Investasi Asing Penjajahan Terselubung

0
317

Oleh : Hj.Padliyati Siregar ST

Hubungan Indonesia dengan China memang cukup erat baik dari perdagangan dan investasi, tetapi tak terbebas dari sejumlah masalah dan ancaman.
Peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan bahwa terdapat masalah serius terkait investasi China di Indonesia dan perlu menjadi perhatian.

Masalah peningkatan utang luar negeri Indonesia dari China dan potensi perangkap utang. Apa yang terjadi di Srilangka, Zimbabwe, bisa menjadi pelajaran buat Indonesia ,kita tidak berharap Indonesia akan seperti itu, tetapi tanda dari indikasi tersebut ada.

Begitu ketergantungan Indonesia dengan China justru mengarah kepada isu hak asasi manusia (HAM).  Bagaimana ketergantungan Indonesia dengan China, perdagangan dan investasi, mendorong Indonesia tidak memiliki posisi yang kuat terhadap Laut China Selatan.

Bahkan menurut penelitian yang Fikar paparkan, Indonesia hanya mampu memonitor kapal China yang masuk ke laut Indonesia, tanpa perlawanan.
Ketika ada konflik China-Taiwan, kita [Indonesia] juga diam. Ketika PBB mau berdebat soal Uighur, kita bilang ‘enggak’. Ketergantungan ekonomi kita sudah membuat kita nggak berani berbicara terkait isu HAM yang berkaitan terhadap China.

Lebih mengkhawatirkan lagi, dengan Indonesia dan China yang telah menandatangani Local Currency Settlement (LCS), di mana dua negara menggunakan yuan dan rupiah dalam transaksi ekonomi karena Negara Tirai Bambu itu gemar melakukan devaluasi mata uang.

Adapun sejak awal era Orde Baru, Barat terutama AS dan diikuti oleh Eropa telah mencengkeram negeri ini dan mengeruk kekayaannya. Caranya melalui investasi korporasi-korporasi multinasional mereka, khususnya di sektor hulu pengelolaan SDA seperti tambang, migas, hutan, dsb.

Selain itu, secara politik dan kedaulatan, negeri ini dikendalikan melalui utang luar negeri yang terus menggunung. Awalnya melalui CGI dan IGGI. Saat kedua lembagai itu dibubarkan, perannya digantikan oleh IMF dan Bank Dunia. Hasil dari penjajahan gaya baru di era Orde Baru itu, pengelolaan berbagai sumber daya alam khususnya di sektor hulu dikuasai oleh asing.

Mayoritas tambang, migas, dan hutan negeri ini dikuasai asing. Rakyat negeri ini akhirnya seolah menjadi tamu di negeri sendiri dalam hal pengelolaan SDA. Hasil kekayaan alam itu pun mengalir deras kepada pihak asing dan hanya menetes kepada penduduk negeri ini.

Cengkeraman dan dominasi asing itu makin dalam sejak masuk era Reformasi. Melalui utang luar negeri, negeri ini benar-benar dikendalikan asing. Akibatnya, hampir semua sistem di negeri ini dibentuk sesuai pesanan, permintaan atau bahkan perintah dari asing melalui IMF dan Bank Dunia. Melalui peraturan perundangan, mulai amandemen, konstitusi hingga pembuatan berbagai undang-undang.

Untuk menerima semua itu di buatlah narasi “Jangan terlalu alergi dengan investasi,” narasi yang dikemukakan pemerintah atau ekonom agar rakyat mau menerima para investor, baik asing maupun swasta. Tentu saja narasi seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang memandang investasi sebagai variabel penentu peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Selain itu, posisi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator sehingga swasta menjadi pelaku utama ekonomi dan negara jadi bergantung pada investasi swasta. Akhirnya, mayoritas rakyat juga bergantung pada swasta.

Konsep inilah yang membuat swasta (korporasi) menjadi penguasa sebenarnya di negara yang menganut sistem kapitalisme. Kekuatan ini menjadikan investasi sebagai alat tawar swasta untuk menekan suatu negara.

Tidak ayal, investasi menjadi penjajahan gaya baru sistem kapitalisme pada era globalisasi. Para ekonom lupa bahwa sistem ini lahir dari asas sekularisme dan prinsip kebebasan. Para pemodal (swasta) akan bersaing dengan penuh tipu daya dan membabi buta untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.

Pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah, jadilah korporasi raksasa yang akan menguasai ekonomi dunia. Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara.

Atas nama investasi, kaum kapitalis menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara berkembang (miskin). Demikian juga SDM-nya diiming-imingi lapangan kerja, tetapi dengan gaji murah.

Kenaikan gaji sulit bisa terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga selalu naik. Akhirnya rakyat menjadi “sapi perah” korporasi.

Belum lagi tambahan hutang ndonesia yang menjadi salah satu dari ratusan negara yang memiliki utang tersembunyi kepada Cina. Secara kolektif, utang yang terlaporkan bernilai sekitar US$385 miliar. Utang tersembunyi Indonesia terhadap Cina setara 1,6% dari PDB.

Utang tersembunyi ini tidak tercatat di lembaga pemerintah. Pasalnya, utang itu bukan disalurkan lewat pemerintah, tetapi melalui perusahaan negara atau BUMN, bank milik negara, dan perusahaan swasta.

Tidak pelak, penetrasi ekonomi Cina terhadap Indonesia kian kuat. Jaringan utangnya sudah sampai level perusahaan strategis negara yang sejatinya merupakan aset bangsa. Semestinya, ini memantik kesadaran bahwa kedaulatan Indonesia sedang dipertaruhkan. Cina tentu tidak mau merugi dan menghendaki tumbal yang lebih besar dari sekadar nominal utang yang mereka berikan.

