Ada Hadiah di Balik Kenaikan PPN

0
11

Oleh : Siti Nurjannah

“Senangnya hatiku, dapat bansos ku tunggu, kini aku bernyanyi dengan riang”
Kutipan lagu yang liriknya sedikit diubah ini menunjukkan kebahagiaan seseorang ketika mendapatkan apa yang diharapkan. Ya, bantuan dari pemerintah (bansos) untuk masyarakat yang menjadi angin segar di awal tahun nanti. Seperti yang dilansir dari Jakarta, VIVA — Pemerintah memutuskan untuk memberikan diskon listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan untuk kelompok menengah ke bawah dengan daya 450 volt ampere (VA) hingga 2.200 VA. Diskon ini diberikan untuk meredam situasi dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Sama seperti dinaikkannya PPN yakni per 1 Januari 2025, bansos juga akan mulai diberikan namun hanya berlaku 2 bulan saja. Jika diteliti lebih lanjut sejatinya bansos dan diskon biaya listrik tidak akan meringankan beban rakyat, mengapa demikian? Karena harga kebutuhan hidup yang meroket tidak bisa hilang hanya dengan bansos yang berlangsung singkat.

Kebijakan pemerintah dalam menaikkan PPN dinilai sangat tidak logis, di tengah himpitan ekonomi yang semakin buruk dan lapangan pekerjaan yang semakin sulit. Masyarakat dibuat kewalahan dengan kebijakan baru tersebut. Meskipun bahan pokok terbebas dari kenaikan PPN 12%, namun efek terhadap masyarakat akan sangat terasa. Sebagai contoh, para pedagang akan menaikkan harga dagangannya untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran, sehingga tidak terjadi kerugian dalam usahanya.

Kebijakan ini disebut kebijakan populis otoriter, yakni kebijakan yang disukai oleh rakyat karena seolah-olah pemerintah berpihak kepada rakyat kebanyakan bukan kepada oligarki ataupun pengusaha. Namun pada faktanya kebijakan seperti ini menguntungkan bagi oligarki dan pengusaha (kapitalis), karena mereka memiliki modal yang besar sedangkan jumlah mereka sedikit.

Sama halnya ketika pemerintah melakukan proyek strategis nasional dengan membangun infrastruktur besar-besaran, seolah-olah sebuah prestasi besar yang membanggakan bagi pemerintah karena berhasil membangun jalan, kereta cepat, bandara, kawasan industri dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemerintah membuka ladang bagi para investor untuk mewujudkan pembangunan, (UUH) ujung-ujungnya utang.

Demikianlah dalam sistem kapitalisme, kenaikan PPN adalah salah satu konsekuensi yang menjadikan pajak dan hutang sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai proyek pembangunan negara dan menopang perekonomian. Mirisnya hasil pembangunan tidak dinikmati oleh semua rakyat. Di Indonesia sendiri ada banyak jenis pajak, di antaranya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Materai, dan sebagainya.

Pajak sebenarnya merupakan pemalakan terhadap rakyat dengan dalih menjadi warga negara yang baik, mau bergotong royong dalam pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan. Namun, kebijakan penguasa tidak berpihak kepada rakyat. Mereka digaji dengan hasil keringat rakyat melalui wajib pajak, tetapi kinerja yang dihasilkan jauh dari kata amanah dan adil. Oleh karena itu, kebijakan tambal sulam dalam sistem kapitalisme memang tidak mampu menyelesaikan masalah, bahkan hanya menambah masalah baru.

Dalam Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara, dan diberlakukan hanya pada kondisi kas negara kosong serta ada pembangunan yang wajib dilaksanakan. Itupun hanya pada rakyat yang mampu/kaya. Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, karena penguasa adalah raa’in (pengurus). Seorang pemimpin harus memiliki sifat kepemimpinan, seperti adil, bijaksana, amanah dan bertanggung jawab. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat (yang digembalakannya),” (HR. Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar r.a).

Memang benar mengurus urusan rakyat tidak semudah menggembala domba, mengurus urusan rakyat (ri’ayah syu’unil ummah) berarti mengurus urusan mereka yang kompleks dan beragam. Mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jelas dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kapabilitas yang besar dan amanah dalam menjalankan kepemimpinannya.

Dalam Islam, seorang pemimpin tidak boleh menyusahkan rakyatnya, ia mempunyai tanggungjawab mensejahterakan rakyat, lalu seorang pemimpin sangat takut akan dosa jika amanahnya tidak dijalankan dengan baik. Rasulullah saw bersabda : “Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkan lah dia. Barang siapa memimpin umatku, lalu dia bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.” (HR Muslim).

Dalam sistem Islam, negara mempunyai sumber pendapatan yang beragam yang akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu, seperti baitu mall. Dalam kitab yang ditulis oleh syekh Taqiyuddin An Nabhani dijelaskan bahwa pemasukan tetap baitul mall adalah fa’i, ghanimah, Anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, dan harta zakat. Hanya saja untuk harta zakat, telah ditetapkan dibagian khusus baitul mall, dan tidak akan diberikan kecuali kepada delapan ashnaf (golongan) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Begitulah sempurnanya sistem Islam ketika diterapkan. Pemimpin tidak akan semena-mena apalagi menyalahgunakan kekuasaannya demi memuaskan hawa nafsu duniawi. Rasa takut dan kesadaran yang tinggi akan amanah yang diberikan membuat pemimpin semakin tunduk patuh kepada Allah Sang pencipta Alam.

Wallahu’alam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here