Penangkaran Buaya Ancam Keselamatan Warga

0
515

Oleh: Hj. Padliyati Siregar ST

Kasus kematian warga karena serangan buaya di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel), membuat warga Banyuasin trauma akan keberadaan hewan buas tersebut.

Namun kini, warga Banyuasin kembali dibuat resah dengan keberadaan penangkaran buaya, di Desa Tanjung Sari Kelurahan Sukamoro, Kecamatan Talang Kelapa Sumsel.

Dari informasi yang diperoleh, selain tidak ada penjagaan, bangunan tempat penangkaran buaya tersebut tidak memenuhi standar keamanan.

Karena merasa resah, warga Banyuasin akhirnya melaporkan penangkaran buaya tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Satpol PP Damkar dan Penyelamatan Banyuasin, pada hari Jumat (2/10/2020) lalu.

“Masyarakat meminta kepada yang mempunyai penangkaran tersebut, agar segera dipindahkan atau ditutup. Karena warga sudah resah melihat buaya yang berkeliaran di sungai dekat pemukiman warga,” katanya.

Adanya dugaan buaya ini lepas dari penangkaran, saat banjir beberapa waktu lalu. Sementara diwaktu Terpisah, Ketua DPN Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB) Nachung Tahjudi mengatakan, dengan kondisi lingkungan atau pemukiman warga saat ini, lokasi penakaran buaya sudah tidak relavan, mengingat sangat membahayakan warga.

Penangkaran PD Budiman sendiri telah mengantongi izin dari BKSDA Sumsel PD Budiman bergerak di bidang dagang yang berkaitan dengan Satwa liar seperti ular, buaya dan juga kulit-kulit dari hewan-hewan tersebut.
Sampai saat ini PD Budiman belum mengeluarkan peryataan apapun terkait kejadian ini. Perlu kita pahami penangkaran adalah istilah yang sudah baku artinya usaha untuk mengembangbiakan jenis binatang tertentu yang jumlahnya dialam sudah terbatas atau sudah menurun, bahkan statusnya sudah langka sehingga diperlukan upaya-upaya perbanyakan atau pembudidayaan melalui perkawinan (captive breeding).

Hanya saja dalam sistim kapitalis sekarang semuanya dinilai keuntungan serta manfaat finansial meskipun harus menabrak hukum-hukum syariat. Fungsi penangkaran bukan lagi murni sebagai usaha untuk mengembakbiakan jenis binatang namun sudah dikomersialkan dalam bisnis haram dan yang paling berbahaya lagi,negara menjadi pelakunya.

Sebenarnya sejak zaman dahulu manusia sudah memanfaatkan satwa buaya terutama untuk dimanfaatkan dagingnya sebagai sumber protein hewani di samping dari daging rusa, babi hutan dan binatang lainnya.

Pada saat ini selain dari pada kulit reptil lainnya, kulit buaya dimanfaatkan sebagai bahan kulit yang berkualitas tinggi untuk pembuatan tas kulit, ikat pinggang, sepatu, dompet, gantungan kunci, dan bahan perhiasan lainnya. Produk tas dari kulit buaya terbaik buatan Perancis atau Jepang dimana harga jual paling rendah berkisar antara 40 s/d 50 juta.

Maraknya perdagangan kulit buaya yang dilakukan sejak tahun 70-an, bahkan dalam tiga dekade yang lalu Indonesia pernah menjadi negara pengekspor kulit buaya terbesar terutama kulit yang berasal hasil tangkapan dari alam dalam bentuk row matrial untuk di kirimkan ke negara-negara seperti: Jepang, Amerika, dan Eropa.

Ditambah lagi ketika mengunjungi objek wisata penangkaran biasanya dibarengi dengan belanja suvenir. Di sini tersedia berbagai cinderamata berbentuk buaya, dan benda-benda seperti dompet, tas, ikat pinggang, dan tali jam tangan yang berbahan kulit buaya.

Yang paling mencengangkan, para wisatawan yang sekaligus pencinta kuliner, untuk mencicipi sate buaya yang di jual. Sate daging buaya dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan. Ramuan tangkur (alat kelamin) buaya, yang dipercaya bisa meningkatkan kesehatan menjadi lebih prima.

