
Oleh : Khurunninun
Di tengah dinamika sosial yang terus berkembang, permasalahan terkait penyimpangan seksual seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) telah menjadi isu sensitive di banyak daerah Indonesia, termasuk di Ranah Minang. Berbagai pihak, termasuk kalangan pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat umum, mulai mengajukan solusi melalui kebijakan dan peraturan daerah (Perda) untuk menanggulangi fenomena ini. Namun, hal ini tak lepas dari perdebatan mengenai efektivitasnya, terutama jika dilihat dari prespektif hukum di sistem kapitalis yang berlaku serta nilai hukum lokal yang terkandung dalam filosofi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
Seperti yang dilansir dari REPUBLIK.CO.ID, PADANG-Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sedang mengkaji rencana pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas penyakit Masyarakat terutama lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Ranah Minang. “DPRD” Sumbar sedang mengkaji kemungkinan pembentukan perda terkait LGBT,” kata Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumbar Nanda Satria di Padang, Sumatra Barat, Sabtu (4/1/2025).
Menurut Nanda, saat ini terdapat daerah di Provinsi Sumbar yang sudah lebih dulu.membuat perda pemberantas LGBT. Oleh karena itu, DPRD menilai pemerintah provinsi juga perlu melakukan hal serupa. Langkah ini diharapkan bisa menjadi sebuah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat di daerah yang dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
LGBT di Ranah Minang
Ranah Minang, yang terletak di Sumatra Barat, dikenal sebagai daerah dengan nilai- nilai adat dan budaya yang masih kuat. Masyarakat Minang memegang teguh prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang berarti bahwa adat (kebiasaan) harus berlandaskan pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Nabi Muhammad SAW. Prinsip ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Minang sangat terikat dengan ajaran Islam yang mendalam, yang secara jelas menentang perilaku LGBT sebagai penyimpangan dari ajaran agama Islam. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al- Tirmidzi dan Abu Daud, disebutkan: “Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), baik yang melakukan maupun yang disuruh melakukannya.” (HR. Al- Tirmidzi dan Abu Dawud).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena LGBT mulai mencuat dan mendapat perhatian yang cukup besar, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, maupun masyarakat luas. Banyak pihak yang khawatir bahwa penyebaran ide terhadap LGBT akan merusak tatanan sosial yang telah ada, serta pastilah bertentangan dengan aturan agama yang dijunjung tinggi oleh seluruh umat muslim. Maka dari itu munculah respons terhadap hal ini, wacana untuk membentuk peraturan daerah ( perda) yang dapat mengatur dan menanggulangi penyebaran perilaku LGBT di daerah tersebut. Tentu saja keinginan adanya peraturan untuk memberantas LGBT adalah keinginan yang baik. Namun hal ini tidak akan efektif.
Sudah begitu banyak Perda syariah yang dibuat daerah tetapi terus menerus dipermasalahkan oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan ada yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi dalam sistem demokrasi sekuler, bukan aturan Islam yang menjadi acuan, tetapi HAM.
Yang mana pada sistem kapitalis sekuler berfokus pada kebebasan individu dan bertolak ukurnya hanya pertimbangan dari manfaat belaka, sering kali tidak mampu mengatasi persoalan sosial seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Justru, dalam banyak kasus, sistem ini cenderung memperluas penyebaran perilaku LGBT di kalangan masyarakat.
Bisakah Sistem Sekuler Memberantas LGBT?
Di dalam sistem kapitalis, adanya undang- undang untuk mengatur kebebasan individu yang mana setiap orang dipandang memiliki hak penuh untuk menentukan identitas, pilihan hidup, dan orientasi seksualnya. Hal ini berakar dari pandangan bahwa kebebasan pribadi adalah nilai fundamental yang harus dihormati, tanpa adanya campur tangan dari agama, moralitas, atau norma sosial yang lebih besar.
Kebebasan yang tidak dibatasi oleh agama atau etika sosial menyebabkan pelaku LGBT, yang dalam pandangan agama dan budaya dianggap sebagai penyimpangan, diterima sebagai bagian dari hak pribadi. Dalam kerangka kapitalisme sekuler, jika seseorang merasa bahwa orientasi seksual mereka adalah pilihan pribadi yang sah, maka mereka akan merasa diberi kebebasan untuk mengekspresikan dan mempromosikan gaya hidup tersebut tanpa merasa terbatasi. Kebebasan ini, sering kali dijamin oleh hukum di sistem yang berkuasa sekarang ini, justru mendorong penyebaran faham LGBT, karena tidak ada batasan moral yang jelas untuk menanggulanginya.
