Kliksumatera.com, BANDARLAMPUNG – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki alasan tersendiri memilih fotonya tengah berbatik ria bersama dengan sejawatnya Perdana Menteri (PM) Australia Malcolm Turnbull, dalam foto unggahan di akun Twitter pribadinya, dalam rangka Hari Batik Nasional, Rabu (2/10/2019).
“Ini kisah tentang batik. Jumat lalu saya kedatangan tamu, seorang sahabat, mantan Perdana Menteri Australia, Pak Malcolm Turnbull. Beliau mengenakan kemeja batik. Dan saya jadi pangling melihatnya. Pak Turnbull terlihat seperti bukan dari Australia. Seperti pria dari Solo…,” cuit presiden, Rabu, pukul 18.56 WIB.
Keterangan ‘Jumat lalu’ merujuk agenda kunjungan kerja kenegaraan PM Australia itu ke Indonesia, menemui Presiden Jokowi, Jumat (27/9/2019) pekan lalu.
Seperti diketahui bersama, tahun ke tahun, Hari Batik Nasional diperingati seluruh rakyat Indonesia usai dunia mengakui batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, atau Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan (UNESCO), 2 Oktober 2009.
Dari Bandarlampung, desainer kondang asal Lampung yang memulai debut perdana di dunia yang telah membesarkan namanya sejak usia 19 tahun, Aan Ibrahim, urun bicara mengenai seluk-beluk dinamika batik dalam turut memompa denyut nadi ekonomi.
“Batik adalah karya seni anak bangsa Indonesia yang berasal dari Jawa. Yogyakarta dan Solo. Belakangan ini, seluruh Indonesia membuat batik, karena dianggap unik, menarik, dan punya daya tinggi dari segi ekonomi,” kata dia via kanal WhatsApp, Rabu malam.
Batik ini selayaknya harus menjadi prioritas penting bagi kita bangsa Indonesia, ujarnya. Batik, lanjut pemilik Galery Aan Ibrahim di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 5, Kelurahan Kota Baru, Tanjungkarang Timur, Bandarlampung ini, bukan hanya indah, unik, tapi yang paling penting menyerap tenaga kerja nonformal.
“Kenapa saya katakan harus jadi prioritas pemerintah,” pria yang lahir di Pagardewa, Tulangbawang, 12 Juni 1955 ini berargumen, karena akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. “Tidak perlu harus punya ijazah SMA atau SMK. Bahkan anak putus sekolah dan ibu rumah tangga bisa terlibat dalam proses produksi batik,” cetusnya.
Permasalahannya sekarang, lanjut dia lagi, hampir semua anak muda tidak ingin kerja membatik. “Ini dilema bagi kita. Dari segi penjualannya juga, kurang memuaskan. Karena kita, Indonesia sekarang, belum benar-benar paham apa itu nasionalisme.”
“Masih banyak dijumpai, kita hanya sebatas memakai batik sebagai pakaian seragam. Belum banyak yang ingin memiliki batik dengan tujuan bangga sebagai orang Indonesia, seperti orang India, yang sangat bangga dengan budaya dan pakaian mereka,” ujarnya mengilustrasikan.
“Dengan sikap seperti itu, pengusaha batik skala UKM (usaha kecil menengah) susah berkembang karena sepinya pembeli,” imbuh desainer Tapis Lampung yang konsisten berkarir sejak 1985, ditambah upayanya sebagai salah satu figur penting di Lampung yang turut jadi pelestari sulam usus ini.
Ke depan, dia berharap, pemerintah harus lebih fokus mengembangkan UKM sektor batik ini melalui ekonomi kreatif. “Harus ada pelatihan membatik, pelatihan mendesain motif, dan mendesain komposisi warna. Harus digalakkan lebih serius promosinya. Jangan lagi seremonial dan proyek, supaya hasilnya lebih maksimal,” pinta dia.
Laporan : Muzzamil
Posting : Imam Ghazali