Subsidi Salah Sasaran

0
209

Oleh :Hj Padliyati Siregar ST

Pemerintah mengumumkan pemberian subsidi mobil listrik berlaku pada 1 April 2023. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Sedangkan subsidi motor listrik dan konversinya telah berlaku pada hari ini (20/3/2023).

“Selanjutnya, untuk KBLBB roda empat keatas termasuk bus, program yang kami sebut sebagai insentif fiskal akan diumumkan peluncuran kebijakannya tepat pada tanggal 1 April 2023,” ujarnya dalam konferensi pers, Jakarta, Senin.

“Pada kesempatan yang baik ini, dapat kami jelaskan bahwa kebijakan program bantuan pemerintah untuk KBLBB roda dua baik motor baru maupun motor konversi sudah dapat diluncurkan. Saat ini proses finalisasi tengah kami rampungkan bersama,” lanjut Luhut.

Dalam pelaksanaannya, program subsidi mobil listrik ini akan berlangsung secara bertahap “Kami akan bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk produsen KBLBB untuk memastikan keberhasilan program ini dan mendorong penggunaan KBLBB di seluruh Indonesia,” ucap Luhut.

Kata Luhut, pemerintah menyadari bahwa pengembangan ekosistem industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) merupakan sektor strategis yang memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, mempercepat inovasi, dan mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.

Wajar jika protes berdatangan dari berbagai kalangan. Anggaran pemerintah yang sudah defisit harus juga menyubsidi kendaraan listrik yang urgensinya masih banyak dipertanyakan. Alasan mengurangi emisi karbon tampak mengada-ngada karena justru industri sektor energilah yang paling banyak menghasilkan emisi karbon, di samping industri lainnya yang juga masih terus berproduksi. Lagi pula, mengurangi emisi karbon tidak harus dengan memberikan subsidi pada kendaraan pribadi. Justru jika ingin mengurangi dari sektor transportasi, transportasi umumlah yang seharusnya dibenahi.

Posisi Indonesia yang dipandang kuat di rantai nilai sumber daya mineral baterai ini pun patut dipertanyakan. Ini karena walaupun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, tetapi hampir 70% kepemilikannya malah dikuasai Cina. Belum lagi jika bicara kepemilikan perusahaan mobil milik asing, masa iya subsidi malah diberikan untuk mereka? Sebut saja Hyundai perusahaan otomotif milik Korea Selatan dan Wuling perusahaan milik Cina, keduanya ternyata telah resmi mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel pun mengajak para anggota dewan untuk menggunakan akal sehat dan nurani dalam bernegara agar bisa membedakan mana yang lebih prioritas, menyubsidi petani dan pertanian, ataukah menyubsidi mobil listrik dan pengusaha kaya? Bukankah seharusnya para petani yang seharusnya lebih berhak untuk dibantu?

Anies Baswedan juga turut bersuara. Menurutnya, selain subsidi ini tidak urgen dan membebani keuangan negara, ia memprediksi persoalan kemacetan pasti akan makin besar akibat penambahan unit kendaraan yang makin banyak.

Pertanyaannya, bukankah ini semua kontradiktif dengan banyak kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurai permasalahan kemacetan? Bahkan, salah satu alasan pemindahan ibu kota negara adalah karena macet.

Sementara ini, rakyat miskin harus membanting tulang dan memeras keringat untuk mendapatkan sesuap nasi. Mereka tak lagi mendapat bantuan, khususnya di masa pandemi.

Seharusnya pemerintah memperhatikan lebih dahulu korban PHK, mereka yang menganggur dan kesulitan mendapat kerja, sampai orang miskin. Karena dikhawatirkan terjadi kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sama-sama terdampak oleh pandemi. (trito.id, 9/8/2020)

Di satu kesempatan mengatakan tidak memiliki uang alias kehabisan uang, di kesempatan lain pemerintah menjanjikan bantuan uang dengan menggelontorkan dana bernilai fantastis.

Kepercayaan publik pada pemerintah sebenarnya terus merosot, menyebabkan pemerintah tetap berupaya meraih kepercayaan rakyat atas mereka lewat berbagai bantuan.

Inilah ciri khas kepemimpinan dalam kapitalisme. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru. Bahkan, keadilan menjadi sesuatu yang sulit didapat bagi rakyat yang merasakan dampak ekonomi akibat pandemi.

Subsidi dalam Islam

Islam berbeda dengan kapitalisme. Jika kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariat, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini.

Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah.

Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari baitulmal (kas negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya.

Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah).

Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya.

Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah).

Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59] : 7).

Nabi SAW telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi Saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004).

Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i. Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here