Oleh : Amy Sarahza
Baru-baru ini netizen Indonesia menyoroti sebuah potongan video ceramah seorang ustadzah yang ramai beredar di media sosial seputar kisah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang istri. Isi dari ceramah tersebut menceritakan seorang istri yang ditampar suaminya. Namun sang istri berusaha menutupi aib suaminya tersebut. Timbul perdebatan di kalangan netizen karena ceramah tersebut dianggap menormalisasi perbuatan KDRT.
Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang KDRT? Dan benarkah suami memukul istri adalah aib yang harus ditutupi?
KDRT Dilarang dalam Islam
KDRT dilarang dalam Islam, bahkan terbilang haram. Sebab KDRT tergolong kekerasan dan hal yang zalim. Dalam hadist dijelaskan bahwa tidak boleh seseorang melakukan keburukan dan kerusakan kepada orang lain. Cemberut saja tidak baik, apalagi kekerasan seperti memukul, bahwa KDRT adalah bentuk kezaliman dan bukan suatu hal yang bisa dinormalisasi. Nabi Muhammad SAW tidak pernah memukul istri, dan Nabi menyindir orang yang suka memukul kemudian disebut itu bukan orang yang berakhlak baik.
Dalam Islam disebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk beribadah dan membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Ketiga istilah itu memiliki arti tenteram, penuh cinta kasih, dan mendapatkan rahmat.
Istilah sakinah mawaddah warahmah kan terkenal sekali, apakah memukul termasuk sakinah? Apakah Suami Memukul Istri Aib yang Harus Ditutupi?
Melaporkan KDRT yang dialami bukanlah suatu aib. Pada masa Nabi Muhammad SAW ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi SAW dan menceritakan suaminya yang telah memukulnya.
Hal itu tersebut tidak disebut aib oleh Rasulullah SAW. Jadi menceritakan suami memukul itu bukan aib, yang aib itu suami memukulnya. Dan aib itu harus dihilangkan, kemungkaran itu harus dihilangkan. Menceritakan kekerasan yang dialami dengan tujuan untuk mencari solusi dan tidak terulang lagi adalah bukan bagian menceritakan aib yang dilarang. Ini merupakan bagian dari gerakan ‘amar ma’ruf’ dan ‘nahi mungkar’.
Gerakan untuk menguatkan daya dorong (amar ma’ruf) kita semua untuk selalu berbuat baik, sekaligus daya tahan (nahi munkar) kita semua agar tidak terjerumus pada tindakan-tindakan buruk dan zalim.
Normalisasi kekerasan pada perempuan yang kerap terjadi ini juga bersumber dari cara pandang masyarakat terhadap perempuan itu sendiri. Tak sedikit yang masih memandang bahwa perasaan perempuan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh pria. Menormalisasi kekerasan ini merupakan tanda bahwa pria ingin menjadi penguasa mutlak.
Pria dan perempuan itu kuasa mutlaknya kepada Allah SWT. Kalau kuasa mutlaknya kepada Allah, maka pria dan perempuan sama-sama menyadari bahwa mereka hamba yang tidak saling merasa lebih mutlak dari yang lain. Dan karena sama-sama hamba, kuasanya harus mengikuti perintah-perintah Allah, yaitu untuk berbuat baik, untuk berbagi, untuk bekerja sama, bukan membiarkan kekerasan.
Pemukulan istri adalah bagian dari perilaku buruk, yang tidak sesuai dengan akhlaq karimah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, dan tidak sejalan dengan visi Islam rahmatan lil
Kekerasan Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, kekerasan merupakan perbuatan yang dilarang, baik kepada sesama Muslim atau sesama manusia yang berbeda agama dan keyakinan. Dalam khazanah Islam, tindak kekerasan adalah tindakan penganiayaan atau perbuatan dzalim kepada orang lain yang dilarang, ini juga sejalan dengan yang diterangkan dalam Alquran, “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengaiaya)” (surat Al A’raf ayat 33)
Selain itu dijelaskan dalam sebuah hadits di dalam kitab Shahih Al-Bukhary, riwayat Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang di sisinya ada sesuatu dari hasil penganiayaan untuk saudaranya, baik yang mengenai keperwiraan atau kehormatan saudaranya itu atau pun sesuatu yang lain, maka hendaklah meminta kehalalannya pada hari ini – semasih di dunia, sebelum tidak lakunya dinar dan dirham.
Jika tidak meminta kehalalannya sekarang ini, maka jikalau yang menganiaya itu mempunyai amal shalih, diambillah dari amal shalihnya itu sekadar untuk melunasi penganiayaannya, sedang jikalau tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambillah dari keburukan-keburukan orang yang dianiayanya itu, lalu dibebankan kepada yang menganiayanya tadi.”
Dinyatakan juga di dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Jabir bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Takutlah engkau semua -hindarkanlah dirimu semua- akan perbuatan menganiaya, sebab menganiaya itu akan merupakan berbagai kegelapan pada hari kiamat.”
Namun demikian, bila terdapat bukti kuat seseorang melakukan tindakan kriminal atau pelanggaran hukum dapat diberikan saksi hukuman fisik atau disebut juga tazir. “Pelaku aksi massa yang melakukan tindakan melawan hukum, di dalam Islam juga dapat memperoleh sanksi dilukai fisiknya sebagai bentuk hukuman jika pemerintah telah membuat aturannya dalam ranah hukum pidana Islam. Sanksi seperti ini bukanlah tindak kekerasan, tetapi sebagai bentuk hukuman. Misalnya dalam bentuk Ta’zir, ta`zir adalah bahagian dari ‘uqubat (hukuman) dalam hukum pidana Islam atau balasan terhadap sesuatu jarimah (kesalahan) berupa maksiat yang telah dilakukan oleh seseorang. Ada beberapa bentuk ‘uqubat dalam hukum pidana Islam yakni arimah hudud dan jarimah diyat atau qisas, dan jarimah ta’zir.
Ta’zir adalah hukuman yang telah ditentukan untuk jarimah ta’zir. Bentuknya bermacam-macam, tetapi penentuannya diserahkan kepada pihak pemerintah atau yang berwenang, yaitu lembaga legislatif atau hakim (waliyul amri atau imam). ***