Islam punya pandangan yang khas untuk menghukumi sesuatu. Apakah itu baik bagi manusia ataupun buruk. Semuanya harus disandarkan kepada hukum syara. Begitu juga dengan buaya, apakah boleh dilakukan penangkaran selain dikembangbiakkan tapi diambil juga manfaat dari daging kulit dan sebagianya dari binatang tersebut untuk diperjualbelikan.

Ternyata Islam punya jawabannya, bahwa memanfaatkan sesuatu dari buaya misalnya untuk dompet,ikat pinggang dan sebagainya hukumnya haram. Karena barang tersebut terbuat dari kulit yang tidak boleh dimanfaatkan, yaitu kulit dari binatang yang haram dimakan, yang dalam kasus ini adalah buaya.

Dalil haramnya memanfaatkan kulit binatang yang haram dimakan, adalah hadits tentang bangkai kambing milik Maimunah RA Rasulullah SAW bertanya kepada para shahabat, ”Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?” Mereka menjawab, ”Bangkai kambing itu adalah najis.” Maka bersabda Rasulullah SAW,”Kulit apa pun yang sudah disamak, maka ia menjadi suci. Karena sesungguhnya menyamaknya sama dengan menyembelihnya.” (ayyumaa ihaabin dubigha faqad thahura, fa-inna dabghahu dzakaatuhu). (HR Ahmad no 1895 & 2003, Daruquthni no 127, Abu Dawud Ath Thayalisi, 1/217, hadits shahih).

Syeikh ‘Atha Abu Ar Rasytah menjelaskan bahwa dalam hadits di atas terdapat ‘illat (alasan penetapan hukum) bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, yaitu adanya penyamakan kulit dari binatang yang halal dimakan. (‘Atha Abu Ar Rasytah, Taisir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 163; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 15/251).

Demikian pula sebaliknya, jika illat tersebut tidak ada, yaitu jika yang disamak adalah kulit dari binatang yang haram dimakan, maka hukumnya haram memanfaatkan kulitnya. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih: al hukmu al mu’allal yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman (hukum yang mengandung illat beredar mengikuti illatnya, baik pada saat illat itu ada maupun pada saat illat itu tidak ada). (M. Khair Haikal, Al Jihad wa Al Qital fi As Siyasah As Syar’iyyah, 1/340).

Padahal telah terdapat dalil-dalil syar’i yang mengharamkan memakan ular dan buaya. Keharaman memakan ular, karena ada hadits shahih bahwa Nabi SAW telah memerintahkan untuk membunuh ular. (HR Bukhari no 3297, Muslim no 2233, Abu Dawud no 5252, Tirmidzi no 1483). (Syihabuddin Asy Syafi’i, At Tibyan Limaa Yuhallal wa Yuharram min Al Hayawan, hlm. 65). Imam Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan bahwa adanya perintah syara’ untuk membunuh suatu binatang, merupakan dalil haramnya memakan binatang itu. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/211).

Adapun keharaman memakan buaya, karena ada hadits shahih yang melarang memakan binatang buas yang bertaring. Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap-tiap binatang buas yang mempunyai taring, maka memakannya adalah haram.” (kullu dzi naabin min as sibaa` fa-akluhu haram). (HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi, & Nasa`i). (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/192).

Berdasarkan dalil-dalil syar’i di atas, jelaslah bahwa buaya haram dimakan. Maka dari itu, jika kulit buaya disamak, lalu dibuat menjadi dompet, atau tas, atau jaket, atau barang yang semisalnya, haram hukumnya untuk memanfaatkannya.

Di samping haram memanfaatkan, haram pula memproduksi dan menjualbelikan dompet kulit buaya. Keharaman memproduksi dompet dari kulit buaya, didasarkan pada sebuah kaidah fikih: ash shinaa’atu ta`khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum membuat/memproduksi barang mengikuti hukum barang yang dihasilkan). (Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hlm. 30; Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/135).

Adapun keharaman menjualbelikan dompet dari kulit buaya, didasarkan pada sebuah kaidah fikih: kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fa-bai’uhu haraam (setiap-tiap benda yang telah diharamkan syara’ atas para hamba, maka menjualbelikannya haram pula hukumnya). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/287). ***

Wallahu a’lam ….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here