Oleh : Yusseva, S.Farm
DALAM debat ketiga Pilpres 2019 yang lalu, kesehatan masuk dalam daftar topik yang diangkat. Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling disorot di Indonesia. Betapa tidak, hasil riset tahun 2013 menunjukkan prevelensi balita stunting di Indonesia mencapai angka 37,8 persen. Angka yang sama dengan jumlah balita stunting di Ethiophia. Kompas.com
Dalam merangkum data ini, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan riset terhadap 84.000 balita dalam bentuk Hasil Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI). “SSGBI ini bertujuan menghitung prevalensi balita underweight, balita stunting, dan balita wasting atau kurus,” tutur Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS, Gantjang Amanullah dalam kesempatan yang sama. Hasilnya, prevalensi balita underweight atau gizi kurang tahun 2019 berada pada angka 16,29 persen. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 1,5 persen dari tahun lalu. Kemudian prevalensi balita stunting pada 2019 sebanyak 27,67 persen, turun sebanyak 3,1 persen dari tahun lalu. Sementara itu untuk prevalensi balita wasting (kurus), berada pada angka 7,44 persen. Angka ini turun 2,8 persen dari tahun lalu.
Meski demikian, angka 27,67 persen masih tinggi sebagaimana ambang batas prevalensi stunting dari WHO mengategorikan angka stunting 20 sampai kurang dari 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen sangat tinggi.
Gentingnya masalah stunting membuat sejumlah pihak meminta solusi konkret dari kedua pasangan capres dan cawapres pada debat pilpres 2019. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta, para cawapres membahas soal stunting dalam debat antara cawapres Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Masih soal stunting, menilik dari kacamata lain, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Umi Lutfiah berpendapat kedua pasangan capres dan cawapres perlu lebih fokus pada remaja perempuan. Karena untuk melahirkan generasi bebas stunting di kemudian hari, para remaja perempuan ini harus memiliki gizi baik terlebih dahulu.
Seiiring menguatnya desakan banyak pihak agar pemerintah serius menurunkan angka stunting, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko didukung Mentan akan meluncurkan gerakan nasional setiap keluarga memelihara satu ekor ayam untuk mencegah stunting. https://www.cnnindonesia.com
Stunting Tanggung Jawab Siapa?
Miris. Indonesia yang notabene digadang-gadang akan mengalami kemajuan, sebagaimana yang disampaikan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2038 dan saat ini Indonesia tengah berupaya keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) ternyata memiliki kasus stunting di hampir seluruh wilayahnya.
Mengapa ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan? Tiada lain adalah karena menyangkut kehidupan generasi. Aset yang sangat berharga bagi peradaban selanjutnya. Sehingga ini menjadi persoalan serius di Indonesia karena menentukan kualitas generasi masa depan, Penyebab stunting adalah praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, dan pembelajaran dini yang berkualitas. Selain itu, gagal tumbuh bisa terjadi karena kurangnya akses rumah tangga atau keluarga ke makanan bergizi, kurangnya akses ke air bersih, serta sanitasi yang buruk. Karena itu, semua faktor penyebab harus ditanggulangi agar stunting dapat diberantas dengan tuntas.
Kebiasaan hidup keluarga yang tidak sehat saat ini sesungguhnya adalah buah pahit dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Keluarga dipapari berbagai stressor (tekanan), krisis ekonomi dan disfungsi negara. Ujungnya ketangguhan imunitas tubuh melemah, selain berakibat hilangnya fungsi akal. Kelaparan dan gizi buruk terbukti meningkat seiring dengan meningkatnya harga pangan akibat krisis ekonomi.
Tanggung jawab siapakah ini? Tentunya ini menjadi tanggung jawab siapa pun terutama penguasa. Sepatutnya negara tidak sekedar membuat gerakan nasional yang bertumpu pada keaktifan anggota masyarakat yang menjalaninya. Namun negara dituntut membuat kebijakan yang menyeluruh menghapus kemiskinan dengan pengelolaan yang benar terhadap sumber daya alam, memaksimalkan pemberian layanan kebutuhan masyarakat secara gratis berkualitas. Mengandalkan pada gerakan nasional menjadi ukuran makin lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan kemaslahatan rakyat
Islam Mengatasi Stunting
Bagaimanakah tuntunan Islam untuk menghindari dan mengatasi stunting? Islam sangat memperhatikan pertumbuhan anak di awal-awal kehidupannya. Alquran memberi tuntunan kepada orang tua, khususnya ibu, untuk memberikan asupan gizi yang sangat tinggi nilainya, yakni pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif untuk anak yang baru lahir sampai berumur 2 tahun (QS al Baqarah : 233).
