Tentang Nabi, Semua Patut Ditiru

0
305

Oleh : Irohima

LAGI-LAGI, salah satu petinggi negeri ini mengeluarkan pernyataan yang menuai sorotan publik. Ketidakpercayaannya akan sistem pemerintahan warisan Nabi yaitu Khilafah membuat ia sering sekali menggelontorkan opini ataupun statement yang mendiskreditkan khilafah, dan yang terbaru ia mengungkapkan bahwa haram hukumnya meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW, dengan alasan setelah Nabi wafat, tak ada lagi umat Islam yang mampu berperan sebagai legistatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus seperti halnya yang dilakukan Nabi sebagai Kepala Negara saat itu. Maka dari itu menurut Mahfud MD, dilarang mendirikan negara Islam seperti yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW. Masih menurut Mahfud, kita tak butuh negara Islam tapi negara islami serta membangun negara islami bukan teokrasi islam.

Tentu pernyataan Mahfud MD menuai kontra dan respon dari berbagai kalangan, tak terkecuali Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Anton Tabah yang mengaku heran akan sikap Mahfud yang kerap berbicara yang tak sesuai dan menyalahi ajaran Islam. Belum lama ini Mahfud bahkan pernah mengatakan bahwa perda syariah itu radikal. Sangat disayangkan pernyataan demi pernyataan yang cenderung menyerang syariat Islam keluar dari lisan seorang tokoh yang notabene adalah seorang muslim juga.

Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan ajaran Islam dimana Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk soal pemerintahan. Nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi umat muslim, Setiap ucapan, perbuatan bahkan diamnya Nabi bahkan menjadi salah satu sumber hukum yang dijadikan tolok ukur dalam menjalani kehidupan ini. Umat muslim bahkan wajib mengikuti apa yang jadi arahan Nabi dan meninggalkan apa yang dilarang oleh beliau. Nabi Muhammmad adalah contoh sempurna bagi kita untuk mencari solusi dalam menghadapi berbagai persoalan persoalan hidup.

Pernyataan Menko Polhukam bahwa haram meniru negara Rasulullah adalah pernyataan berbahaya yang bisa mencederai bahkan merusak iman seorang muslim. Tak perlu negara islam tapi cukup negara yang islami pun adalah pandangan menyesatkan. Memang tidak semua negara yang mayoritas muslim itu islami dan ada juga negara yang begitu kafir tapi tetapi cenderung islami. Tapi negara yang berpenduduk mayoritas Islam tapi tidak islami berarti sangat jelas negara tersebut bersistem sekuler, menjadikan agama sebagai sebuah status tanpa mengaplikasikan seluruh ajarannya dengan kata lain memisahkan agama dari kehidupan, sementara negara kafir tapi islami bermakna negara itu mengadopsi dan mengaplikasikan sebagian ajaran islam yang bermanfaat bagi mereka tanpa beriman. Salah jika kita tidak butuh negara Islam untuk menjadi islami. Menjadi muslim yang islami berarti menjadi muslim yang seutuhnya, yang mengaplikasikan seluruh ajaran islam dalam setiap aspek kehidupannya, yang menerapkan hukum syara dalam setiap masalah tanpa mengambil hukum yang lain. Ada beberapa hukum sara yang tidak bisa dijalankan oleh individu melainkan hanya negara yang bisa melaksanakannya, seperti rajam, potong tangan, dan sebagainya. Menjadi islami sejati adalah menjadi Islam yang kaffah atau Islam secara keseluruhan bukan setengah-setengah.

Karena itu dibutuhkan negara agar kita bisa menjalankan syariat sepenuhnya, tanpa negara yang menerapkan syariat, banyak sekali kewajiban seorang muslim yang tidak bisa kita jalankan sementara kita diperintahkan untuk menjadi muslim secara total sebagaimana Firman Allah SWT: ”Hai orang orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.Al Baqarah :208).

