Oleh : Hj. Padliyati Siregar ST
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Perpres ini diteken Jokowi pada Senin, 5 Oktober 2020.
Proses pengadaan vaksin dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Bio Farma. Sementara itu, jenis dan jumlah untuk pengadaan vaksin corona akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Sedangkan, pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Dalam hal ini, Kemenkes menetatapkan kriteria dan prioritas penerima vaksin, prioritas wilayah penerima vaksin, jadwal dan tahapan pemberian vaksin, serta standar pelayanan vaksinasi.
Indonesia sendiri bekerja sama dengan perusahaan asal China, Sinovac untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Vaksin ini sudah memasuki tahap uji klinis fase III sebelum diproduksi besar-besaran.
Selain Sinovac, Indonesia juga bekerja sama dengan perusahaan medis, G42 yang berpusat di Uni Emirat Arab. Vaksin dari G42 tengah menjalani uji klinis tahap ketiga di Uni Emirat Arab.
Di sisi lain, pemerintah tengah mengembangkan vaksin buatan dalam negeri yang dinamai vaksin merah putih. Vaksin ini diperkirakan rampung pada pertengahan 2021.
Tentu saja untuk menjalankan semua program tersebut butuh mekanisme yang jelas jangan sampai terjadi rakyat yang menjadi korban.
Terutama dalam hal bagaimana rakyat mendapatkan vaksin tersebut. Seperti apa yang dikatakan oleh Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Arief Safari mengatakan berbahaya bila pemerintah terpaksa melepas vaksin Covid-19 untuk dibeli masyarakat dengan mekanisme pasar.
“Karena akan menciptakan price gouging yaitu kenaikan harga yang gila-gilaan sebagaimana kejadian pada masker dan hand sanitizer di awal-awal pandemi,” kata Arief dalam siaran pers BPKN, Sabtu, 5 September 2020. Menurut dia, bahaya tersebut tentu harus dihindari oleh pemerintah. Yaitu, dengan menetapkan patokan harga tertinggi vaksin.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir menjelaskan bahwa vaksin Covid-19 di Indonesia bakal tersedia dalam dua jenis, yakni yang bersubsidi dan non-subsidi atau mandiri. Untuk jenis mandiri, harga vaksin akan sangat bergantung kepada dinamika pasar.
Erick Thohir mengaku belum bisa menentukan kisaran harga vaksin Covid-19 non-subsidi atau mandiri. Sebab, nantinya vaksin yang beredar di masyarakat tidak hanya dari satu produsen. Sehingga, kata dia, harga tersebut akan bergantung kepada perusahaan dan negara terkait.
Jangan sampai watak kapitalistik pemerintah muncul, pemerintah tidak menanggung jaminan kebutuhan dan menjadikan wabah sebagai sumber pemasukan negara.
Sementara upaya Pemerintah Indonesia mengatasi penyebaran Covid-19 belum bisa dikatakan maksimal. Upaya karantina/lockdown, Test-Trace-Treatment (3T), sampai instruksi Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak (3M) belum dilaksanakan secara maksimal dan cenderung melompat ke solusi vaksin (mengandalkan keberadaan vaksin).
Padahal, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo menyatakan, ditemukannya vaksin belum tentu jadi solusi utama menyelesaikan pandemi Covid-19. Doni mengatakan vaksin yang tengah diteliti beberapa negara termasuk Indonesia masih berproses dan belum ada yang terbukti bisa menghentikan pandemi secara total untuk kembali ke kehidupan normal (Ayojakarta, 11/08/2020).
Pengembangan dan Produksi Vaksin: Dilema Peradaban Kapitalisme
Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa Negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya.
Memang pengembangan vaksin memerlukan waktu lama. Namun, kompleksitasnya bukan semata-mata masalah teknis bioteknologinya, namun juga keberadaan pasar yang bisa memberikan return of investment (ROI) kepada produser vaksin dan pemegang sahamnya (Plotkin 2017).
Sistem ini tidak mengenal adanya timbangan harta akhirat dan amal jariah. Akibatnya, sebelum industri vaksin melakukan proses produksi, mereka akan melakukan studi kelayakan situasi pasar. Ini bisa dimengerti karena produser vaksin adalah industri swasta. Para pemegang sahamnya menuntut keuntungan.
Pada masa Kekhilafahan Islam, dana wakaf berkontribusi hampir 30% dari pemasukan Baitul Mal. Besarnya dana ini membuat layanan dan penelitian kesehatan menjadi maju karena tidak ada beban untuk mengembalikan keuntungan.
Peradaban Islam yang dinantikan juga akan menjadikan ilmu pengetahuan tentang virus ini, makhluk Allah yang tidak kasatmata, sebagai lading pahala. Vaksin akan dikembangkan dengan prosedur yang seefektif mungkin mengingat dana pembiayaan berasal dari amanah wakaf untuk kepentingan sebesar-besarnya umat manusia. Demikian pula perilaku manusia yang berisiko mencetuskan terjadinya wabah dicegah secara persuasif dengan edukasi yang otoritatif dan humanis sehingga narasi sesat bisa dikendalikan dengan tepat (Carey et. al., 2020).
Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi.
Kaya-miskin. Penduduk kota dan desa. Semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar.
Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.
Rasulullah SAW bersabda:
فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim). ***