sudah dikatahui oleh orang tua (wali murid).
Terakhir setelah menyampaikan proposal, melakukan penggalangan dana, maka komite sekolah harus melaporkan kepada masyarakat dan orang tua tentang penggunaan dana tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tidak cukup sampai di situ, dampak dari penggalangan dana sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengadaan perahu ketek untuk transportasi siswa menuju sekolah harus dapat dirasakan secara konkret.
Ilustrasi atau contoh di atas merupakan salah satu bentuk nyata implementasi peran komite sekolah dalam penyelenggaran sekolah sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2016. Tentu saja asas transparasi dan akuntabel harus dijunjung tinggi. Transparansi atau keterbukaan harus diutamakan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan akuntabel akan membuktikan bahwa dana yang digalang komite sekolah melalui sumbangan itu betul-betul dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai akhir tulisan ini dapat ditarik benang merah bahwa peran komite sekolah dalam memajukan pendidikan sangat diperlukan sepanjang penyelenggaraannya sesuai dengan regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah. Komite sekolah yang “sehat” akan berdampak pada kemajuan sekolah dan berdampak pada peserta didik sebagai anak bangsa. Komite sekolah bukan perpanjangan tangan dari kepala sekolah yang menjadi “stempel” untuk memungut sumbangan yang tidak jelas dari orang tua/wali murid. Mari kita majukan dunia pendidikan kita untuk menghasilkan generasi penerus bangsa dan mari kita perkuat peran serta kita (selaku anggota masyarakat dan orang tua) melalui peran serta komite sekolah yang sehat. ****