
Oleh : Hj. Padliyati Siregar ST
Di setiap keadaan selalu saja ada yang memancing di air keruh, termasuk di saat wabah Virus Corona seperti sekarang. Kelompok-kelompok sayap kanan di berbagai negara menggunakan momen Corona untuk menyerang umat Islam, memicu Islamofobia dengan rumor dan hoaks.
Peristiwa ini terjadi tidak hanya di negara Barat seperti Inggris atau Amerika Serikat, tapi juga di Asia, tepatnya di India. Polisi Inggris awal bulan ini menyelidiki kelompok sayap kanan yang menyebar rumor soal Muslim.
Diberitakan The Guardian, kelompok supremasi kulit putih menggunakan media sosial untuk memfitnah warga Muslim. Di Facebook dan Twitter, mereka menyebar foto dan meme salat berjemaah di masjid Inggris untuk menunjukkan bahwa warga Muslim melanggar physical distancing dan semakin menyebar corona.
Di tengah pandemic covid, umat Islam di berbagai negeri menjadi korban tindakan diskriminasi dan kebencian warga nonmuslim. Muslim dituduh menjadi sumber sebaran wabah (kasus jamaah Tabligh) dan sengaja menyebar virus untuk membunuh nonmuslim (#coronajihad).
Islamofobia adalah penyakit akut masyarakat sekuler yang mengampanyekan antidiskriminasi dan kesetaraan. Faktanya, selalu muncul kasus-kasus islamofobia yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir bahkan menjadi bahan kampanye para politisi.
Saat ini Islamofobia terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang dengan sengaja diciptakan untuk menebar ketakutan terhadap simbol Islam dan ajaran Islam.
Dalam laporan pusat kajian Ras dan Gender Universitas California-Berkeley, menunjuk pada sejumlah sikap yang lahir dari serangkaian pandangan terhadap Islam. Islam adalah agama yang monopolitik (tunggal-kaku tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru.
Islam juga tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan agama-agama besar lainnya. Islam adalah agama inferior dalam pandangan Barat. Merupakan agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional.
Bahkan Islam dianggap agama kekerasan dan mendukung terorisme. Hingga wajar Islam merupakan ideologi politik yang buas.
Isu yang terus ditiupkan oleh negara-negara kafir penjajah, dan antek-anteknya adalah Islam agama intoleran, eksklusif, antikebhinnekaan, dan predikat negatif lainnya.
Karena itu, berbagai serangan masif dilakukan terhadap Islam dan kaum Muslim agar mereka tidak bersatu. Serangan itu targetnya jelas, melakukan penyesatan berpikir dan politik umat, agar mereka tetap lemah, tak berdaya dan dijajah. Jumlah mereka banyak, tetapi seperti buih di tengah lautan
Inilah yang menjadi bukti kerusakan masyarakat sekuler dan kegagalan sistem menciptakan integrasi/keharmonisan masyarakat.
Islam Menyatukan keberagaman
Islam menjadikan akidah yang menjadi dasar negara. Dengan dijadikannya akidah ini sebagai dasar, sumber hukum, pemikiran dan peradaban, baik Muslim maupun non-Muslim, maka mempunyai kaidah dan standar berpikir yang sama dengan umat Islam. Pada saat yang sama, akidah juga menjadi kepemimpinan berpikir bangsa-bangsa yang hidup di bawah naungan khilafah. Karena itu, jangan heran, jika orang Kristen bisa menulis kitab fikih, seperti Syarah al-Majallah, dalam mazhab Hanafi, yang ditulis oleh Salim al-Baz. Ini bukti, bahwa akidah Islam menjadi standar dan kepemimpinan berpikir rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim.
Keberhasilan Islam lainnya adalah meleburkan rakyat yang hidup di bawah naungan negara khilafah, meski mereka sangat heterogen dan majemuk. Mereka dilebur dalam satu wadah, masyarakat dan negara.
Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant, dalam the Story of Civilization, ketika menggambarkan bagaimana keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi, dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Will Durant menuturkan, orang-orang yang Yahudi yang ditindas oleh Romawi, membantu kaum Muslim yang datang untuk membebaskan Spanyol. Mereka pun hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
Para pemuda Kristen yang dianugerahi kecerdasan pun mempelajari fiqih dan bahasa Arab bukan untuk mengkritik atau meruntuhkannya, tetapi untuk mendalami keindahan gaya bahasanya yang luar biasa. Mereka pun membelanjakan banyak uang mereka untuk memenuhi perpustakaan mereka dengan referensi Islam dan bahasa Arab. [Will Durant, Qishat al-Hadharah, juz XIII/296-297].