Sesungguhnya, utang luar negeri, terkhusus yang berwujud pendanaan proyek-proyek di dalam negeri, menyimpan bahaya besar (dharar) bagi negeri-negeri Islam. Bagaimanapun, utang ini menimbulkan penderitaan umat karena memang tabiat kapitalisme adalah untuk menjajah suatu negara. Hal ini tidak terkecuali oleh Cina melalui penggelontoran utang kepada Indonesia.

Haram

Dalam pandangan Islam, utang luar negeri adalah haram. Utang luar negeri berbasis riba dalam kerangka negara korporasi adalah haram. Ini harus dihindari agar negara tidak berada dalam penguasaan negara lain apalagi negara kafir.

Tak hanya keharaman dari sisi riba,tetapi juga dari sisi keharaman yang belum teredukasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat terutama pada umat Islam sendiri akibat paham sekularisme. Haram memberi jalan penjajahan untuk orang kafir atau negara kufur.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat Al-Qur’an dalam surat An-Nisa [4]: 141

…وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

 

Investasi Dalam Negara Islam

Dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan wajib terikat pada syariat Islam. Oleh karena itu, siapapun yang ingin terlibat dalam investasi harus memahami hukum-hukum syariat secara seksama. Dengan begitu, ia bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam.

Dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal haruslah diperoleh secara halal, baik dari harta milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal.  Investasi dalam sektor pertanian, perindustrian, hingga perdagangan harus sesuai Islam. Dalam aspek industri, misalnya, beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual-beli, perdagangan internasional, dan istishnâ’.

Sebaliknya, beberapa model transaksi haram diterapkan dalam kegiatan investasi seperti riba, judi, pemberian harga yang tidak wajar, penipuan, penimbunan, dan keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga pasar. Termasuk dalam hal ini adalah model kerja sama yang mengadopsi model Kapitalisme seperti saham, asuransi dan koperasi. (Al-waie.id, Investasi dalam Islam)

Perbedaan mendasar antara investasi dalam Islam dan kapitalisme adalah batasan kepemilikan. Dalam ekonomi kapitalisme, mereka hanya mengenal kebebasan kepemilikan. Dengan prinsip ini, siapapun yang bermodal, berhak memiliki apapun yang bisa diperjualbelikan. Tak terkecuali aset-aset yang menjadi milik publik seperti barang tambang, sungai, laut, bandara, pelabuhan, tol, jalan raya, dan sebagainya.

Sementara dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan negara. Dalam hal kepemilikan umum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada individu atau swasta. Satu-satunya pihak yang berhak mengelola harta milik umum adalah negara. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat. Karena pemilik kekayaan milik umum sejatinya adalah rakyat.

Mengutip dari laman Al-waie.id, Imam Syafii, sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Mawardi,  menyatakan: “Asal barang tambang ada dua. Apa yang zhâhir seperti garam yang dijumpai manusia di pegunungan, tidak boleh diberikan sedikitpun dan manusia berserikat atasnya. Demikian pula dengan sungai, air dan tanaman yang tidak dimiliki seseorang. Abyadh bin Hammal telah meminta kepada Nabi saw. agar diberi tambang garam Ma’rib. Lalu ia diberi. Namun, ketika dikatakan kepada beliau bahwa tambang itu seperti air yang mengalir, maka beliau menjawab, ‘Jika demikian, tidak boleh.’”

Imam Syafii melanjutkan, “Serupa dengan barang tersebut, yaitu barang yang zhâhir seperti minyak, asphalt, sulfur, batubara (bitumen) atau batu yang zhâhir yang tidak dimiliki seseorang. Barang-barang itu seperti air dan padang gembalaan; manusia memiliki hak yang sama atasnya.”

Selain itu, barang-barang itu terkait dengan kepentingan umum tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), ataupun pemerintah menguasakan barang itu kepada pihak tertentu. Beliau mencontohkan jika aliran air dan jalan-jalan yang merupakan ciptaan Allah SWT yang sangat melimpah dan dibutuhkan, dimiliki oleh pihak tertentu maka ia akan berkuasa untuk melarang penggunaannya.

Beliau mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil bahwa hal itu akan menyulitkan manusia. Jika ia mengambil kompensasi maka ia akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah SWT untuk memberikan keumuman kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Demokrasi telah menunjukkan boroknya di segala lini. Ia menghasilkan pemimpin kapitalis yang rakus, kebijakan yang menyusahkan rakyat, regulasi yang berpihak asing, utang ribawi, dan segudang problem turunan yang akan dihadapi Indonesia.

Indonesia harus paham. Negara yang menghidupi rakyatnya dengan utang hanya akan meninggalkan setumpuk masalah di masa mendatang. Negara yang hanya mengandalkan investasi dari pihak lain juga hanya akan menjadi bulan-bulanan kepentingan kapitalis. Investasi asing dan utang luar negeri adalah jebakan ekonomi kapitalisme. Indonesia kian terjajah. Negara mandiri hanya mimpi belaka.

Semua ini akibat sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan. Mestinya sederat fakta negeri ini memberi kesadaran pada kita. Apa yang diharapkan dari demokrasi kapitalisme? Rakyat dikorbankan, kekayaan alam dirampok atas nama kebebasan kepemilikan.

Sistem khilafah Islam memiliki sejumlah keunggulan dibanding demokrasi. Ia terbukti sebagai sistem yang stabil, antikrisis, dan memberi keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Campakkan demokrasi, perjuangkan khilafah sebagai alternatif sistem yang mendunia. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here