Kok Bisa Toleransinya Kebablasan? Paus Vs Pemangku Agama Indonesia

0
28

By : Wiwik Frumsia (Pendidik)

 

Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi gereja Katolik Sedunia baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Ia disambut begitu hangat, gembira, dan antusias, oleh banyak kalangan. Bahkan kunjunganya dianggap sebagai momen bersejarah.

Sungguh sangat di luar nurul, kebiasaan Paus sangat di apresiasi oleh masyarakat muslim Indonesia, yang mana kebiasaan Paus tersebut gak kalah terbaiknya dengan Kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang harusnya menjadi contoh terbaik buat Umat muslim selama hidup di dunia.

 

Sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”, untuk menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-5 September 2024. Buku ini tidak hanya sekadar sambutan, tetapi juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. “Kedatangan Paus Fransiskus adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat dialog antaragama yang inklusif dan mencerahkan,” kata Sekretaris Frans Seda Foundation, Willem L Turpijn dalam keterangan resminya yang dikutip Kompas.com, Senin (2/9/2024).

 

Seperti yang diketahui pada fakta tersebut bahwa kedatangan Paus Fransiskus adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat dialog antaragama yang inklusif dan mencerahkan.

 

Dialog antarumat beragama adalah jembatan pertama masuknya paham moderasi beragama. Tidak ada kebenaran mutlak, semua agama dianggap benar. Lalu, terwujudlah toleransi kebablasan, semisal penghormatan berlebihan Imam Besar Masjid Istiqlal yang mencium kening Paus Fransiskus, penyambutan Paus dengan ayat Al-Qur’an, dan kumandang azan di televisi yang diganti dengan running text agar tidak mengganggu misa akbar.

Sungguh ironis, toleransi kebablasan, pluralisme blak-blakan, bahkan mengarah ke sinkretisme agama telah dipertontonkan secara nyata dalam moderasi beragama. Bahkan, upaya ini diamini sebagian besar penguasa dan pejabat negeri. Kedatangan Paus Fransiskus yang membawa pesan moderasi beragama di balik kata “perdamaian dan kerukunan” menjadi pemantik penggiringan opini publik, baik di dalam maupun luar negeri.

 

Hal ini menjadi batu loncatan untuk melegitimasi bahwa Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia telah sukses menerapkan dan menerima moderasi beragama. Dampaknya, negeri-negeri Islam yang lain akan mengikuti peta jalan penderasan arus moderasi ini. Tidak heran, Indonesia disebut sebagai katalisator proyek moderasi beragama di kancah global. Proyek moderasi beragama masuk melalui banyak jalur. Dua di antaranya ialah dialog antaragama dan perlawanan terhadap ekstremisme/radikalisme. Dialog antaragama memiliki motif, yaitu melemahkan ajaran Islam, melestarikan penjajahan dan mengukuhkan Penjajahan Barat.

 

Di sisi lain, Polemik azan, kekalahan umat Islam. Kementerian Agama telah menyampaikan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait penyiaran azan Magrib dan misa akbar bersama Paus Fransiskus. Surat tersebut berisi dua substansi. Pertama, saran agar misa bersama Paus Fransiskus pada 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00—19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia (Kemenag, 4-9-2024).

 

Kok bisa? Acara Misa lebih diutamakan dibanding Adzan Magrib yang harus dirunning text, seperti yang kita ketahui dengan penyiaran misa yang meniadakan tayangan azan, tampak bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada umat Islam. Urusan umat Islam dinomorduakan dan umat Islam harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi. Jika menolak, umat Islam dianggap intoleran dan tidak menghormati umat agama lain.

Sudah terlalu banyak rakyat Indonesia yang Mayoritasnya umat muslim ini harus mengalah demi mentolerir kegiatan umat minoritas dan mencegah terjadinya gesekan antaragama.  Misalnya di Bali, pada saat Nyepi, umat Islam harus ikut tradisi Hindu. Mereka tidak boleh bekerja, bepergian, dan melakukan semua aktivitas yang mengeluarkan suara. Sementara itu, umat Hindu di wilayah mayoritas muslim tidak diharuskan ikut melakukan puasa saat Ramadan. Umat Islam diharuskan bersikap toleran pada nonmuslim dan bahkan disuruh menghormati orang yang tidak berpuasaberpuasa,  bahkan Umat Islam masih mengalami diskriminasi, misalnya larangan hijab di daerah minoritas muslim. Miris, umat Islam seperti direndahkan dan terus diinjak-injak. Sekadar mengenakan hijab saja dipersulit, padahal posisi umat Islam adalah sebagai mayoritas. Demikianlah, doktrin toleransi telah memaksa umat Islam untuk selalu kalah dan terzalimi.

Kebijakan penyiaran misa ini juga menegaskan betapa sekulernya penguasa negeri ini. Azan sebagai bagian dari syiar Islam diberangus agar bisa digeser ketika ada siaran langsung acara agama tertentu. Siaran langsung itu dianggap lebih penting daripada syiar adzan. Ini menunjukkan bahwa penguasa tidak memandang penting syiar adzan tersebut.

 

Berdasarkan fakta dan analisis yang ada sungguh ini toleransi yang kebablasan, Allah SWT memerintahkan sikap seorang muslim terhadap nonmuslim adalah sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Fath ayat 29, yang artinya,

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.”

 

Seharusnya sikap berkasih sayang itu ditunjukkan kepada sesama muslim, bukan nonmuslim, dengan hormatnya Paus Fransiskus diposisikan sebagai pihak yang lebih tinggi dan mulia sedangkan penguasa muslim bersikap seolah-olah menjadi “pelayannya”. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya. Para penguasa itu tampak pura-pura lupa bahwa yang seharusnya dijadikan uswatun hasanah adalah Rasulullah SAW bukan Paus.

 

Toleransi dalam Sistem Islam

 

Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan, bukan toleransi kebablasan ala Barat. Konsep toleransi dalam Islam berawal dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19).

 

Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah. Sedangkan agama yang lain tertolak. Terkait hubungan dengan agama lain, umat Islam harus meyakini bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Rasulullah SAW bersabda,

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).

 

Umat Islam tidak boleh menyamakan Islam dengan agama lain. Umat Islam juga tidak boleh mengikuti agama lain, baik ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya. Allah SWT berfirman,

 

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

 

Dengan demikian, sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. Toleransi dalam Islam bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka.

 

Wallahua’lam bishowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here