Hindari Kecurangan Pemilu secara Terstruktur, APDI Minta Polri Netral

0
295
Ketua dewan penasehat APDI Mayjen TNI (Purn) Suprapto (tengah) didampingi Ketua Umum APDI Wa Ode Nur intan (kanan) dan Ketua Bidang Humas APDI Eman Sulaeman Nasim (kiri) saat memberikan keterangan pers. (foto: ist)

Kliksumatera.com, JAKARTA- Aliansi Penggerak Demokrasi Indonesia (APDI) meminta Pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Untuk bersikap netral dan Profesional dalam menghadapi Pesta Demokrasi khususnya Pemilihan Presiden yang sudah berlangsung selama beberap hari. Polri harusnya menjaga transparansi penghitungan suara dengan cara mempersilahkan saksi dari kedua kubu calon presiden (Capres) serta pengamat dan pemantau untuk menyaksikan proses penghitungan suara atau rekapitulasi hasil pemilihan dari setiap tempat pemungutan suara (TPS) di setiap kelurahan dan Kecamatan. Bukan Justru melarang saksi dari salah satu kubu Capres dan Pemantau yang sudah diakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Dalam Pilpres kali ini berkembang opini publik, banyaknya oknum aparatur sipil negara atau ASN yang diminta salah satu kubu Capres untuk membantu memenangkan jagoannya. Sehingga Pemilihan Umum ini dipenuhi kecurangan. Karena itu, harusnya pihak Polri menciptakan iklim yang kodusif dengan menciptakan transparansi. Bukan justru memperkuat asumsi masyarakat bahwa Pemilu kali ini dipenuhi kecurangan,” papar Penasehat APDI Mayjen (Purn) TNI Suprapto, kepada pers Selasa (23/4) di Sekretariat APDI kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Ketua Umum APDI Wa Ode Nur Intan, dan kepala Humas merangkap juru bicara APDI Eman Sulaeman Nasim serta Ketua bidang jaringan dan Program Suparlan.

Mayjen TNI (Purn) Suprapto menyampaikan hal tersebut berkaitan dengan banyaknya laporan dari masyarakat di berbagai daerah termasuk di DKI Jakarta yang masuk ke APDI yang menyebutkan banyaknya saksi dan pemantau yang akan menghadiri proses rekapitulasi penghitungan suara di Kecamatan di halangi pihak Kepolisian yang bertugas di kecamatan. Alasannya mengganggu proses rekapitulasi.

Lebih lanjut Pensiunan Jenderal Bintang Dua ini menjelaskan, untuk menciptakan transparansi dalam Pilpres, Polri seharusnya membiarkan saksi dari dua kubu Capres dan kalangan pengamat yang sudah diakreditasi Bawaslu seperti APDI, untuk menyaksikan proses rekapitulasi penghitungan suara di kelurahan maupun di Kecamatan bahkan di tingkat kabupaten. Sebab, kalau rekapitulasi di tingkat kecamatan dan Kabupaten dibiarkan tertutup akan memperkuat opini publik yang sedang berkembang, bahwa kecurangan dalam penghitungan suara yang dilakukan pihak tertentu untuk memenangkan Capres dan Parpol tertentu benar adanya. Bahkan dilindungi aparat keamanan negara. Kalau asumsi seperti itu semakin kuat akan membuat hasil perhitungan suara dan hasil Pemilu tidak akan diterima masyarakat. Hal ini akan membahayakan kelangsungan demokrasi di negara yang kita cintai ini.

“Seharusnya selagi para saksi dari dua kubu dan pengamat ini bersikap baik, damai dan tidak membuat keributan dan perusakan. Polisi harus mempersilahkan para saksi hadir dan menjadi saksi proses rekapitulasi hasil pemungutan suara di tingkat kecamatan atau Kabupaten. Kalau para saksi melakukan tindakan kriminal berupa perusakan atau keributan, bolehlah diamankan dan dibawa ke meja hijau atau pengadilan. Namun selagi semuanya berlangsung damai apalagi niatnya baik, mencegah kecurangan. Polisi harus mendukung dengan cara membiarkan mereka masuk dan menyaksikan proses penghitungan suara. Sehingga proses rekapitulasi berjalan secara transparan dan diterima semua pihak,” tegas mantan Pangdam VII Wirabuana ini.

