
Oleh: Hj. Padliyati Siregar ST
Di era pemerintahan Jokowi, Indonesia ingin dijadikan rumah yang semakin ramah bagi investor. Demi investasi, pemerintah merancang setidaknya tiga payung hukum yaitu RUU Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan Usaha Kecil Mikro, dan Menengah (UMKM) dengan tujuan menghapus hambatan masuknya investasi. Namun RUU Cilaka ternyata juga bermaksud memperluas sistem tenaga kerja fleksibel yang sudah pasti merugikan kesejahteraan buruh.. Apalagi Jokowi sempat memberikan pidato yang sangat lantang dan tidak segan “menggigit” siapa saja yang menghalangi program tersebut.
Pemerintah juga memanjakan para pengusaha dengan menghapus pidana perburuhan dan menggantinya dengan sanksi perdata berupa denda dan sanksi administrasi.
Semua ini dilakukan demi investasi. Padahal, Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang ditolak mayoritas serikat buruh saja tidak berdampak banyak terhadap masuknya investasi.
Investasi yang digenjot untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sejatinya adalah hanya untuk menyelamatkan krisis kapitalisme dan hanya menguntungkan para pemodal.
Padahal sudah banyak penolakan dari serikat pekerja dan juga pernyataan dari para pakar bahwa sejatinya Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) dinilai merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Oleh karena itu, organisasi rakyat dan lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak Omnibus Law RUU Cilaka.
“Omnibus Law RUU Cilaka, aturan berwatak kolonial. Melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan,” kata narahubung FRI, Arip Yogiawan, dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (30/1/2020).
Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) di tengah mewabahnya virus corona juga mendapat kritikan dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah.
“Yang kita sayangkan adalah memaksa pembahasan undang-undang cipta kerja, itu sama seperti berpesta di tengah duka. Mengapa DPR dan Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi memaksakan pembahasan undang-undang ini, di tengah upaya kita melawan virus corona,” jelasnya.
Dia menambahkan, hal ini tentu menjadi pertanyaan besar. Ternyata, kata dia, karakter dan wajah negara saat ini baik pemerintahan termasuk Senayan tampak lebih memihak pada kepentingan pemodal asing dibanding fokus pada penyelesaian wabah Virus Corona.
Pria yang akrab dipanggil dengan Castro ini menilai, di tengah wabah yang dihadapi saat ini, masyarakat tidak boleh luput atau lupa dengan rancangan undang-undang cipta kerja, yang menjadi salah satu bagian dari proses penyusunan undang-undang dengan menggunakan pendekatan omnibus law.
Baik DPR maupun Pemerintah, kata dia, sama sekali tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan terhadap situasi yang sedang dihadapi Rakyat Indonesia. Mereka, ia sebut seperti sedang “berpesta” di tengah duka.
“Beginilah wajah asli mereka yang cenderung lebih memilih patuh terhadap para pemodal yang menghendaki RUU itu segera disahkan, dibanding peduli dengan nasib Rakyat Indonesia yang sedang berjibaku melawan virus mematikan ini. Setidaknya hal ini membuktikan jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah membunuh kewarasan. Membunuh jiwa kemanusiaan para penghuni Istana dan Senayan,” pungkasnya.
Tentu ini mengundang masalah baru karena protes rakyat justru membuat pemerintah kesulitan membendung dampaknya, rakyat tidak mengikuti aturan dan kepercayaan terhadap pemerintah makin lemah. Sementara dalam islam kepatuhan rakyat terhadap aturan dan kepercayaan kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban.
Sistem Islam Menghasilkan Kepatuhan Terhadap Pemimpin
Allah SWT menciptakan makhluk dan memberinya kecenderungan sosial dan fitrah dasar agar saling memiliki keterikatan di antara mereka.
Atas dasar kecenderungan dan fitrah tersebut, manusia tidak dapat “hidup” kecuali dengan berkelompok agar kebutuhan dan kepentingan mereka saling terlindungi, terselamatkan, saling bantu dalam kebaikan dan bekerjasama dalam menciptakan kepentingan bersama/umum.
Atas dasar itu pula, Allah SWT memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin yang telah dipilih di antara mereka.
Allah SWT menciptakan manusia dan memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya. Pemuliaan tersebut nyata dengan penganugerahan akal yang berfungsi sebagai pembeda antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta manfaat dan bahaya.
Allah SWT bahkan menambah anugerah akal itu dengan luapan kasih sayang-Nya yang tak terbatas melalui pengutusan para Rasul dan Alquran. Allah memerintahkan kepada manusia dalam firmannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59).
Mengapa Allah memerintahkan kita taat kepada pemimpin? Kalau taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah jelas, karena Rasullah yang menyampaikan pesan-pesan (risalah) Allah. Adapun pemimpin, apa gerangan alasan kita untuk taat?
Tentu ketaatan kepada pemimpin bukan berarti taat tanpa reserve dan sikap kritis karen Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin dalam melanggar perintahNya.
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)
Imam Asy-Syaukani berkata:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)
Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk.
Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri, pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati.
Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.
Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3).
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5).
Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195). Dalam Islam sangat jelas dengan dalil-dalil diatas bahwa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin merupakan sebuah kewajiban. ***