Pernyataan Mahfud MD yang mengatakan bahwa Nabi memegang kekuasaan legistatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus juga tidak benar. Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut:
1. Kekuasaan legistatif hanyalah milik Allah, bukan manusia. Oleh karena itu hanya Allah SWT saja yang menjadi Musyarri” (pembuat hukum) yang menetapkan hukum hukum dalam segala sesuatu,baik dalam masalah ibadah, muammalah, uqubat, dan sebagainya. Firman Allah SWT : “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah “(Al An “aam:57).
Rakyat hanya memiliki kekuasaan atau pemerintahan bukan kedaulatan. Rakyatlah yang memilih dan mengangkat penguasa..Namun Syara” telah menetapkan bahwa hanya khalifah yang berhak memilih dan menetapkan hukum bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan bukan yang lain. Ijma sahabat bahkan menetapkan bahwa hanya khalifah yang berhak memilih dan menetapkan hukum hukum syara sebagai undang undang dasar dan undang undang lainnya. Di sini berarti khalifah tidak memegang kekuasaan legistatif, karena khalifah tidak membuat hukum melainkan hanya mengambil hukum sara yang terkandung dalam Alquran dan sunnah, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar.

2. Kekuasaan eksekutif kembali pada rakyat, karena kekuasaan adalah milik umat yang dijalankan oleh khalifah dan perangkatnya. Rakyat berhak memilih para penguasa dan mengoreksi penguasa jika penguasa melanggar syariat.
3. Kekuasaan yudikatif hanya dipegang oleh khalifah atau yang mewakili khalifah. Hanya khalifah yang berhak mengangkat para qadhi atau hakim dan mengangkat orang yang diberi wewenang untuk mengangkat para qadhi.
Saat Rasulullah SAW menjadi khalifah, beliau menunjuk beberapa orang untuk ditetapkan sebagai perangkat pemerintahan dan memberikan tanggung jawab pada ahli di bidang masing-masing untuk bekerja demi kemashlahatan umat. Jadi tidak benar jika seorang pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam dikatakan memegang 3 kekuasaan sekaligus, opini semacam ini menggiring pemahaman public akan kekuasaan yang, hanya terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang undang secara dictator, karena sejatinya pemimpin dan para perangkat pemerintahan dalam Islam adalah pelayan umat.

Mendirikan negara dengan sistem pemerintahan islam adalah sebuah kewajiban, dan mencontoh semua prilaku Rasullullah termasuk dalam membentuk negara islam dalam hal ini khilafah adalah bentuk ketaatan dan bukti keimanan setiap muslim. Para ulama telah sepakat dan tidak ada sedikit pun perbedaaan dalam membahas khilafah. Syaikh Abdurohman al Jaziri berkata (w.1360 H) : “Telah sepakat para imam (yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) bahwa imamah (khilafah) adalah fardlu dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang imam yang menegakkan syiar – syiar agama dan melindungi orang – orang yang di zalimi dari orang orang dzolim dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama diseluruh dunia mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan” (“Abdurrohman a; Jaziri,al Fiqh”Ala al Madzhalib al Arba”ah,V/416).

Meniru sistem pemerintahan Nabi yaitu dengan mendirikan negara dengan berlandaskan ideology Islam merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim. Maka mengharamkan mendirikan negara dengan sistem Islam adalah perbuatan yang menantang Allah SWT yang mewajibkan perintah ini serta melecehkan Rasullullah SAW yang memberi contoh bagaimana mengelola sebuah negara. Juga merendahkan para Khulafaur rasyidin yang mempraktekkan kekhilafahan dan menghinakan keilmuan para ulama yang telah menuliskan perkara ini didalam kitab kitab mereka.

Pendiskreditan dan diskriminasi Islam khususnya khilafah semakin hari semakin dimasifkan, Para pembenci syariat seakan tak pernah lelah dalam usahanya memukul mundur dan membungkam para pejuang syariat, namun sekuat apapun usaha mereka memadamkan cahaya agama ini, Allah tak akan membiarkannya padam. Maka kepada para pejuang syariat bersabarlah, teruslah berjuang seraya berikhtiar yang terbaik untuk kemenangan Islam karena sesungguhnya janji Allah SWT adalah sebuah keniscayaan dan ketahuilah angin kemenangan telah semakin dekat menerpa wajah kita. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here