Oleh: Retno Purwaningtias S.IP (Aktivis Muslimah)
“Letih takkan sanggup runtuhkan ruh-ruh muda yang miliki asa mengangkasa. Peluh takkan jadi sandungan saat cita terus melengking memecah semesta. Ragu takkan hadir saat tekad berteriak lantang menamparnya; mereka yang katanya wakil para jelata.”
Sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya bahwa tak ada kebangkitan suatu bangsa tanpa kiprah kaum muda di dalamnya. Dinamika kejayaan-keterpurukan sebuah bangsa juga tak pernah lupa menempatkan peran pemuda atau mahasiswa sebagai pemimpin perubahan menyambut kejayaan.
Tapi apa yang terjadi hari ini? “Lulus cepat, langsung kerja”. Sekadar itulah yang pemerintah harapkan pada mahasiswa hari ini. Sehingga yang terjadi hanyalah penanggalan peran penting mahasiswa sebagai pengabdi masyarakat yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Orientasi mahasiswa masa kini lebih pragmatis ketimbang idealis. Ditambah lagi budaya individualis yang terus mengakar dalam sistem kehidupan masyarakat yang kapitalis.
Fenomena ini dapat kita rasakan saat para mahasiswa melakukan aksi demo penolakan undang-undang cipta kerja beberapa waktu lalu. Pemerintah dan pengusaha menunjuk-nunjuk bahwa aksi yang mereka—mahasiswa— lakukan adalah keliru. Mahasiswa yang terlibat aksi turun jalan diancam dengan nilai akademis hingga ditakut-takuti akan kehilangan kesempatan kerja setelah lulus dari bangku kuliah.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, undang-undang cipta kerja dibuat untuk menciptakan lapangan kerja yang manfaatnya bisa dirasakan para mahasiswa. Menurutnya, undang-undang cipta kerja dapat memudahkan para mahasiswa mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Sehingga ia heran bila ada segelintir mahasiswa yang menentang Omnibus Law. (finance.detik.com, 08/10/2020).
Lebih mengejutkan lagi saat mengetahui bahwa pemerintah telah melakukan pengkerdilan potensi mahasiswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan mahasiswa untuk tidak ikut aksi demo Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja. Bahkan, para dosen diimbau untuk tidak memprovokasi mahasiswanya terkait undang-undang tersebut. Surat edaran tersebut termuat dalam surat nomor 1035/E/KM/2020. (tasikmalaya.pikiran-rakyat.com, 11/10/2020).
Pemerintah juga mengatakan bahwa demo yang terjadi adalah demo bersponsor dan mengklaim tahu siapa dalang yang menggerakkan aksi demo. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV. (finance.detik.com. 08/10/2020).
Mahasiswa dalam Sistem Kapitalis Berorientasi Pragmatis
Dalam sistem kapitalis, pemuda dilahirkan menjadi manusia-manusia yang individualis. Sebagaimana kapitalisme yang mendefinisikan masyarakat sebagai sebuah kumpulan individu yang hidup bersama. Berdasarkan pandangan seperti ini, kapitalis menetapkan banyak solusi untuk berbagai masyarakat. Memandang masyarakat sebagai satu entitas tersendiri yang terpisah. Akan selalu ada produk hukum yang cocok dan dipandang layak bagi sebuah masyarakat, namun tidak cocok bagi masyarakat lainnya. Contohnya seperti undang-undang Ominibus Law ini.
Mahasiswa disuruh duduk manis menikmati materi di kelas. Diiming-imingi nilai akademik yang bagus sehingga setelah lulus akan gampang cari kerja. Mereka dilarang ikut turun ke jalan mengawal suara rakyat yang nasibnya diabaikan oleh para wakil jelata. Padahal Menjauhkan mahasiswa dari rakyat sama seperti menjauhkan ikan dari lautan luas. Orientasi pragmatis pemerintah dalam mengkonstruk eksistensi mahasiwa bertujuan memandulkan peran mereka dalam membersamai masyarakat untuk menyuarakan perubahan. Membentuk mahasiswa yang tidak peduli dengan perubahan yang lebih baik. Menghilangkan nilai-nilai idealis mahasiswa sebagai intelektual organik.
Sangat jelas bahwa kapitalisme adalah sebuah ideologi yang tidak layak untuk dijadikan landasan kebangkitan para generasi muda dalam menyuarakan perubahan. Sistem ini hanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pihak yang berkepentingan—dalam hal ini omnibus law hanya merepresentasikan kepentingan para kapitalis.
