Sistem Demokrasi Buat Cela Bagi Koruptor

0
580

Oleh : Padliyati Siregar ST

Komisi Hukum DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Rapat Paripurna dalam waktu dekat. Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (17/9) malam.

Salah satu poin strategis yang sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam Revisi UU Pemasyarakatan itu adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme.

Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Konsekuensinya, DPR dan pemerintah menyepakati penerapan kembali PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian pembebasan bersyarat.

“Kami berlakukan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang berkorelasi dengan KUHP,” kata Erma.

Tak hanya itu, dalam Pasal 43B ayat (3) PP 9/2012 itu mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.

Sedangkan, PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan ini tak mencantumkan persyaratan tersebut.

PP 32/1999 itu hanya menyatakan remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.
Lebih lanjut, Erma menjelaskan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999 dalam RUU Pemasyarakatan menjadikan pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.

“Jadi pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu,” katanya.

Erma menyebutkan hal tersebut sudah sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak.

Masalah korupsi di dunia khususnya Indonesia tidak pernah habis. Korupsi ialah menyalahgunakan atau penggelapan uang/harta kekayaan umum, (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktek korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintahan. Dalam istilah politik Bahasa Arab, korupsi sering di sebut”al fasad atau riswah”.

Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit kronis yang telah mewabah ke seluruh penjuru negeri, merebak ke semua lini sosial dan instansi pemerintah. Mulai yang paling bawah hingga ke tingkat yang paling tinggi.

Korupsi telah merugikan negara ini pada setiap anggaran belanja negara dan daerah, sehingga tidak kurang dari setengahnya berserakan dibagi-bagikan oleh para koruptor, untuk menjadi harta haram yang dikonsumsi oleh pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga mereka yang tidak berhak menikmatinya.

Kiranya wajar jika hari ini Indonesia masih menjadi bagian grup papan tengah negara-negara terkorup di dunia. Karena faktanya di negeri muslim terbesar ini korupsi memang nyaris menjadi budaya. Bahkan saat ini, nampak ada upaya mengeser nilai koruptif menjadi sebuah kewajaran. Atau setidaknya agar pelaku korupsi boleh mendapat pemakluman.

Fakta yang terjadi sangat ironis, KPK, misalnya mencata dari rentang 15 tahun yakni 2003-2018 ada 885 orang yang diproses hukum. Dari jumlah itu lebih dari 60 % adalah politis. Baik dari kalangan dewan maupun kalangan pemerintahan, termasuk kepala daerah.

Sementara di tahun 2019, hingga bulan Juni saja anggota DPR dan DPRD yang sudah terkena kasus korupsi ada 255 dan kepala daerah ada 110 kasus. Di luar itu ada 27 menteri dan kepala lembaga yang juga terjerat kasus, serta 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi setingkat eselon I, II, dan III.

Namun sangat disayangkan pemberantasan korupsi ini tidak terlihat sungguh-sungguh. Faktanya lembaga antikorupsi atau yang kita kenal dengan KPK justru berusaha untuk dilemahkan. Ini terlihat dari kasus pengesahan revisi UU KPK yang terkesan seperti kejar tayang untuk disahkan, sehingga memicu aksi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan memakan banyak korban.

Perlu sikap yang serius, bahwa fakta yang terjadi saat ini karena diterapkannya sistem sekuler demokrasi, yang meniadakan peran Sang Pencipta dalam mengatur kehidupan. Sehingga standar perbuatan jauh dari nilai halal haram. Yang ada hanyalah diukur dengan dasar manfaat dan kepentingan.

Inilah yang menjadi akar masalah, yang membuka cela bagi maraknya segala bentuk korupsi dengan segala jenisnya.

Ditambah lemahnya siatem hukum yang diterapkan oleh negara berikut penegakanya. Dimana sistem kapitalis demokrasi beranggapan bahwa manusia yang paling berhak untuk membuat hukum sesuai kebutuhannya.

Harus disadari system demokrasi lah yang meniscayakan korupsi. Wajar jika beberapa pihak mengkhawatirkan sistem demokrasi bakal menggiring negara menjadi kleptokrasi. Negara maling. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here