
Oleh : Kak Ada
Skandal yang terjadi di Kota Prabumulih, Sumatra Selatan menunjukkan potret buram birokrasi negeri ini. Berdasarkan laporan Liputan6.com (13 Mei 2025).
Enam aparatur sipil negara (ASN) terbukti tidak masuk kerja selama lebih dari dua tahun, bahkan salah satunya membolos hingga 10 tahun. Ironisnya, mereka tetap menerima gaji secara rutin. Fakta ini terungkap usai Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Prabumulih melakukan inspeksi mendadak di sejumlah instansi pemerintah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Rini Widyantini, menyatakan bahwa ada dugaan kuat pejabat pembina kepegawaian (PPK) menyembunyikan data kepegawaian dan turut serta dalam proses pencairan gaji mereka.
Rini menegaskan bahwa bukan hanya ASN yang bersangkutan yang akan disanksi, namun juga PPK yang dianggap lalai atau terlibat dalam manipulasi data. Bahkan, Kepala BKN diminta untuk menelusuri potensi pelanggaran serupa di instansi lainnya di seluruh Indonesia.
Fakta ini bukan sekadar catatan pelanggaran administratif, tapi sebuah tamparan keras bagi nurani bangsa. Bagaimana mungkin di sebuah negara yang mengklaim telah digitalisasi birokrasi, ada PNS yang bisa menghilang selama satu dekade dan tetap digaji dari uang rakyat? Ini mencerminkan kerusakan sistem yang bukan lagi bersifat teknis, tapi sudah membusuk dari dalam. Ada pembiaran, ada manipulasi, dan ada pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ini bukan hanya soal hukum atau peraturan yang dilanggar. Ini soal nilai, soal integritas, soal betapa rendahnya penghargaan terhadap kejujuran dalam sistem yang ada saat ini. Keadilan sosial dan penghormatan terhadap amanah publik telah diludahi oleh mereka yang seharusnya menjaganya. Sementara rakyat kecil bekerja keras demi sesuap nasi, ada segelintir oknum ASN yang hidup nyaman tanpa bekerja, dilindungi oleh sistem yang korup dan rusak.
Fakta ini mencerminkan kerusakan sistemik dalam tata kelola birokrasi yang berakar pada sistem demokrasi sekuler.
Pertama, dari sisi pengawasan, jelas terlihat lemahnya kontrol internal yang seharusnya menjadi pondasi dasar dalam sistem kepegawaian. Di era digital seperti sekarang, seharusnya tidak ada alasan teknis untuk tidak mengetahui keberadaan pegawai. Dengan sistem absensi elektronik, laporan kehadiran otomatis, dan database pegawai yang bisa diakses kapan saja, absennya pegawai hingga 10 tahun tanpa terdeteksi menunjukkan adanya kelumpuhan fungsi pengawasan yang disengaja atau dibiarkan. Hal ini menjadi indikasi bahwa sistem pengawasan birokrasi saat ini bisa dipermainkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu.
Lebih jauh, ini bukan sekadar soal kelalaian teknis. Ini adalah bentuk dari budaya permisif dan lemahnya moral birokrasi yang muncul akibat sistem sekuler. Dalam sistem ini, agama dipisahkan dari kehidupan, termasuk dari urusan pekerjaan. Akibatnya, nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab hanya menjadi slogan, bukan landasan hidup. ASN dalam sistem sekuler tidak melihat pekerjaannya sebagai ibadah atau tanggung jawab moral kepada Tuhan, melainkan hanya sarana untuk mendapatkan gaji. Inilah mengapa mereka bisa bolos bertahun-tahun tanpa merasa bersalah. Sistem ini menjadikan profesi ASN sebagai jalan mencari materi semata, bukan sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat atau pengabdian kepada bangsa. Orientasi duniawi semata telah merusak semangat pengabdian dan melahirkan birokrasi yang korup, malas, dan oportunistik.
Kedua, demokrasi sebagai sistem pemerintahan justru membuka peluang terjadinya praktik-praktik manipulatif dalam birokrasi. Dalam sistem ini, jabatan tidak lagi dilihat sebagai sarana pengabdian kepada rakyat, tetapi sebagai alat tukar politik. Orang bisa mendapatkan posisi ASN karena hubungan keluarga, balas jasa politik, atau transaksi uang. Akibatnya, profesionalisme dan integritas bukan lagi ukuran utama. Justru yang banyak terjadi adalah praktik nepotisme dan kolusi.