Kunci Sukses Integrasi
Rasulullah SAW wafat setelah seluruh Jazirah Arab masuk Islam, dan tunduk di bawah naungan khilafah. Para Khulafa’ Rasyidin, selepas Nabi SAW mengikuti jejak baginda. Mereka membebaskan Irak yang penduduknya sangat heterogen. Ada yang beragama Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster dan ada pula yang berbangsa Arab dan Persia. Setelah itu, Persi menyusul. Penduduknya terdiri dari orang-orang non-Arab, Yahudi dan Romawi, namun mereka memeluk agama yang dipeluk bangsa Persia.
Syam juga jatuh ke tangan para Khulafa’ Rasyidin. Ketika itu, Syam adalah koloni Romawi, berperadaban Romawi, dan memeluk Kristen. Penduduknya terdiri dari bangsa Suriah, Armenia, Yahudi, sebagian Romawi. Afrika Utara yang penduduknya Barbar dan di bawah kekuasaan Romawi akhirnya juga jatuh ke pangkuan kaum Muslim.
Setelah itu, dilanjutkan oleh khilafah-khilafah berikutnya. Menariknya, semua perbedaan itu berhasil dilebur dan diintegrasikan oleh Islam di bawah naungan khilafah. Mereka menjadi umat yang satu, yang disatukan oleh agama, bahasa, tsaqafah dan undang-undang.
Di balik kesuksesan itu, ada empat hal mendasar yang membuat proses integrasi berbagai bangsa dengan latar belakangnya yang sangat komplek itu berhasil diwujudkan: (1) Perintah Islam; (2) Pembauran kaum Muslim, sebagai penakluk dengan bangsa-bangsa taklukan di tempat tinggal mereka; (3) Masuknya penduduk negeri taklukan ke dalam Islam; (4) Orang-orang yang memeluk Islam diubah secara total dan beralih dari satu keadaan menjadi keadaan yang baru (Islam).
Visi dan Misi Integrasi
Visi Islam menjadi rahmat bagi semesta alam mengharuskan Islam diemban kepada bangsa dan umat lain. Karena itu, Islam mewajibkan dakwah dan jihad, tidak saja diemban oleh negara, tetapi juga individu. Dakwah dan jihad juga dijadikan sebagai metode untuk mengubah masyarakat, bangsa dan umat lain agar bersedia hidup di bawah naungan Islam. Meski tidak ada paksaan bagi bangsa dan umat lain untuk memeluk Islam. Bahkan, mereka berhak dilindungi; agama, harta dan kehormatannya, jika mereka bersedia tunduk kepada Islam, meski tidak harus menjadi Muslim.
Dengan begitu, mereka bisa menjadi warga negara Islam, yang hak-haknya dijamin oleh Islam. Mereka dilihat sebagai individu yang menjadi satu kesatuan dalam masyarakat, bukan dilihat sebagai kelompok, mazhab atau penganut agama tertentu. Karena itu, ketika mereka melakukan kesalahan, mereka pun dikenai sanksi yang sama dengan orang Islam. Begitu juga, ketika hak mereka yang terkait dengan agama, harta, jiwa, kehormatan dan sebagainya, jika dinodai, meski pelakunya Muslim, maka tetap akan dihukum dengan tegas dan seadil-adilnya.
Karena itu, tidak ada diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim, sebagai warga negara. Mereka dijamin sandang, papan dan pangannya oleh negara. Juga pendidikan, kesehatan dan keamanannya pun dijamin. Faktor terbesar yang membawa kesuksesan dalam integrasi itu adalah pembauran kaum Muslim dengan bangsa dan masyarakat setempat.
Perombakan total yang diciptakan Islam dalam diri para pemeluknya dilakukan dengan mengangkat kesamaan akal mereka, lalu di tengah mereka ditanamkan akidah Islam. Di atas kaidah berpikir inilah, semua pemikiran mereka dibangun. Baik dan buruknya pemikiran dibangun dengan standar ini. Mereka mengalami transformasi akidah dan ritual, dari keimanan yang emosional menjadi keimanan yang rasional, dan dari menyembah berhala, api, trinitas dan bentuk penyembahan lainnya yang irasional menjadi menyembah Allah. ***


