Utang Makin Membengkak, Salah Kelola Negara?

0
75

Oleh : Desi Anggrani (Pendidik Palembang)

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%.Menurut kaleidoskop buku APBN KITA 2022, terdapat peningkatan dalam jumlah nominal dan rasio utang jika dibandingkan dengan bulan November 2022. Namun jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, Desember 2021, rasio utang terhadap PDB menurun dari sebelumnya 40,74 persen menjadi 39,57 persen.

Kemenkeu mengklaim rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal.Dari total utang Rp 7.733,99 triliun, rinciannya Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun dan pinjaman Rp 887,10 triliun. Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang Rupiah, Kemenkeu berargumen porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga.( CNBC Indonesia, Rabu (18/01/2023).

Harus dipahami bahwa utang adalah skema kapitalisme global untuk menjerat negara terutama negara berkembang agar terus menggantungkan diri pada negara kreditur. Dalam buku Politik Ekonomi Islam, Abdurrahman Al Maliki mengatakan pembiayaan proyek negara dari utang luar negeri membahayakan eksistensi negara tersebut.

Sebab, kebijakannya akan disetir oleh negara pemberi utang. Ada kalimat bijak yang mengatakan, “Derita adalah momentum membayar utang. Siapa saja yang melawan, tidak saja gagal membayar utang, ia malah menciptakan utang yang baru.” Benar saja, Indonesia tampak ketagihan dengan utang. Saat keuangan negara mengalami defisit, utang menjadi salah satu solusi andalan. Utang tak mengapa, asal negara bisa membiayai rakyatnya.

Rakyat yang mana? Kalau negara tak sanggup bayar cicilan utangnya, rakyatlah pihak yang paling merana untuk dipaksa membayarnya melalui tarikan pajak yang memalak. Dan rakyat pun berpotensi kehilangan aset negara yang mestinya mereka bisa menikmatinya. Inilah kesalahan paradigma dan tata kelola negara yang berbasis utang. Kaya SDA tapi banyak utang. Kekayaannya bukan untuk menjadi sumber pendapatan, tapi untuk berjaga-jaga jika negara tak sanggup bayar utang, aset strategis siap dijual.

Kegagalan ini dipicu akibat penerapan ekonomi kapitalis yang menguntungkan para pemilik modal,negeri ini terus-menerus berada dalam lilitan utang yang makin mencengkeram kuat. Ekonomi terus terguncang, utang masih melambung tinggi.

Padahal Islam sudah memiliki seperangkat mekanisme bagaimana negara itu mestinya dikelola dan bagaimana negara membangun sistem keuangan yang sehat dan syar’i. Tidak akan ada keberkahan bila ekonomi negara ditopang sistem riba. Negara yang hidup dengan utang hanya akan melahirkan ilusi kesejahteraan. Seakan-akan masih memiliki banyak pendapatan, padahal ngos-ngosan cari pendapatan.

Lihat saja Cina dan AS, meski terlihat kokoh, sebenarnya sistem perekonomiannya keropos. Di luar tangguh, di dalam menanggung utang. Mana bisa dikatakan sebagai negara kaya dan adidaya? Mereka adidaya karena menjajah negara lain. Dalam Islam, Baitulmal adalah konsep baku bagaimana pengelolaan ekonomi negara yang tepat dan benar. Baitulmal terdiri dari dua bagian pokok.

Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitulmal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan. Sudah saatnya umat melirik sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan. Bukan hanya ekonominya, keberadaan institusi pemerintahan Islam menjadi hal penting yang harus diwujudkan.

Tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah), keunggulan syariat tidak akan bisa dirasakan secara utuh. Artinya, menjalankan syariat Islam bukan sekadar mencuplik sepertiga atau setengahnya saja. Ekonominya syariat, tapi politiknya demokrasi, mana bisa? Harus kafah, menyeluruh. Berkubang dalam sistem kapitalisme yang merusak tidak akan pernah memberikan kesejahteraan hakiki bagi rakyat.

Apalagi utang riba, selain sumber kesulitan dan kesengsaraan, ia juga mendatangkan azab Allah Swt.. Rasulullah Saw bersabda, الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه “Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim, dari Ibnu Mas’ud).

Islam telah menyediakan solusi bagi setiap permasalahan, kita tahu bahwa Islam tak hanya mengurusi urusan ibadah namun juga kehidupan individu, sosial, hingga negara. Solusi ekonomi islam tanpa terjerat utang apalagi riba, yang sudah pasti menyejahterakan rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah, masihkah kita mempertahankan sistem keuangan saat ini? Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here