Oleh: Ai Iim
Tanaman ganja atau Cannabis Sativa kini ramai diperbincangkan. Betapa tidak, setelah adanya pernyataan dari Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan bahwa ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan. Kebijakan tersebut termaktub dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sejak 3 Februari 2020.
Namun Setelah muncul reaksi dari publik dan instansi pemerintah lainnya, Kementan mencabut kembali pernyataannya dengan alasan akan direvisi dengan melibatkan sejumlah lembaga yang berkaitan dengan penggunaan ganja, dan berkoodinasi dengan stakeholder terkait (BNN, LIPI dan Kemenkes).
Munculnya kontroversi ini berawal dari pemberitaan seorang warga yang sengaja menanam ganja, dia menanam ganja dengan alasan sebagai obat medis. Hingga ada pihak tertentu yang mengusulkan pada pemerintah agar ganja dilegalkan di Indonesia.
Usaha untuk melegalkan ganja sebenarnya bukan hanya menantang norma hukum, tetapi juga norma agama. Dalam Islam narkotika jelas dilarang, seperti yang tertuang dalam fatwa MUI yang ditetapkan pada 10 Februari 1976. Salah satu ayat Firman Allah yang menjadi landasan adalah Annisa ayat 29 (QS. 4:29) yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu (dengan mencapai sesuatu yang membahayakanmu). Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanaman ganja selama ini masuk dalam jenis narkotika golongan I. Selain ganja, jenis narkotika golongan I yang lain adalah sabu, kokain, opium, heroin.
WHO pun menyatakan bahwa penggunaan ganja memiliki efek yang buruk bagi kesehatan seperti merusak perkembangan kognitif, kinerja psikomotorik, cedera epitel trakea dan bronkus mayor, dan lainnya. Alasan lain kenapa ganja dan narkotika yang lain diharamkan adalah karena efek dari penggunaannya yang sama seperti khamar (sesuatu yang memabukkan). Rasullullah bersabda: “Tiap-tiap barang yang memabukan haram” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berbobat dengan sesuatu yang haram”.
Dengan melihat dari hadist tersebut dan fatwa yang sudah dikeluarkan MUI, ganja tetap tidak diperbolehkan. Meskipun untuk alasan kesehatan. Dalam hukum Islam, segala sesuatu yang telah diharamkan tidak boleh dimanfaatkan. Karena masih banyak tanaman halal yang manfaatnya sama seperti ganja.
Namun pemerintah saat ini malah melakukan ekspor impor barang haram tersebut dengan tujuan untuk meraup keuntungan. Padahal semestinya standar perbuatan manusia adalah halal dan haram. Namun sistem sekuler yang saat ini diterapkan mengadopsi azas manfaat, sehingga selama ada manfaat yang bisa diambil maka akan di kerjakan.
Hal ini terlihat jelas bahwa negara tidak mampu mewujudkan kebijakan yang dapat menjamin rasa aman terhadap kemaslahatan fisik.
Saat ini umat membutuhkan pemimpin yang bisa melayani dan melindungi umat dari semua persoalan, termasuk dalam penggunaan obat dari sisi halal dan haram serta dengan harga terjangkau. Tentunya hal ini akan dapat tereujud dalam sistem islam sebagai pengatur kehidupan. ***
Wallahu àlam bishowab