Membungkam Saluran Aspirasi, Padahal Omnibus Law Bermasalah
Unjuk rasa muncul karena adanya ketidakpuasan rakyat atas kerja pemerintah. Demo tolak Omnibus Law ini terjadi juga bukan tanpa sebab. Kecurigaan timbul karena pengesahan undang-undang ini dinilai sangat tergesa-gesa di tengah pandemi. Seperti kejar target, pengesahannya dilakukan secara diam-diam di tengah malam. Alhasil banyak yang menolak karena ada pasal-pasal yang merugikan rakyat. Tercium adanya perselingkuhan antara pengusaha dan pemerintah dalam undang-undang Ciptaker.
“Jika ada sejumlah intelektual yang menilai sebuah produk hukum bermasalah, maka akan ada ribuan massa turun ke jalan. Artinya, sudah pasti ada yang keliru dalam produk hukum itu dalam melihat nasib rakyat. Ini semua menjadi tanggung jawab kita bersama. Di atas segalanya: Suara rakyat tidak boleh dibungkam!” (Soeyanto Soe, pemerhati ruang publik, dalam artikel yang berjudul “Demonstrasi dan Kemarahan Rakyat”, rmol.id, 09/10/2020).
Tak heran. Sistem kapitalis selalu berusaha membungkam semua saluran untuk melawan kedzaliman. Aksi turun jalan bersama masyarakat yang merupakan bentuk ekspresi mahasiswa sebagai intelektual organik tidak diapresiasi. Ancaman nilai akademis hingga kehilangan kesempatan kerja menunjukkan bahwa di sistem ini mahasiswa telah kehilangan independensinya untuk membantu menyuarakan aspirasi rakyat yang diabaikan oleh pemerintah.
Mereka—kapitalisme—menganggap masyarakat sebagai sesuatu yang tidak penting dan meletakkan berbagai solusi hanya untuk individu-individu saja. Sehingga kedaulatan tertinggi terdapat pada individu bukan pada masyarakat ataupun negara. Masyarakat menjadi sesuatu yang tidak penting atau terabaikan. Sedangkan negara menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sebuah perangkat yang melindungi kebebasan dan kebahagiaan individu. (‘Athiyat, Ahmad, 2010: 102).
Tidak Ada Korelasi Antara Peran Mahasiswa dengan Narasi Penyediaan Lapangan Kerja dan Kesempatan Kerja
Kapitalisme memandang bahwa hubungan antara masyarakat dengan pemerintah hanya didasarkan pada asas untung rugi. Hitung-hitungan nilai ekonomis, mengganggap masyarakat sebagai beban negara, merasa keberatan jika kebutuhan mereka harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.
Dalam kasus demo ini, seolah-olah mahasiswa disuruh berjuang untuk mengadu nasibnya sendiri setelah lulus dari bangku kuliah. Padahal dalam UUD NKRI 1945 pasal 27 ayat 2 berbunyi, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban atas hak-hak mahasiswa untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari bangku kuliah. Bukan bergantung penuh pada peran pengusaha kapitalis yang kerap kali arogan atas alat-alat produksi yang mereka kuasai. Sehingga tidak ada hubungan antara peran mahasiswa sebagai agen perubah dengan kesempatan kerja yang didapat setelah lulus kuliah.
Narasi pengusaha dan pemerintah yang menakut-nakuti mahasiswa dengan kesempatan dan lapangan kerja sangat tidak berkorelasi. Karena masalahnya bukan terletak pada ketersediaan lapangan kerja, namun pada tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajibannya.
Sudah Saatnya Mahasiswa Memperjuangkan Sistem Terbaik
Terkait prokontra Omnibus Law, kita harus belajar mengenai relasi hubungan penguasa-rakyat dalam sebuah negara. Jihad atau sikap perlawananlah yang memerdekakan sebuah bangsa. Kalau tak ada lagi semangat jihad dan pembelaan ketika sebagian rakyat diabaikan nasibnya, kita tak pantas menyebut bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka. Untuk itulah kita semestinya harus mengembalikan semangat jihad generasi muda. Mereka berperan sebagai agen perubahan karena merekalah pemilik masa depan.
