KARHUTLA YANG TERUS BERULANG, APA SOLUSINYA?

0
115

Oleh: Muryani

Memasuki musim kemarau sebagian Indonesia mengalami kekeringan salah satunya wilayah Kalimantan.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab karhutla di Indonesia.

Di antara 22 perusahaan tersebut, pemerintah melalui KLHK menuntut ganti rugi kepada PT Kumai Santoso sebesar Rp 175 miliar atas kebakaran lahan di lokasi kebun sawit seluas 3.000 hektare yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Direktur KLHK Thomas Nifinluri mengatakan “pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya pemadaman seiring dengan peningkatan hotspot di wilayah Kalimantan Barat”.

Juli 2023, luas karhutla di wilayah Kalimantan Barat adalah seluas 1.962,59 ha. Angka ini masih 13% lebih rendah jika dibandingkan pada 2022 sepanjang periode yang sama. Namun, luasan karhutla 2023 sangat mungkin meningkat dengan adanya pengaruh El-Nino.

Bukan hanya faktor cuaca, karhutla yang berulang disebabkan karena unsur kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari masalah ini saja, serius tidak, pemerintah untuk mengatasi karhutla?

Tuntutan administratif atau ganti rugi materi sejatinya bernilai kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan karena pembakaran hutan. Tuntutan kepada 22 perusahaan tidak bisa menyelesaikan persoalan fundamental karhutla. masih ada 900 perusahaan yang beroperasi dalam dua ekosistem gambut dan ekosistem hutan yang berpotensi melakukan hal sama jika mereka ingin membuka lahan.

Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, oligarki menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.

Pada mulanya, terbitnya UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian. karena itu, pemerintah mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan pemberian konsesi hak pengusahaan hutan, hak pemungutan hasil hutan, hingga konsesi hutan tanaman industri.

Awalnya memang mendongkrak perekonomian, pada akhirnya, hutan Indonesia dirampas korporasi dengan eksploitasi besar besaran yang memunculkan banyak konflik sosial dan bencana ekologi. Puluhan tahun UU ini berjalan tanpa ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikannya.

Maka, tuntutan negara kepada puluhan koporasi yang terlibat dalam karhutla tidak akan berarti apa-apa jika regulasi yang mengapitalisasi hutan tetap berlaku. Meski pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan ketat dalam pengelolaan hutan, tetapi hal itu formalitas semata. Faktanya, kerusakan hutan makin meluas akibat pembukaan lahan dan pengalihan fungsi lahan.

Pandangan kapitalisme, “Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya,” maka bagi para kapitalis, pembakaran hutan adalah cara termurah dan hemat biaya untuk membuka lahan baru, meski dampak kerusakannya luar biasa Mereka tidak peduli perbuatan ini akan merusak lingkungan dan masyarakat, Keserakahan kapitalis penyebab bencana bagi negeri ini.

Dalam penegakan hukum terhadap para korporasi tampak tumpul. Lihatlah betapa keras upaya pemerintah menuntut pihak korporasi hingga melakukan upaya hukum banding kepada perusahaan. Negara terlihat lemah dan tidak berdaya melawan korporasi,

Hutan adalah SDA milik umum. Namun, paradigma kapitalisme menganggap hutan sebagai SDA yang boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu. Alhasil, selama seseorang memiliki modal dan kekuasaan, ia berhak memiliki apa pun, termasuk harta milik umum, seperti tambang, hutan, dsb.

Dalam Islam. Nabi SAW bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).

Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu atau swasta, Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat.

Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta, tetapi negara boleh mempekerjakan swasta untuk mengelola hutan. Akad yang berlaku ialah akad kerja, bukan kontrak karya.

Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, kembali pada hukum kepemilikan lahan. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih dahulu bisa menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Negara akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.

Semua ini tidak bisa berjalan jika sistem ideologi kapitalisme. Penyelesaian karhutla hanya akan tuntas dengan mengganti seluruh perangkat dan produk hukum kapitalisme dengan hukum Islam. Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi negeri ini. Dengan penerapan sistem Islam kafah. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here