Reshuffle Kabinet? Bukanlah Solusi untuk Negeri

0
717

Oleh: Riyulianasari
Kekalahan Indonesia oleh Brasil di World Trade Organization (WTO) menambah daftar panjang serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri. Terlepas dampak impor daging bagi peternak ayam, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan keputusan ini harus dijalankan apapun konsekuensinya karena dapat memancing respons negara tetangga.

“Tidak ada pilihan lain untuk kita menyesuaikan sesuai rekomendasi dari WTO,” ucap Enggar, Rabu (7/8/2019) seperti dikutip dari Antara.

Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih.

Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi.
Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka cela masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik.

Tak hanya itu, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga menuai persoalan. Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun.

Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih.

Nama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bahkan terseret dalam kasus dugaan gratifikasi impor pupuk oleh anggota DPR RI nonaktif, Bowo Sidik Pangarso. KPK pernah menggeledah kantor Enggar dan menyita dokumen impor gula rafinasi.

KPK juga sudah tiga kali memanggil Enggar untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut, namun ia mangkir.

Presiden Joko Widodo sebenarnya mengetahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 miliar dolar AS per Juli 2019 dibandingkan capaian year on year 2018. Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terdalam dengan nilai 8,70 miliar dolar AS selama periode pertama Jokowi.

Namun, Jokowi tak menegur Enggar soal impor. Perhatian Jokowi lebih terarah pada mandeknya ekspor yang tak kunjung mampu mengimbangi impor. Sampai-sampai Jokowi ingin membuat kementerian ekspor dan investasi.

Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mempertanyakan sikap Jokowi karena tak kunjung berani mengganti Enggar. Yudhistira menilai Jokowi menampilkan kesan lemah dengan terus menunda keputusan itu.

Dalam setahun terakhir kepemimpinan Jokowi, Yudhistira menilai mencuatnya kasus hukum yang mengarah kepada menteri terkait juga seharusnya menguatkan alasan Jokowi untuk mengganti Enggar.

Yudhistira menjelaskan, kebijakan impor jelas kontradiktif dengan keinginan Jokowi untuk kemandirian ekonomi. Ia beralasan kebijakan impor diambil tanpa mempertimbangkan perlindungan ekonomi dalam negeri.

“Ini menunjukkan presiden lemah kalau tidak (berani) me-reshuffle menteri Enggar,” kata Yudhistira saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/8/2019).

Atas dasar itu, Yudhistira menilai reshuffle posisi menteri perdagangan tidak perlu menunggu Oktober 2019 ketika masa jabatan berakhir. Sebab, kata dia, impor yang dilakukan “ugal-ugalan” dikhawatirkan membuat pelaku usaha enggan menaikkan kapasitas produksi lantaran produknya dikalahkan barang-barang impor yang membanjiri pasar.

“Jokowi harus melakukan reshuffle sebelum bulan Oktober. Jadi kepastian buat pelaku usaha domestik. Kalau impor dilakukan ugal-ugalan pelaku usaha bisa menurunkan kapasitas produksinya,” tegasnya.
.
Kebijakan impor yang dilakukan pemerintah telah diketahui dan dirasakan oleh masyarakat yang berdampak pada mahalnya harga harga produk lokal yaitu produk produk dalam negeri. Tidak heran jika masyarakat memilih produk impor yang tentu saja lebih murah. Pemerintah berdalih bahwa kebijakan impor adalah untuk menstabilkan harga padahal justru membangkrutkan negara. Bagaimana kita melihat PT. Krakatau Steel yang memproduksi baja di Indonesia. Maka bukan hanya kebijakan impor bawang putih atau pakaian yang dilakukan Pemerintah, tapi satu persatu produk Indonesia diganti dengan impor. Padahal Pemerintah mengkampanyekan ‘cintailah produk produk Indonesia’. Inilah yang dialami oleh Indonesia saat ini.

Reshuffle kabinet bukanlah solusi bagi persoalan negeri ini, ketimpangan ekonomi dan sosial sangat dirasakan masyarakat. Inilah yang bertentangan dengan Pancasila sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan tentu tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, jika banyak masyarakat yang mengalami kurang gizi ataupun gizi buruk, sementara Menteri Perdagangan mendapat keuntungan pribadi melalui kebijakan impor.

Pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto bahwa “tidak ada pilihan lain untuk kita menyesuaikan sesuai rekomendasi dari WTO” adalah membuktikan bahwa negara Indonesia di bawah Pengaruh ideologi Kapitalis Demokrasi yang membuat Indonesia tidak mampu menentukan kebijakan politik dalam negerinya maupun politik luar negeri. Padahal Indonesia adalah negara merdeka, tapi bisa di intervensi oleh WTO yang hanya sebuah organisasi ciptaan barat. Inilah yang membuat Pemerintah Indonesia tidak mampu merubah kebijakannya, karena Indonesia sendiri adalah anggota WTO. Dan tentu saja ada visi dan misi di dalam sebuah organisasi yang harus dipatuhi oleh anggotanya. Dan yang menjadi persoalan utama tentu saja adalah bahwa negara Indonesia ini menganut ideologi Kapitalisme yaitu bahwa Penguasa di dalam suatu negara adalah Para Pengusaha, dimana para Pengusaha memberikan modal untuk kampanye bagi calon Presiden dan setelah terpilih para pengusaha bisa menentukan kebijakan pemerintah. Inilah politik Demokrasi yang dijajakan oleh barat ke seluruh dunia termasuk Indonesia agar ideologi Kapitalis Demokrasi tetap tetap eksis dan menjadi adidaya dengan cara menghisap kekayaan alam Indonesia. Dan tentu saja yang diuntungkan dan menjadi kaya adalah para Menteri dan pengambil kebijakan impor tersebut.

Maka sekali lagi saya katakan bahwa reshuffle kabinet bukanlah solusi bagi Indonesia. Solusi yang tepat adalah mengganti Sistem Kapitalis Demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam yang adil. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here