
Oleh : Siti Nurjannah
Dalam bidang pendidikan masalah terus bergulir. Terlebih lagi ketika tahun ajaran baru dimulai, ibarat lagu klasik yang di dendangkan setahun sekali dan terus berulang.
Kisruh PPDB di berbagai tempat menjadi bukti tidak tepatnya kebijakan yang ditetapkan. Apalagi sampai mendorong masyarakat untuk berbuat curang demi bisa masuk sekolah yang dikehendaki.
Dilansir dari Bogor, Beritasatu.com – Kontroversi terkait jalur zonasi dalam penerimaan siswa baru di Kota Bogor, Jawa Barat, terus berlanjut. Setelah Pemkot Bogor berhasil menertibkan jalur zonasi untuk tingkat SLTP, kini giliran jalur zonasi tingkat SMA yang menjadi sorotan. Di SMAN 1 Kota Bogor, dari 161 siswa yang di terima melalui jalur zonasi, hanya 4 siswa yang berasal dari sekitar sekolah. Sisanya berasal dari wilayah yang jauh dengan menggunakan jalur menumpang kartu keluarga (kk). (13/07/2023)
Pada dasarnya PPDB bertujuan positive, yaitu untuk pemerataan kualitas pendidikan tanpa ada perbandingan layak atau tidak nya sekolahan, bermutu atau tidaknya mata pelajaran, favorit atau bukan favorit. Semua sekolah sama, begitu juga dengan murid-muridnya. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama yakni mendapatkan kualitas pendidikan yang berkualitas.
Namun sayang, realita yang terjadi malah berbanding terbalik dan tidak sesuai dengan harapan. Pelaksanaan PPDB selalu berujung kisruh, dan setiap tahun nya selalu terulang.
Inilah yang menjadi bukti bahwa kebijakan yang di tetapkan untuk masalah pendidikan belum tepat. Terlebih lagi masyarakat digiring untuk berbuat curang hingga berujung pada perbuatan dosa. Alih alih mendapatkan hak dan kewajiban sebagai pelajar, namun nyatanya di awal kesepakatan antara orang tua dan pihak sekolah sudah terjadi kecurangan. Belum lagi kesenjangan sosial yang menjadi salah satu faktor sukar nya mendapatkan pendidikan dan sekolah yang elite. Antara si kaya dan si miskin, mana yang harus didahulukan.
Tujuan orang tua menyekolahkan anak tentunya agar mereka cerdas, ilmu yang di dapatkan bisa barokah, berguna bagi nusa bangsa dan agama. Namun, bisakah tujuan itu di capai dengan awal yang curang? Tentu saja tidak. Karena Allah membenci kecurangan, tipu menipu, dan rasuah.
Inilah gambaran gagalnya sistem pendidikan dalam menghasilkan individu berkepribadian islam. Sistem kapitalis sekuler saat ini tidak mengedepan kan kepentingan dan hak masyarakat. Pendidikan bukan lah tanggung jawab negara, melainkan tanggung jawab orang tua, dan wali murid saja. Sedangkan pendidikan dalam Islam adalah tanggung jawab negara, dan berlaku adil untuk semua rakyat. Termasuk kewajiban negara menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas, gratis dan mudah di akses oleh semua peserta didik.
Islam merupakan ideologi yang mampu memecahkan berbagai problematika kehidupan. Tidak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam Islam adalah tanggung jawab negara. Ketika pendidikan menjadi tanggung jawab negara, maka kepala negaranya akan melaksanakan tanggung jawab terhadap rakyatnya sebagai pertanggungjawabannya kepada Allah atas amanah yang diemban. Serta berlaku adil terhadap semua rakyatnya. Termasuk menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas, gratis dan mudah diakses oleh semua murid atau peserta didik.
Dalam hal ini, konsep amal terbaik (ihsanul amal) juga harus ditunaikan. Artinya, kualitas pendidikan harus diperhatikan sungguh-sungguh, bukan malah dengan pemberlakuan sistem zonasi yang membuat diskriminasi di antara sekolah-sekolah yang ada.
Bahkan, sistem zonasi ini hanya berperan untuk menutupi buruknya kualitas satu sekolah dengan sekolah lain tanpa ada upaya perbaikan kualitas sekolah yang sebelumnya masih kurang baik. Ini pun tidak ubahnya tindakan “pelarian diri” penguasa dari tanggung jawabnya menyediakan sistem pendidikan mumpuni dan berkualitas.
Sejarah telah mencatat bahwa sistem pendidikan Islam mampu melahirkan para ilmuwan yang menjadi wasilah berkembangnya ilmu dan teknologi yang kita rasakan saat ini. Mereka terlahir dari peradaban yang gemilang dimana Allah merupakan satu-satunya pembuat aturan.
Wallahu’alam bisshowwab.