Oleh sebab itu pemuda harus mengembalikan idealismenya sebagai agen perubah. Namun hal ini akan sulit terwujud apabila negara masih dicengkeram oleh sistem kapitalis. Maka dibutuhkan sebuah sistem yang lebih baik—bahkan terbaik—yang mampu melahirkan generasi-generasi cemerlang, yaitu sistem Islam.
Kenapa harus islam? Karena Islam adalah seperangkat aturan yang diturunkan oleh Allah dengan begitu sempurnanya untuk mengatur kehidupan manusia. Mulai dari sistem ekonomi, hukum, sampai sistem politik dan pemerintahan semuanya diatur dalam islam.
Sistem pemerintahan islam akan bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakatnya. Islam memandang masyarakat tidak hanya sekadar kumpulan-kumpulan individu saja. Namun kumpulan individu itu harus memiliki kesamaan pemikiran, kesamaan perasaan dan kesamaan aturan. Harus ada kepentingan atau tujuan yang sama di antara pihak-pihak yang membentuk kumpulan-kumpulan itu. Tidak ada yang boleh diuntungkan sendiri atas sebuah kepentingan. Begitu pula sebaliknya, tidak ada yang boleh dirugikan atas kepentingan yang lain. Jika kondisi tersebut ada dalam sebuah negara, maka kumpulan itu tak layak dianggap sebagai masyarakat.
Dengan demikian sistem islam ini pantas untuk diperjuangkan. Tak akan ada mahasiswa yang diancam tidak mendapatkan pekerjaan karena ikut menyuarakan aspirasi masyarakatnya. Tak akan ada masyarakat yang tidak sejahtera karena tiga kebutuhan pokok masyarakat akan dipenuhi oleh negara secara cuma-cuma; kesehatan, pendidikan dan keamanan. Selanjutnya akan ada keseimbangan dalam pemerataan distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat. Para pemilik modal juga tidak bisa menguasai barang dan jasa secara sepihak. Kehidupan umat tidak akan susah. Kesenjangan sosial akan musnah. “Imam (kepala negara) itu bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya.” (HR. Muslim).
Islam melahirkan generasi cemerlang tanpa mengkerdilkan potensi mahasiswa sebagai intelektual organik. Sejarah Islam telah mencatat kehebatan generasi muda Islam tangguh yang dididik dari sistem Islam. Salah satunya ialah Muhammad Al Fatih yang ketika berusia 21 tahun telah dipercaya menjadi gubernur ibukota. Tak hanya itu, Muhammad Al Fatih bahkan mampu mengukir prestasi besar, yaitu menaklukkan konstantinopel saat masih berusia 23 tahun.
Bukan hal yang mustahil bahwa sistem islam ini mampu menjadikan para mahasiswa sebagai generasi muda yang mempunyai sifat dasar dinamis, inovatif, progresif dan idealis dengan semangat jihadnya. Kita bisa melihat betapa beraninya para remaja dan pemuda Palestina dalam berjihad melawan Israel yang telah lama ingin merampas tanah mereka. Anak yang masih berusia 13 tahun pun ikut bersuara tak gentar melawan penjajah negaranya. Mereka serentak mengatakan lebih baik mati untuk mengusir serdadu israel daripada hidup di atas kekuasaan mereka—Israel. Apa itu terjadi begitu saja? Tentu tidak. Sistem islamlah yang telah mendidik mereka menjadi pejuang tangguh.
Begitu besar potensi yang dimiliki para pemuda. Mereka menjadi aktor utama dalam menyuarakan perubahan. Dapat kita lihat perbedaan generasi muda yang dibesarkan oleh sistem kapitalis dan generasi muda yang dididik dalam sistem islam. Sistem islamlah yang akan mampu melahirkan intelektual organik. Para generasi yang dapat mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240).
Untuk itu mahasiswa harus disadarkan untuk memperjuangkan sistem terbaik ini. Karena kapitalisme telah terbukti mengerdilkan peran mereka dan membentuk mereka menjadi pragmatis dan tidak peduli dengan masa depan bangsanya sendiri. Maka sudah jelas kapitalisme tidak perlu dipertahankan lagi. Sistem islam menjadi alternatif solusi untuk melahirkan para generasi cemerlang; para intelektual organik yang dapat mewujudkan peradaban bangsa gemilang di masa mendatang.
Seorang pemikir Mesir, Musthafa Kamil, pernah mengatakan, “Pemuda yang tidak punya ruhul jihad, matinya lebih baik daripada hidupnya”. *