Konsumsi Hewan Sakit, Potret Buram Penguasa

0
146

Oleh : Adelusiana

Budaya brandu jelas menunjukan potret kemiskinan yang parah di Tengah masyarakat. Di sisi lain, juga menggambarkan betapa rendahnya tingkat literasi sehingga biasa mengonsumsi binatang yang sudah sakit.

Penularan Antraks terdapat puluhan warga Kabupaten Gunung Kidul DI Yogyakarta jadi buah bibir. Tradisi brandu disebut-sebut sebagai biang kerok masifnya penularan.

Penularan antraks sebenarnya bukan barang baru di Gunung Kidul. Dalam beberapa tahun terakhir, penularan Antraks terus ditemukan di sana.

Kementerian pertanian menyebut tradisi Brandu atau purak jadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko penularan Antraks di sana.

Pemotongan sapi atau kambing yang sakit atau mati berkaitan dengan tradisi Purak atau brandu.

Disebutkan bahwa tradisi ini merupakan pemotongan sapi dan kambing sakit yang dipotong paksa. Lalu, daging diperjualbelikan ke tetangga dengan harga di bawah standar.

Peneliti menyebut, warga sebenarnya sadar akan risiko Antraks dan larangan mengonsumsi ternak yang sakit atau mati mendadak. Namun, hal ini sering diabaikan.

Tradisi brandu merupakan bentuk simpati masyarakat terhadap tetangga ternaknya mati. Ternak yang mati di embelih warga dan dijual per paket seharga Rp 45.000. Uang penjualannya lantas diberikan kepada warga yang ternaknya mati.

Yang masyarakat lakukan tak lain karena mahalnya harga daging dan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli daging di harga yang pantastis saat ini.

Bagaimanapun juga kemiskinan bisa membuat masyarakat gelap mata. Demi bisa makan, apa pun mereka lakukan, tidak lagi peduli apakah itu halal atau haram. Meski ini membahayakan kesehatan bagi tubuh mereka. Inilah Realitas masyarakat yang miskin di negeri ini, saking miskinnya masyarakat saat ini, sampai bangkai hewan pun mereka konsumsi.

Dan sayangnya para pejabat pun tutup telinga dan mata. Seakan-akan tidak mendengar dan tidak melihat problematika di tengah-tengah masyarakat. Walhasil, merebaknya virus antraks berawal pada problem kemiskinan.

Brandu merupakan tradisi yang berbahaya. Pemerintah seharusnya tidak membiarkan tradisi tersebut berlangsung di tengah masyarakat. Tetap adanya tradisi ini selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan mandulnya riayah penguasa pada rakyatnya.

Karwna jauh sebelum kajadian yang menimpa masyarakat Gunung Kidul saat ini
sudah banyak korban keganasan antraks ini
Berdasarkan data dinas pertanian dan Ketahanan pangan ( DPKP ) DIY, antraks pernah muncul pada mei dan Desember 2019, Januari 2020, Januari 2022, dan sampai saat ini Juni 2023 antraks masih menjadi ketakutan bagi masyarakat gunung kidul. Tapi sayangnya, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul tidak segera menetapkan status kejadian Luar biasa (KLB), dan tidak ada tindakan lebih lanjut terkait penanganan Antraks di Gunung Kidul tersebut.

Hal itu menggambarkan lalainya penguasa dalam mengurus rakyat, sehingga tradisi yang membahayakan tetap berlangsung, bahkan yang melanggar aturan agama yang
mengharamkan memakan bangkai.

Keharaman memakan bangkai sudah ada
di Al-Quran sejak 14 abad yang lalu, tetapi hari ini masih ada warga yang memakan bangkai, bahkan memperjualbelikannya. Tidakkah ini Kemunduran peradaban yang parah?

Islam mengharamkan umantya memakan bangkai sebagai mana yang telah Allah jelaskan dalam Al-Quran Allah SWT berfirman yang artinya :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah ayat 3).

Pengharaman ini di tegakkan melalui hukum positif. Yaitu dengan pemberlakuan Syariat Kaffah. Pemerintah tidak boleh sekadar memberi sosialisasi dan imbauan pada masyarakat. Namum, harus ada tindakan tegas karena manyangkut keselamatan dan nyawa manusia.

Padahal bahaya mengonsumsi bangkai terhadap kesehatan juga sudah banyak dibahas di berbagai media. Namun, apakah Pemerintah sudah memastikan masyarakat
Mafhum akan hal ini? Sudah masifkah edukasi tentang makanan halal dan sehat di tengah masyarakat.

Sistem Islam akan menjamin rakyat hidup sejahtera dan terdidik sehingga paham aturan agama maupun aturan terkait dengan kesehatan dirinya.

Wallahu a’lam bisshowwab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here