Oleh: Desi Anggraini (Pendidik Palembang)
Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Namun, kenaikan tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain secara global.
Selain menaikkan tarif, pemerintah batal mengenakan PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan usulan seluruh fraksi di DPR RI dan aspirasi masyarakat. Barang-barang yang tak dikenakan tarif PPN yakni barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, (Kompas.com, Kamis, 7/10/2021).
Pejabat negara dalam rezim kapitalistik terbiasa berkata sesuka hati tanpa memerhatikan kondisi rakyat. Mereka mewajibkan pajak, tetapi layanan fasilitas publik masih jauh dari kata baik. Jalanan banyak yang rusak, bahkan banyak sekolah yang hampir roboh dan tidak layak pakai. Ongkos pendidikan dan kesehatan melangit, tak terjangkau hingga rakyat pun menjerit. Pun makin marak saja yang putus sekolah dan putus kuliah.
Di sisi lain, pejabat negara miskin empati terutama di masa pandemi begini. Konsep pajak yang mereka gadang-gadang untuk kesejahteraan rakyat, nyatanya bohong belaka dan malah mempersulit kehidupan rakyat.
Dalam kepemimpinan rezim kapitalistik, berbagai macam jenis pajak terus bermunculan. Ada anggapan bahwa pemerintah yang berhasil mengumpulkan pajak paling banyak sebagai pendapatan negara, dianggap yang paling sukses. Kebijakan ini yang diadopsi oleh penguasa negeri. Padahal, Islam telah mengharamkan pajak sebagai sumber utama APBN.
Sumber utama APBN Islam ialah pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang masuk dalam kategori milik umum seperti barang tambang dan sumber daya alam lainnya, atau harta milik negara yang dikelola oleh BUMN. Pajak baru diberlakukan ketika negara benar-benar mengalami defisit. Pajak yang ditarik pun hanya ditujukan pada penduduk muslim yang kaya. Pajak digunakan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vital, dan menangani bencana. Sekali lagi, hal ini dilakukan ketika kas negara tidak cukup untuk membiayai dan bantuan sukarela yang diberikan kaum muslim tidak mencukupi (al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah, Abdul Qadim Zallum).
Sudah seharusnya negeri ini mengganti sistem ekonomi kapitalistik yang makin menyulitkan hidup rakyat. Selanjutnya menerapkan sistem ekonomi Islam yang tak membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Hidup rakyat sejahtera dan segala layanan fasilitas publik dipenuhi dengan baik.
Pemerintahan demokrasi kapitalistik hanya berisi para pejabat negara yang tak kreatif. Tak berpikir mencari solusi untuk kemaslahatan rakyat, miskin empati, dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka menjadikan utang sebagai instrumen pembangunan negara. Saat utang menumpuk, rakyat yang dijadikan sasaran empuk mendapatkan uang untuk melunasi.
Apakah sistem demokrasi kapitalistik seperti ini yang diharapkan mampu mengurusi rakyat? Justru yang terjadi, banyak rakyat mati sekarat, sesak napas, karena setiap tempat, bahan makanan, dan berbagai fasilitas publik dikenakan pajak. Publik hidup merana di negeri seribu macam pajak. Sungguh, amanah kepemimpinan sangat berat. Jika telah diangkat menjadi pemimpin rakyat tetapi justru tak peduli terhadap kebutuhan rakyat, Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan, dan kemiskinannya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan, dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan, dan kemiskinannya.”
”(HR at-Tirmidzi, Al Hakim, dan Ahmad) Ingatlah wahai para pemimpin umat, Rasul SAW juga bersabda, “Barang siapa yang ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan orang banyak, lalu ia menghindar dari orang yang lemah dan yang membutuhkan, Allah pasti akan menutup diri darinya di hari kiamat.” (HR Ahmad dan ath Thabrani). Wallaahu a’lam bis shawab