Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST
Demokrasi memang telah lama menjadi ‘agama’ baru. Demokrasi seolah harga mati. Demokrasi telah lama diklaim sebagai sistem terbaik. Demokrasi telah lama digadang-gadang menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan. Demokrasi pun telah lama diklaim sebagai mekanisme yang paling bisa menjamin distribusi, sirkulasi dan pergantian kekuasaan secara aman, tertib dan damai. Demikian seterusnya.
Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap antidemokrasi.
Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.
Walaupun demikian, sebenarnya demokrasi itu tidak menjanjikan apa pun, sebagaimana yang disebut dalam buku “Apakah Demokrasi Itu?” Buku ini disebarluaskan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Di cover halaman belakangnya ditulis, “Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, dia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta risiko kegagalan.”
Apa Itu Demokrasi
Demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.
Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan.
Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.
Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal:
(1) Hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syar’i). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan.
(2) Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority).
Dampak Buruk Demokrasi
Dalam sistem demokrasi,bahaya yang paling mendasar adalah ancaman aqidah umat islam. Bahwa sistem ini telah menjadi agama baru bagi kaum Muslim. Dari segi akidah, ide demokrasi telah merampas hak Allah SWT untuk membuat hukum dan menyerahkan hak itu kepada hawa nafsu manusia.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
( QS al-Maidah [5]: 44).
Kemudian menjauhkan kaum Muslim dari aturan-aturan Islam. Implikasi logis dari demokrasi adalah jauhnya kaum Muslim dari aturan-aturan Islam, terutama dalam masalah publik (kemasyarakatan). Hal ini disebabkan karena demokrasi telah menetapkan garis tegas, bahwa agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik. Jadilah kaum Muslim sekarang hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual dan moral saja. Dalam masalah publik mereka terikat dengan asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Setelah itu bahaya lainnya adalah demokrasi menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan. Akibat kebebasan berpendapat, ide-ide liberal yang ‘menyerang’ Islam semakin berkembang, seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll.
Sungguh demokrasi tidak layak untuk di jadikan harapan. Umat muslim harus mengetahui betapa demokrasi dan nilai nilai turunannya adalah virus yang sangat berbahaya,yang bisa menghancurkan aqidah dan syariat Islam,serta membinasakan kaum Muslim.
Dan agar kaum muslimin mewaspadai niat jahat dan agenda terselubung, dari siapa pun yang menawarkan demokrasi.
Pandangan Islam
Islam menegaskan bahwa manusia tidak layak membuat aturan hidup. Allahlah Yang Berhak membuat aturan hidup (Lihat: QS al-An’am [67]: 57; Yusuf [10]: 40, 67). Manusia hanya pelaksana.
Karena itu Islam menentang demokrasi. Pasalnya, demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan.
Prinsip ini sangat bertentangan dengan Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan milik Allah SWT, bukan di tangan rakyat. Artinya, Allah SWT sajalah sebagai Al-Musyarri’ (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65; QS al-An’am [6]: 57; QS Yusuf [10]: 40, 67; QS an-Nisa’ [4]: 60).
Pemberlakuan hukum buatan manusia berarti menggunakan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT. Ini berarti pemberlakuan hukum kufur
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). ***