Selain itu di sistem kapitalis ini yang bertolak ukur dengan kemanfaatan semata, mereka akan mengutamakan dan sangat bergantung pada keuntungan ekonomi dan komersialisasi, segala sesuatu yang memiliki potensi pasar. Ketika suatu fenomena, seperti LGBT mulai diterima secara sosial, banyak perusahaan dan entitas bisnis melihatnya sebagai peluang untuk menciptakan pasar baru. Media, hiburan, fashion, produk, dan bahkan perayaan seperti “Pride Month” (Bulan Kebanggaan LGBT) Menjadi komoditas yang dapat dimandatkan untuk keuntungan ekonomi.
Imbasnya akan timbul juga penyakit-penyakit seksual yang menular. Bukan untuk dijadikan renungan,di sistem kapitalisme malah cenderung melihat setiap aspeknya sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Dalam konteks LGBT, ini bisa dilihat dari bagaimana identitas seksual dan bahkan isu-isu terkait Kesehatan seksual dapat dipasarkan. Produk-produk yang berkaitan dengan LGBT, seperti pakaian dengan simbol LGBT, obat-obatan, serta sebagai layanan yang menyasar komunitas LGBT, menjadi bagian dari pasar global. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalis sekuler, penyimpangan sosial seperti LGBT tidak akan pernah dapat diberantas secara efektif.
Solusi Dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler, Islam menawarkan solusi yang lebih komprehensif dan berbasis pada syariat Islam yang pastinya sesuai dengan fitrah manusia. Dalam menjawab persoalan ini, Islam tidak hanya memberikan panduan tegas mengenai larangan terhadap perilaku LGBT, tetapi juga memberikan solusi konkret dalam bentuk pencegahan dan penanganan jika penyimpangan ini sudah terjadi dalam masyarakat. Semua ini didasarkan pada prinsip syariat Islam yang mengedepankan pemeliharaan umat manusia dan penghindaran dari kemaksiatan.
Islam memberikan perhatian besar pada pencegahan perilaku penyimpangan seksual dangan berbagai cara. Pendidikan agama adalah fondasi utama dalam membentuk pemahaman Islam. Kesadaran individu, masyarakat yang taat hingga negara yang menerapkan hukum-hukum Allah. Pada aspek individu, Islam menanamkan seseorang sejak usia dini diajarkan tentang nilai- nilai keimanan, penanaman Aqidah yang benar, dan fitrah manusia yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Dengan memandang keluarga sebagai Lembaga pertama yang harus menanamkan akidah Islam, termasuk mengenai gender, hubungan antara laki-laki dan Perempuan, konsekuensi dari penyimpangan seksual.Serta mengajarkan pergaulan dalam Islam.
Di sistem Islam juga akan membangun lingkungan masyarakat yang memiliki karakter taat kepada Allah dan saling amar makruf nahi munkar. Untuk disadarkan pada benak masyarakat dengan memberikan edukasi mengenai pengaruh negatif LGBT bahwa perilaku tersebut adalah sebuah penyimpangan dan sesuatu perbuatan maksiat kepada Allah SWT.
Dalam sistem Islam, negara juga memiliki peran yang sangat besar dalam memberantas penyimpangan LGBT. Negara tidak hanya berfungsi sebagai pengatur kehidupan administrasi dan ekonomi, tetapi juga sebagai perisai dari pengaruh-pengaruh buruk yang mengancam umatnya. Melalui pengaturan pendidikan agama dan penanaman Aqidah yang kuat, juga negara mengatur dan mengawasi konten yang beredar di masyarakat,sehingga menutup cela akses terhadap konten media yang mempromosikan perilaku LGBT, menerapkan kebijakan sosial, serta penegakan hukum bagi pelaku berupa hukuman Hudud maupun takzir oleh negara.
Hanya negara lah yang bisa berperan untuk melakukan hukum-hukum Allah, seperti hukuman Allah untuk pelaku LGBT dalam hadits yang diriwayatkan: “Barang siapa yang kamu temui melakukan perbuatan seperti perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang melakukan perbuatan tersebut dan yang menyaksikannya.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini menggarisbawahi larangan keras terhadap perilaku penyimpangan seksual, selain mereka akan mendapatkan laknat Allah juga akan memperoleh sanksi oleh negara yang menerapkan syariat Islam.
Kesimpulan
Dalam menghadapi perilaku LGBT, system kapitalis dengan peraturan daerahnya yang tidak akan efektif karena dibatasi oleh prinsip kebijakan individu dan kebijakan yang condong oleh ases kemanfaatan. Sebaliknya, hanya Islam yang memiliki hukum jelas dalam memecahkan problematika umat manusia dan memiliki aturan yang bisa menghantarkan manusia berjalan sesuai fitrahnya. Serta menutup rapat setiap celah yang akan membuka pelanggaran hukum syariah. Wallahua’lam ….