Demokrasi tidak menjamin keadilan dalam rekrutmen dan pembinaan ASN. Sistem ini hanya memoles wajah birokrasi dengan slogan meritokrasi, padahal pada kenyataannya banyak jabatan strategis yang diisi bukan berdasarkan kapabilitas. Dalam atmosfer seperti ini, wajar jika banyak ASN yang hanya mengejar gaji dan tunjangan. Profesi ASN berubah menjadi lahan ekonomi yang diidolakan, bukan karena semangat melayani, tetapi karena jaminan pensiun, tunjangan tetap, dan kestabilan ekonomi. Sistem sekuler memang menjadikan jabatan ASN sebagai sumber materi, bukan sebagai ladang pengabdian.
Sistem Islam Kaffah sebagai Jalan Keluar
Islam memiliki sistem pemerintahan dan manajemen sumber daya manusia yang menyeluruh (kaffah), yang jika diterapkan mampu mencegah kasus seperti ini sejak awal.
Pertama, dalam Islam kekuasaan adalah amanah, bukan privilege. Setiap penguasa, termasuk ASN, adalah pelayan umat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya,” (HR. Bukhari dan Muslim).
ASN dalam sistem Islam akan bekerja bukan karena takut atasan atau sanksi administratif, tapi karena kesadaran ruhiyah bahwa setiap perbuatan akan diperiksa Allah.
Kedua, sistem kontrak kerja dalam Islam diatur dalam akad ijarah. Seorang pekerja berhak menerima upah hanya jika telah memberikan jasa yang disepakati. Dalam Nidzamul Iqtishodi fil Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa upah tidak boleh diberikan jika pekerjaan tidak dilakukan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem sekarang yang memungkinkan ASN tidak hadir tetapi tetap digaji.
Ketiga, negara dalam sistem Khilafah memiliki sistem pendataan dan pengawasan yang terpusat di Baitul Mal. Semua data ASN dan aktivitasnya akan termonitor secara real-time melalui sistem yang mandiri dan terintegrasi. Negara Islam juga memiliki struktur pengawasan seperti Qadhi Hisbah yang bertugas mengontrol administrasi dan menindak setiap bentuk pelanggaran secara langsung dan cepat tanpa intervensi politik.
Keempat, Khilafah bukan hanya negara dengan sistem hukum yang tegas, tetapi juga menciptakan kesejahteraan ekonomi yang luas, sehingga ASN bukan satu-satunya sumber penghidupan yang diidolakan masyarakat. Islam membuka lapangan kerja melalui distribusi kekayaan yang adil, pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, dan pengembangan industri strategis.
Dengan sistem seperti ini, bukan hanya kebocoran anggaran bisa dicegah, tapi juga lahir ASN yang berkualitas, jujur, dan amanah.
Kasus ASN fiktif di Prabumulih adalah alarm keras bagi bangsa ini. Perlu ada evaluasi sistemik, bukan sekadar sanksi administratif. Demokrasi sekuler terbukti gagal membangun birokrasi yang bersih dan amanah. Solusinya adalah dengan kembali kepada sistem Islam secara kaffah, yang mampu menyinergikan spiritualitas, keadilan, dan profesionalisme dalam satu kesatuan utuh. Sebab hanya dengan sistem yang dibangun di atas wahyu, manusia bisa bekerja dengan penuh tanggung jawab, dan negara bisa berdiri tegak di atas keadilan sejati.
Solusi menyeluruh ini hanya bisa terwujud jika negara menerapkan sistem Khilafah sebagai institusi pelaksana syariat Islam secara menyeluruh. Khilafah akan membentuk aparatur negara yang tidak hanya profesional tetapi juga memiliki kesadaran ruhiyah tinggi dalam menjalankan amanah. Dalam bingkai Khilafah, jabatan adalah beban tanggung jawab, bukan tempat mencari kekayaan. Dengan penerapan Islam kaffah dalam institusi Khilafah, maka kecurangan sistemik seperti ASN fiktif akan sirna karena sistem itu sendiri dibangun atas dasar takwa dan pengawasan Ilahiah yang sempurna. ***