Penelitian kesehatan modern menemukan bahwa air susu yg keluar pertama kali dari seorang ibu yang melahirkan mengandung colostrum, yang sangat baik untuk bayi karena mengandung anti bodi atau daya imun bagi si bayi yang sangat baik untuk pertumbuhan dan kesehatan selanjutnya.
Begitu pentingnya ASI bagi anak yang baru lahir sampai berumur 2 tahun, Islam mewajibkan peran perempuan sebagai ibu yang mengasuh (hadhonah) anak agar tidak binasa bukan sebagai pencari nafkah. Deraan kemiskinan memaksa para ibu membanting tulang, padahal diantara mereka ada ribuan ibu hamil dan ibu menyusui. Bagi ibu menyusui kelelahan fisik dan mental akibat beban ganda yang harus dipikulnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas ASI. Ini antara lain semakin banyak bayi tidak diberi ASI, disamping faktor keterbatasan waktu, dan gencarnya iklan susu formula. Padahal ASI ditinjau dari banyak aspek adalah makanan terbaik untuk bayi dan penting untuk membangun imunitas bayi. Lebih dari itu, pemberian ASI disyariatkan Allah Swt (lihat QS. al-Baqarah: 233). Jadi, tidak saja pola makan anak dan ibu yang tidak sehat, tetapi juga bayi.
Kelelahan fisik dan mental yang diderita ibu hamil berpengaruh negatif terhadap hormon yang dibutuhkan untuk melahirkan alami. Hal ini antara lain menjadi penyebab semakin banyak kelahiran caesar. Padahal bayi lahir melalui caesar daya tahan tubuhnya jelas tidak sebaik bayi lahir melalui jalan alami. Hal ini karena jalan lahir alami didesain Allah SWT sebagai latihan awal dan pematangan sejak dini sistem imun bayi.
Kondisi ini diperparah oleh krisis air bersih yaitu akibat industrialisasi dan kapitalisasi sumber daya alam, juga air. Akhirnya, lebih dari separuh masyarakat jauh dari sanitasi yang layak. Berbagai kuman patogen mewabah. Demikian pula vektor penyebar penyakit menyerang tubuh bayi, balita dan anak yang telah kehilangan ketangguhan sistem imunnya.
Di sisi lain, penyakit justru jadi objek kapitalisasi. Akibatnya, biaya berobat tidak saja mahal, tetapi juga layanan kesehatan yang justru memperparah penyakit yang diderita dan bahkan mengancam jiwa, selain tidak memperhitungkan halal dan haram.
Mewujudkan pola hidup sehat keluarga berarti mewujudkan kebiasaan beremosi/berkecenderungan dan berperilaku sesuai syariah Islam. Hal ini mengharuskan pembentukan kepribadian Islam melalui penerapan sistem pendidikan Islam dan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.
Kepribadian Islam mendorong individu keluarga untuk mewujudkan pola makan yang sehat (lihat QS. al-Maidah: 88), selain jaminan ketersediaan pangan yang halal dan baik, termasuk air bersih hingga tingkat rumah tangga (harga terjangkau dan mudah diakses).
Penerapan syariah yang kaffah berarti negara kembali menjalankan fungsinya sebagai pengurusan masyarakat, seperti menjamin pemenuhan pokok publik, menyediakan lapangan kerja, membebaskan barang milik umum dari kapitalisasi. Hal ini jelas dengan sendirinya membebaskan keluarga dari berbagai stressor; mendorong terwujudnya pola aktivitas keluarga yang sehat; ibu terbebas dari peran ganda yang menyalahi fitrah dan beban mencari nafkah keluarga kembali berada di pundak ayah. Hal ini akan terealisasi dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam.
Bersamaan dengan itu, sistem Islam akan menghentikan program penanggulangan penyakit yang merupakan agenda penjajahan, dan justru membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu dengan membatalkan berbagai kesepakatan dan kerjasama dengan lembaga internasional serta bantuan pembiayaan kesehatan dari pihak asing. Sebab, demikianlah perintah Allah Swt dalam QS. an-Nisa’: 141.
Termasuk bagian penting dari pola hidup sehat keluarga adalah kemudahan untuk mengobati berbagai penyakit yang diderita. Sistem Islam akan mewujudkannya dengan membebaskan layanan kesehatan dari segala unsur kapitalisasi. Tidak hanya gratis dan mudah diakses oleh semua anggota masyarakat, tetapi juga berkualitas yaitu cepat dan tepat dalam pengobatan menurut syariah Islam. Sistem Islam mampu mewujudkan semua itu antara lain dengan cara mengelola Baitul Mal secara efektif. Melalui penerapan sistem Islam-lah, yang hanya dengannya kebiasaan hidup keluarga yang sehat akan terwujud. *** Wallahua’lam bish-shawab.