Mantan Asisten Teritorial (Aster) Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini juga mengingatkan, Polri adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta kedamaian masyarakat. Bukan alat penguasa. Karena itu, Polri tetap harus profesional dan netral. Tidak boleh berpihak kepada salah satu kubu Capres yang ikut berkompetisi dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan anggota lesgilatif. Meski salah satu pasangan calon presiden yang ikut berkontestasi adalah Petahana atau yang sedang berkuasa saat ini. Polri tidak boleh berpihak.

“Saya yakin Pak Tito karnavian sebagai satu satunya Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal yang tingkat intelektualitasnya sangat tinggi terpanggil untuk mengatasi keadaan ini dengan segera memerintahkan jajaran dibawahnya bekerja secara profesional jujur dan adil, dengan tidak berpihak pada salah satu kubu Capres. Hal ini untuk menyelamatkan demokrasi dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai. Sekaligus menghindari munculnya konflik horizontal,” papar Mayjen TNI (Purn) Suprapto.

Pilpres Paling Buruk

Di tempat yang sama, Ketua APDI Wa Ode Nur Intan menyampaikan, pihaknya menerima laporan dari berbagai masyarakat dari seluruh Indonesia tentang berbagai kecurangan. Kecurangan kecurangan itu antara lain adanya penggelembungan jumlah perolehan suara salah satu Capres. Adanya petugas TPS yang melakukan pencoblosan berkali kali terhadap Capres tertentu di lembar suara Pilpres. Tidak melakukan penjumlahan dan mengosongkan kolom jumlah perolehan suara. Pembakaran kotak suara dan gudang tempat penyimpanan kotak dan ketas hasil pencoblosan. Perampasan photo maupun kertas C1 hasil penghitungan suara oleh pihak tertentu.

“Orang –orang kami sudah berusaha melaporkan berbagai indikasi kecurangan dan pelanggaran ini. Namun Laporan tersebut tidak pernah ada follow up dari aparat terkait. Baik Kepolisian maupun Bawaslu. Sehingga kami menilai, ada kecurangan yang terencana dan terstruktur. Karena itu kami menilai Pilpres maupun Pemilu kali ini adalah pemilu paling buruk sejak reformasi 1998,” papar Wa Ode Nur Intan.

Baik Mayjen TNI (Purn) Suprapto maupun Eman Sulaeman Nasim berpendapat, kisruhnya Pemilu kali ini karena adanya indikasi keberpihakan oknum aparat baik aparat keamanan maupun ASN kepada salah satu Capres. Hal ini selain bertentangan dengan hukum juga melanggar azas Pemilum Jujur dan Adil. Karena itu, oknum aparat keamanan dan ASN yang melanggar undang-undang dan bersikap tidak jujur, harusnya diproses hukum. Sehingga menimbulkan efek jera dan pesta demokrasi berikutnya tidak lagi ada kecurangan dan keterlibatan aparat negara dalam mendukung salah satu pihak yang ikut berkontestasi.

“Kami berharap, seluruh komponen yang ada di masyarakat tetap bersatu dan menjaga silaturahim. Perbedaan politik yang ada karena pilihan Capres, tidak perlu mengganggu silaturahim. Perbedaan pilihan politik jangan sampai merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Yang saat ini perlu kita awasi adalah input data di KPU dan KPUD. Agar mereka bekerja dengan jujur dan profesional. Sehingga tidak merugikan kelompok dan kubu siapapun. Dengan demikian hasil real count KPU nanti bisa diterima seluruh lapisan masyarakat dan semua pihak. Keutuhan bangsa dan kemajuan negara dapat terus kita pertahankan,“ papar Kabid Humas APDI Eman Sulaeman Nasim.

Laporan : Eman
Editor/Posting : Imam Ghazali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here