Kiprah Perempuan di Publik Wujud Ketakwaan kepada Allah SWT

0
216

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST

Wakil Gubernur Sumsel, Mawardi Yahya mengatakan, perempuan menjadi pihak yang paling rentan terpapar paham terorisme dan radikalisme.

Sehingga, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satunya melalui edukasi dan diskusi yang dapat dilakukan melalui kegiatan bertema “Perempuan Agen Perdamaian” yang dilakukan pada Rabu 12 Agustus 2020 lalu.

“Ibu-ibu dari organisasi di tingkat provinsi dan daerah diundang dalam kegiatan ini untuk menjadi agen motor, pelopor, dalam pencegahan antisipasi terorisme dan radikalisme di Sumsel,” ungkapnya.

Mawardi mengatakan, terorisme dapat mempengaruhi kedamaian dalam berbagai aspek. Peran perempuan dinilai sangat penting untuk memberikan wawasan kepada anak-anak agar tidak ikut terjerumus.

Dari pertemuan ini diharapkan, peran perempuan memberikan pemahaman yang baik kepada anak-anak generasi muda agar jangan sampai terpengaruh terhadap pemahaman yang salah,serta dapat menjadi agen atau pelopor dalam menciptakan dan mengantisipasi supaya di Provinsi Sumsel khususnya Indonesia jangan ada yang terlibat terorisme.

Karena keberadaannya sangat berdampak pada hubungan keluarga, negara bahkan sektor lainnya. Maka itu, disinilah peran perempuan sangat penting terutama dalam memberikan wawasan yang baik kepada anak-anak agar jangan sampai terlibat.

Terorisme adalah tindak kejahatan luar biasa, terorisme bukan hanya merusak stabilitas negara namun juga sistem ekonomi dan lainnya.Juga menghadirkan ketakutan bagi semua manusia.
Untuk mencegah hal itu terjadi anggapan posisi peran perempuan sangat vital, perempuan memilki peran strategis dalam memberikan kekuatan baik di keluarga dan masyarakat dari segala bentuk penyebaran kelompok terorisme dan radikalisme.
Di sinilah pentingnya perempuan supaya menjadi agen perdamaian dalam pencegahan terorisme dan radikalisme di Provinsi Sumsel harapan besar dari pertemuan tersebut.

Menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian dalam sistem sekuler kapitalisme sangat dikhawatirkan akan menjauhkannya dari fungsi yang utama yaitu sebagai ibu warobatul bayit dan madrasatul ula. Bisa menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuannya.

Karena ralam konteks keluarga, ketika seorang ibu jauh dari peran utamanya ini akan merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan akidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi. Hingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.

Perlu kita pahami bersama bahwa perempuan di dalam Islam, di samping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami serta anak dari ayah bundanya juga adalah bagian dari masyarakat seperti laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh.

Keduanya bertanggung jawab mengantarkan bangsanya untuk menjadi umat terbaik di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah.

Di sinilah Islam hadir memberikan batasan yang jelas dan tuntas tentang aktivitas perempuan, termasuk aktivitas politiknya.

Muslimah Berpolitik Wujud Ketaatan, Bukan Demi Kesetaraan

Siapa pun yang mempelajari syariat Islam secara mendalam akan mendapati bahwa Islam mengatur peran perempuan dan laki-laki secara sempurna. Aktivitas keduanya diatur dengan seperangkat hukum yang terkumpul dalam “al ahkam al khamsah” (lima hukum perbuatan manusia: Wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram). Semua perbuatan manusia tidak terlepas dari salah satu hukum yang lima tersebut. Tidak ada satu pun amal manusia yang tidak ada status hukumnya.

Demikian juga ketika perempuan muslimah memainkan peran politiknya, dia tidak boleh abai terhadap status hukum masing-masing aktivitas yang akan dijalankannya. Dalam implementasinya pada kehidupan nyata harus kembali kepada derajat hukum perbuatan tersebut.

Terhadap perkara wajib maka dia tidak memiliki pilihan. Dalam keadaan apapun dia mesti berupaya melaksanakannya dengan segenap kemampuannya, seperti kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar yang tercantum dalam QS Al-Imran ayat 104 Allah berfirman yang artinya: “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam), memerintahkan kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Salah satu wujud amar makruf nahi mungkar adalah berdakwah untuk menyeru manusia kepada Islam. Selain menyeru secara langsung pada individu, bentuk peran politik perempuan dalam aktivitas ini adalah keikutsertaannya dalam sebuah partai politik Islam yang berjuang untuk menegakkan sistem Islam secara kaffah.

Implementasi kewajiban amar makruf yang lain adalah menjalankan pengawasan dan koreksi kepada penguasa untuk memastikan mereka menerapkan syariah secara kaffah. Jika penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa, maka wajib bagi setiap muslim termasuk kaum perempuan untuk menasihati penguasa supaya dia menyadari kelalaiannya dan kembali menjalankan tanggung jawabnya dengan benar.

Kewajiban berikutnya adalah melakukan baiat terhadap pemimpin negara. Kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam dipegang oleh seorang khalifah. Pengangkatan khalifah akan dianggap sah jika telah terjadi baiat yang sempurna dari sisi kaum muslimin, yaitu pernyataan kerelaan mengangkatnya sebagai pemimpin dan kerido’an untuk menaatinya selama mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.

Peran politik perempuan yang lain adalah memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Peran ini bukanlah kewajiban namun termasuk hak mereka sehingga tidak mengikatnya. Majelis umat adalah sekumpulan wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, pemimpin mereka.

Dalam menjalankan berbagai peran politiknya sudah seharusnya seorang muslimah melakukannya karena dorongan ingin terikat kepada ketentuan syariah. Bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Mereka yakin hanya dengan niat taat pada syariat lah yang akan mengantarkannya pada keberkahan hidup. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here