Tatap Muka yang Membuat Resah

0
505

Oleh : Irohima

Setahun lebih kita berkutat dengan pandemi yang belum menunjukkan sinyal kapan akan berakhir. Setahun ini juga kita masih berjibaku dengan tatanan kehidupan yang porak poranda akibat dampak dari Pandemi Covid-19. Selain ekonomi, pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat terpengaruh oleh adanya pandemi. Solusi Pembelajaran jarak jauh atau online yang dilakukan sebagai upaya menghindari penularan virus klaster sekolah nyatanya tidak bisa secara optimal mengatasi masalah ini, justru permasalahan menjadi melebar dan berkembang. Saat pembelajaran online yang sangat bergantung pada teknologi ditetapkan namun tak diiringi dengan kesiapan fasilitas maka yang akan terjadi adalah ketimpangan. Tidak semua daerah mempunyai akses internet, dan tidak semua pelajar memiliki perangkat gadget yang memadai, khususnya pelajar yang berada di pelosok daerah. Karena jangankan gadget, fasiltas listrikpun terkadang belum ada. Belum lagi sederet masalah stres yang menimpa pelajar bahkan orang tua terkait belajar online.

Di tengah berbagai persoalan dan di tengah status daerah yang tidak stabil. Pemerintah kota Palembang yang masih berstatus zona merah penularan Covid-19 akan mempersiapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) bagi Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Syarat dan standar agar bisa melaksanakan PTM juga telah telah ditentukan seperti menyediakan tempat cuci tangan, ketersediaan masker, penyemprotan disinfektan serta kebijakan pelarangan orangtua mengantar anaknya masuk kelas, hanya cukup sampai di pagar.

Meski IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) masih menganjurkan daring namun IDAI menyarankan langkah preventif dalam menyiasati Covid-19. Karena kondisi ini masih fluktuatif, IDAI meminta vaksinasi terlebih dahulu dilakukan terhadap guru guru sebelum mengajar. Langkah ini dianggap bisa menurunkan resiko penularan virus.

Mengambil keputusan belajar tatap muka ditengah pandemi yang belum bisa diatasi ibarat buah simalakama, kurang lebih seperti itulah kondisi saat ini. Berbagai keluhan emak emak yang harus mengajari anaknya belajar online serta anak anak yang jenuh mengerjakan tugas membuat tuntutan untuk belajar offline semakin besar. Namun disisi lain bahaya virus masih mengintai, apalagi perssentase korban semakin naik ditambah berkembangnya varian baru dari virus Covid-19 yaitu B117. Rakyat seperti tak punya pilihan lain selain bersikap normal tak dengan resiko tertinggal segalanya.

Tidak tentunya kondisi ini tentu tak lepas dari penanganan virus yang lambat sejak awal virus muncul di Indonesia, berbagai kebijakan yang diterapkan juga tak jua mampu menghadang laju pertumbuhan virus yang kian hari kian menambah daftar korban. Persoalan-persoalan baru malah bermunculan karena solusi yang diberikan tak bisa menjadi solusi yang menuntaskan persoalan. Jika saja sejak awal penguasa tegas dan cepat mengambil langkah tepat, tentu kita tak akan terjebak dalam drama corona yang panjang, atau setidaknya bisa meminimalisir jumlah penularan dan bisa mengendalikan keadaan.

Belajar offline akan bisa cepat dilaksanakan secara aman jika saja kebijakan karantina total diberlakukan sejak awal kemunculan virus. Karantina atau lockdown terbukti efektif memutus mata rantai penularan. Karantina pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar Ibn Khattab saat terjadi wabah Thaun , saat itu beliau menugaskan Amr bin Ash untuk mengatasi wabah. Dalam hitungan hari wabah berhasil ditangani, kala itu Amr bin Ash langsung menerapkan karantina bagi daerah yang terkena wabah. Dan negara mensupply penuh kebutuhan dasrah terkait makanan, obat obatan dan lain sebagainya. Semua bisa berjalan lancar karena negara berada dalam kondisi stabil dalam segala aspek. Dan kondisi yang stabil bisa menciptakan ketahanan suatu negara untuk siap siaga menghadapi kondisi apapun termasuk pandemi.

Dalam sistem kapitalis yang dianut bangsa ini, kebijakan karantina adalah keputusan yang sulit untuk diambil sebagai solusi menangani pandemi di negeri ini. Lilitan hutang yang banyak, ketergantungan terhadap impor, dan sumber daya alam yang diserahkan pengelolaannya pada asing ataupun swasta membuat negara lemah dan tak mempunyai ketahanan dan kedaulatan di negeri sendiri. Penguasa tak bisa secara total mengatasi pandemi karena tersandera berbagai kepentingan dan walhasil kebijakan yang lahir pun selalu mengutamakan kepentingan segelintir korporasi tanpa memperdulikan rakyat dengan dalih memulihkan ekonomi.

Sistem kapitalisme adalah sebuah sistem dimana negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam serta kekayaan negara kepada para kapitalis atau pemilik modal meniscayakan kesengsaraan bagi rakyat. Karena hasil yang didapat dari pengelolaan itu sejatinya hanya akan dinikmati oleh sekelompok orang atau individu, sementara rakyat hanya akan mendapat sisa remahan saja.
Dalam Islam, pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya dilakukan oleh negara. Pintu investasi terhadap SDA tidak akan ada, karena menyerahkan pengelolaan apalagi kepemilikan tanah, tambang dan sumber daya alam yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tidak diperbolehkan. Pengelolaan yang dilakukan sendiri tentu akan membuahkan hasil maksimal yang bisa digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan rakyat. Kondisi ini akan bisa menciptakan ketahanan dan kedaulatan negara dalam berbagai bidang khususnya ekonomi dan finansial hingga kita tak akan gagap pandemi.
Nasi sudah menjadi bubur, namun tak ada kata terlambat untuk kembali pada solusi yang hakiki, yaitu kembali pada aturan ilahi yang telah nyata mampu menjadi solusi mumpuni dalam menangani pandemi. Dan sebagai muslim, sudah saatnya kita kembali pada fitrah kita, kembali kepada aturan Islam kaffah, dengan begitu Allah akan menurunkan rahmatnya, mengangkat wabah dari dunia dan kita akan bisa beraktivitas seperti biasa serta belajar tatap muka. ***

Wallahualam bis shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here